Sampai-sampai desa yang dominan santri namun punya dialek Using sangat kental, Penataban, tidaklah terasa sebagai Penataban tanpa dialek khasnya.
Begitulah identifikasi, sekaligus simbol kebhinnekaan desa-desa itu, gencar digali pemerintah daerah sebagai aset wisata.
Targetnya adalah kesesuaian dengan semboyan: Jika ingin melihat Jawa Timur secara singkat, cukup lihat Banyuwangi. Di sanalah kesenian daerah lain seperti ludruk Surabaya, reog Ponorogo, remo Madura, kentrung Kediri, dan Iain-lain, dipupuk dan dipelihara.
Masyarakat Using, yang mendominasi setiap bidang kehidupan di perkotaan, memang terkesan adaptif terhadap budaya daerah lain.
Namun pada sisi yang sama, mereka sangat kuat memegang dan mempertahankan seni milik sendiri. Itulah sisi unik yang pernah dibuktikan oleh etnolog asal Negeri Belanda, Bernard Arp, yang selama 3 tahun (1991 - 1993) bermukim di Olihsari dan Kemiren.
Betapapun, kesenian jejer gandrung tetap priorifas utama, menjadi sesuatu yang wajib ditampilkan pada setiap hajatan.
Sebagai kesenian, gandrung pernah mendapat penilaian negatif. Itu bermula dari para penontonnya. Pada saat cundik (diajak menari bersama), mereka yang tak mampu menari dengan baik lantas bertingkah gila dengan terlebih dahulu meneguk minuman keras.
Dewan Kesenian Blambangan (DKB) pun turun tangan, menyusun peraturan berdasarkan perda, agar bisa menindak setiap pelanggaran seperti mabuk-mabukan itu.
Kemudian diikuti peraturan lain, seperti keharusan menggunakan musik tradisional yang hidup sebagai pengiring setiap pergelaran kesenian, bukan musik elektronika rekaman.
Sasarannya, selain mempertahankan kemurnian kesenian, juga merangsang masyarakat untuk memainkan instrumen tradisional.
Seni gandrung, sebagai bagian dari aset wisata, sejajar dengan daerah lain yang selama ini menjadi potensi Banyuwangi. Seperti disengaja, pemunculan gandrung dalam tayangan televisi pun dibarengi latar belakang daerah-daerah itu.
Misalnya, Pelengkung yang diakui sebagai tempat berselancar terbaik di dunia, atau pusat penyu di Sukamade, bibir kawah di Ijen, agrowisata perkebunan Kaliklatak, P. Tabuhan dengan ikan hiasnya, wisata Watudodol dengan gelombang Selat Bali, dan sebagainya.
Gandrung memang tak mesti digelar dalam latar dan kemasan tertentu. Tarian ini bisa dipadukan dengan banyak hal, termasuk unsur keagamaan.
Tak jarang tarian gandrung diiringi gending Salatun wataslimun atau Santri muleh. Atau pula dikemas dalam tariah yang agak berbeda, menjadi seni kuntulan yang bernapaskan Islam.
Kuntulan pernah menjadi mata acara dalam Festival Istiqlal di Jakarta, 1991, dengan Supinah salah satu penarinya.
Secara harfiah, gandrung berarti “mempesona". Namun secara simpel orang sering mengartikannya sebagai "tergila-gila", sehingga pengertian luasnya adalah "Sesuatu yang mempesona sehingga membuat orang tergila-gila".
Tepatlah ucapan Presiden Soekarno saat berkunjung ke Banyuwangi, 1950, "Saya gandrung pada kemerdekaan dan gandrung pada gandrung."
Oleh seorang pakar kebudayaan Kamboja, gandrung pernah diklaim sebqgai' "milik bangsanya", lantarah gerakan dan busananya mirip dengan kesenian yang di sana disebut ganung.
Atas kenyataan itu, Departemen Luar Negeri sampai membentuk tim khusus untuk menelusuri gandrung Banyuwangi sampai ke akarnya. Lewat beberapa pembuktian, gandrung kemudian direkam dalam pita video.
Salah satu penarinya adalah Supinah, sehingga makin lengkaplah pembenaran, gandrung dan Supinah adalah milik masyarakat Using.
(Seperti pernah dimuat di Majalah Intisari edisi Mei 1995)
Penulis | : | Ade Sulaeman |
Editor | : | Ade Sulaeman |
KOMENTAR