Find Us On Social Media :

Kisah Ketua Mao yang Beristri Empat, Siapakah di Antara Mereka yang Paling Ia Cintai?

By Moh Habib Asyhad, Sabtu, 30 September 2017 | 08:00 WIB

Intisari-Online.com – Kebanyakan dari pemimpin-pemimpin pemberontakan petani sepanjang sejarah China mempunyai nafsu besar terhadap wanita.

Mao Tse Tung tidak terlepas dari kebiasaan itu. Di samping “affair-affair”-nya yang sepintas lalu dengan berbagai wanita, ia kawin resmi empat kali.

Istrinya yang pertama ia terima dari perjodohan orangtuanya tatkala Mao masih pelajar pada sekolah Guru Changsha. Istri pertama ini tak pernah ia ceraikan secara resmi.

Rupanya sudah lama meninggal tanpa mengetahui sukses suaminya. Mao tak pernah memungkiri tentang adanya istri pertama tadi, tetapi menurut pengakuannya ia belum pernah hidup bersama sebagai suami-istri.

(Baca juga: Peringatan 40 Tahun Meninggalnya Mao Zedong dan 'Galau'-nya Perasaan Rakyat China)

Seperti halnya para pemimpin komunis umumnya di dunia, istri Mao berada di latar belakang. Mereka tak dikenal umum dalam kedudukannya sebagai “First Lady”.

Keadaan berubah setelah terjadinya “revolusi kebudayaan” pengawal merah. Mendadak istri keempat Mao yang bernama Tjiang Tjing tampil sebagai tokoh publik.

Untuk pertama kalinya namanya dicantumkan dalam daftar resmi pimpinan partai komunis Cina yang diterbitkan pada perayaan 1 Oktober tahun ini. Dalam urutan hirarki pimpinan RRC, Tjiang Tjing menduduki tempat ke-17.

Tangga hirarki itu berhasil ia capai setelah berjuang selama 30 tahun, sejak ia mengawini Mao di Yenan pada tahun 1938.

Sebelum datang ke Yenan, ia menetap di Shanghai tempat ia mencari nafkah sebagai seorang bintang film dengan nama Lan Ping (Apel Biru).

Atas anjuran penulis sandiwara Tien Han ia bermain dalam film Putera-puteri Cina. Permainannya gagal, namun ia tetap menyebut dirinya seorang bintang.

Tien Han kemudian didaulat dari profesinya sebagai seniman pada permulaan berkobarnya “revolusi kebudayaan”.

Mungkin untuk memajukan kariernya pada tahun 1934 ia mengawini Ma Tji Liang alias Tang Na, seorang kritikus drama dan film.

Perkawinannya berlangsung di pagoda Hancon bersama 2 pasangan lainnya. Upacara itu sengaja dipergunakan sebagai reklame. Sayang ketiga pasangan itu berakhir dalam perceraian.

(Baca juga: Menurut Lee Kuan Yew, di Singapura, Komunisme Bisa dengan Mudah Tumbang Gara-gara Hal Ini)

Tang Na bukanlah orang pertama dalam kehidupannya. Tatkala masih bersekolah pada Akademi Seni Drama di Shantung, propinsi kelahirannya, Tjiang Tjing sudah jatuh cinta pada direktur Akademi.

Pada waktu itu ia masih mempergunakan nama aslinya Li Yan Ho.

Tatkala direktur Akademi Drama itu diangkat menjadi Kanselir Universitas Tsingtao, wanita itu mengikutinya ke sana.

Resminya bekerja sebagai juru pustaka, maksud yang sesungguhnya merebut hati Kanselir. Cita-citanya berantakan tatkala Kanselir itu kawin dengan pilihannya sendiri, seorang bintang yang sudah lebih tenar, namanya Yu San.

Hati Tjiang Tjing berantakan. Ia mencari hiburan pada Yu Tji Wei seorang yang kemudian menjadi salah satu pembantu Mao dan salah satu menterinya.

Orang itu adik dari Yu San. Hubungan ini pun tidak lama, karena Yu harus melakukan tugas partai di Shanghai.

Ho She Tjen, penghalang paling besar

Tatkala pecah perang Cina – Jepang pada tahun 1937 Tjiang Tjing bertemu lagi dengan Yu Tji Wei. Keduanya berangkat ke Yenan sebagai “pasangan revolusioner”.

Di sanalah wanita itu bertemu Mao pertama kali, yaitu tatkala Mao memberi kuliah tentang kesusasteraan dan kesenian pada Akademi Kesenian Lu Shun, tempat Tjiang Tjing belajar setibanya di Yenan.

Begitu berjumpa terus jatuh cinta, sekalipun Mao waktu itu masih tinggal bersama istrinya yang ketiga Ho She Tjen.

Begitu melihat gelagat roman antara Mao dan Tjiang Tjing, Yu Tji Wei tahu diri dan mundur, karena ia tak mau bentrok dengan Mao, pemimpin yang ia taati.

(Baca juga: Di Taiwan, Wanita-wanita Cantik Berpenampilan Seksi di Pinggir Jalan Hanya untuk Jualan Pinang)

Kesulitan bagi Mao datang dari istrinya, Ho She Tjen. Istri ketiga ini ia kawini di pegunungan Cingkang.

Ia terkenal karena kesetiaannya pada partai dan keberaniannya dalam pertempuran. Katanya, ia pernah menyelamatkan Mao dari bahaya maut dengan menggendongnya.

Kepada Mao ia memberikan dua anak An Ying dan An Tjing dan ia termasuk sejumlah kecil wanita yang selamat dari Long March.

Tatkala Mao mengajukan rencananya untuk mencerai Ho dan mengawini Tjiang dalam bidang Central Comite partai, semua menentangnya.

Mao putus asa, ia mengancam mengundurkan diri jika kehendak hatinya tak terkabul. Akhirnya dicapai kompromi: boleh menceraikan Ho dan mengawini Tjiang, tetapi dengan syarat bahwa Tjiang takkan mempergunakan perkawinannya untuk membuat karier politik.

Mao menerima syarat itu, Tjiang kecewa, tapi diterimanya pula. Apa salahnya ia bersabar. Jasa Ho tak dibuang begitu saja.

Kepadanya diberi izin untuk berlibur di Uni Soviet membawa kedua anaknya. Baru setelah mereka berangkat, Mao boleh melaksanakan perkawinannya.

Mao memegang janji, berulang kali Tjiang berusaha tambil sebagai tokoh politik, setiap kali kandas oleh oposisi CC dan Mao.

Juga setelah RRC didirikan pada tahun 1949, ia hampir tak pernah muncul di depan umum. Setiap kali hendak tampil, CC menasehatkan dengan taktis bahwa “tugas politiknya adalah menjaga ketua kita yang tercinta, Mao”.

Baru pada tahun 1964 usahanya berhasil. Ia diberi izin mengorganisasi Opera Peking. Kisah lama dihapus sama sekali, ditampilkan kisah baru.

Dan yang lebih penting lagi, ia membentuk kader-kader muda di bidang kesenian, yang kemudian menjadi pembantunya dalam mengobarkan revolusi kebudayaan.

Sementara itu anggota-anggota CC yang menentang perkawinannya dengan Mao, jatuh satu per satu.

Yang Kai Hui, istri kedua yang tercinta

Cinta pertama Mao bukan dengan istrinya yang pertama atau dengan Tjiang, melainkan dengan Yang Kai Hui, istrinya yang kedua.

Ia puteri seorang pengajar dari Sekolah Guru yang kemudian menjadi profesor pada Universitas Peking tempat Mao bekerja sebagai pembantu ahli perpustakaan.

Hubungan Mao dengan Yang Kai Hui, sejak di sekolah guru, di Peking cinta mereka berkembang. Mereka kawin di Changsha setelah Mao kembali ke kota itu untuk mengajar pada sekolah dasar.

Kehidupan mereka amat bahagia. Kemudian Mao meneruskan cita-cita revolusionernya, ia mengorganisir pemberontakan petani. Yang Kai Hui ditawan bersama adik Mao, kemudian dibunuh.

Menurut bekas teman sekolah Yang yang kini tinggal di Taiwan, wanita itu tak sehaluan dengan pendirian politik Mao.

Apabila suaminya bepergian, ia mengunjungi kawan-kawannya atau bermain mahjong. Andaikata ia tetap hidup, ia akan menjadi “kapitalis” di mata Mao atau mempengaruhi suaminya sehingga pendiriannya tak terlalu ekstrim.

Ho She Tjen, istri Mao yang ketiga kembali ke Cina pada tahun 1950. Kata orang, ini kini tinggal di Shecwan bersama anaknya yang kedua An Tjing, seorang geolog.

(Ditulis oleh Eric Tjou, seperti pernah dimuat di Majalah Intisari edisi Desember 1967)