Numpang sepeda onthel
Dedeh pun ikhlas bersakit-sakit dahulu. Terbukti dari kesediaannya ditugaskan di Tangerang, yang saat itu miskin tenaga bidan.
Lahir dan besar di Tasikmalaya, nama Tangerang sendiri baru diketahui Dedeh setelah mencari-cari di atlas. Tak juga ada sanak saudara tinggal di sana.
Sehingga keberangkatannya ke Tangerang - setelah lulus sekolah keperawatan (1973) dan pendidikan kebidanan (1974) RS Hasan Sadikin, Bandung – murni bak membeli kucing dalam karung.
"Saya hanya mengandalkan feeling," tegasnya.
Di RSU Tangerang, ia hanya bertahan setahun, lalu dipindahkan ke Cipondoh. "Wah, sepinya bukan main. Belum banyak sarana transportasi, listrik, apalagi telepon," sambung Dedeh, yang ketika itu tinggal di rumah dinas.
(Baca juga: Ketegangan Bidan Fifi Berpraktik di Sarang Komodo)
Sering untuk mencapai rumah pasien yang hendak melahirkan, ia mengandalkan tumpangan. Tumpangan apa saja – termasuk sepeda onthel.
Meski dibutuhkan banyak orang dan nyaris tak punya saingan, Dedeh tak "jual mahal", apalagi memasang tarif tertentu.
"Seringnya malah tidak dibayar. Kalau pasiennya kelihatan enggak punya uang, saya malu pasang harga. Hati nurani ini enggak mengizinkan.
Sebaliknya, kadang malah saya memberi mereka uang," tegas istri Abdul Zafar ini, lalu menambahkan, "Saya mencintai dan senang memperlakukan pasien seperti keluarga sendiri."
Total jenderal, empat tahun Dedeh mengabdi di kawasan yang dulu merupakan "tempat jin buang anak" itu.
Penulis | : | Ade Sulaeman |
Editor | : | Ade Sulaeman |
KOMENTAR