Intisari-Online.com – Untuk masa sekarang, kesenian gandrung Banyuwangi tak bisa dilepaskan dari sosok penari bernama Supinah.
Budayawan Hasnan Singodimayan, yang pernah terinspirasi tokoh ini untuk menulis novel – kemudian dilayarkacakan TPI dengan judul Jejak Sinden (1995) – menuturkan kehidupannya disertai gambaran latar masyarakat Using, serta pernik-pernik pergandrungannya.
Menyebut nama Desa Olihsari (ada yang menuliskannya Olehsari atau Ulihsari), Kecamatan Glagah, Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur, kita hams teringat pada nama asalnya, "Ulih-ulihan", yang berarti "Harus diperoleh".
Apa yang harus diperoleh dan untuk apa, entahlah, tak seorang pun dapat menjawabnya. Yang pasti, desa berpenduduk 2.156 jiwa, dalam areal yang sangat kecil dibandingkan dengan desa lain di Kecamatan Glagah, itu sebagian besar warganya punya apresiasi yang sangat kental pada seni gandrung- semacam seni tari yang bersumber pada kesenian sakral yang disebut tari seblang.
Seblang, yang berasal dari upacara adat ritual Sanghyang Widari di masa Blambangan, kini hanya terdapat di Olihsari dan Bakungan.
Pun tidak lagi dalam warna aslinya. Kalau semula ada ciri agama Hindu dan dihelat pada hari raya Galungan serta Kuningan, belakangan dialihkan.
Di Olihsari berlangsung setelah hari raya Idul Fitri selama 7 hari, dan di Bakungan semalam suntuk pada hari raya Idul Adha.
Jika seblang masih terasa kesakralannya, gandrung bersifat profan dan lebih populis. Sangat digemari oleh masyarakat karena penuh warna ceria.
Baik dilibati secara spontan ketika ada pergelaran, maupun dipelajari sebagai kecakapan diri.
Di antara banyak penari gandrung, salah satu yang paling dikenal berasal dari Olihsari, Supinah, namanya, berusia 27 tahun, bersuamikan seorang penabuh gendang bernama Sukidi.
Keduanya beriringan menggandrung di banyak tempat, merengkuh pengalaman dan wawasan.
Bukan hanya di Banyuwangi, melainkan sampai tingkat propinsi, nasional, bahkan ke luar negeri.
Penulis | : | Ade Sulaeman |
Editor | : | Ade Sulaeman |
KOMENTAR