Keajaiban Feeling Membawah Dedeh Nuriyati dari Seorang Bidan Keliling Hingga Punya Rumah Sakit Bersalin

Ade Sulaeman

Editor

RS Bhakti Asih
RS Bhakti Asih

Intisari-Online.com – Mereka yang meyakini hukum karma percaya, baik buruknya perbuatan di dunia ada balasannva. Orang yang sering berbuat baik, kelak bakal memanen kebaikan pula.

Kisah Dedeh Nuriyati, mantan bidan panggilan yang kini jadi komisaris RS Bhakti Asih, barangkali bisa jadi cermin.

Dedeh percaya hukum karma atau tidak, dan kayaknya bukan karena ingin membuktikan hukum karma, ia memilih bidan sebagai pekerjaannya.

"Saya memilih jadi bidan, karena dalam bekerja dituntut mementingkan komitmen dan pengabdian, dua hal yang selalu dicamkan orangtua saya sejak kecil," Dedeh mengawali cerita.

(Baca juga: Bidan Ati yang Menginsipirasi Melinda Gates)

Sejak usia dini, Dedeh memang sudah sering diajak orangtuanya mengikuti beragam kegiatan sosial.

"Setelah jadi bidan, dampaknya masih membekas," ucapnya dengan mata nanar.

Keputusan menekuni pekerjaan yang "tidak glamour" pun membuat ibu dua putra-putri ini jauh dari pikiran-pikiran komersial.

Mengeruk rupiah tidak menjadi tujuan utama. Setidaknya, begitulah yang tercermin di awal karier sang bidan.

"Saya sadar harus bekerja sungguh-sungguh, sepenuh hati, dan apa pun yang saya kerjakan muaranya harus pada pengabdian dan produktivitas kerja," ucap Dedeh.

Buat Dedeh, duit soal belakangan, menyelamatkan orang lain menjadi prioritas pengabdian.

(Baca juga: Bidan Muda Ini Arungi Lautan demi Menolong Ibu Hamil, Hanya Digaji Rp360 Ribu per Bulan)

Numpang sepeda onthel

Dedeh pun ikhlas bersakit-sakit dahulu. Terbukti dari kesediaannya ditugaskan di Tangerang, yang saat itu miskin tenaga bidan.

Lahir dan besar di Tasikmalaya, nama Tangerang sendiri baru diketahui Dedeh setelah mencari-cari di atlas. Tak juga ada sanak saudara tinggal di sana.

Sehingga keberangkatannya ke Tangerang - setelah lulus sekolah keperawatan (1973) dan pendidikan kebidanan (1974) RS Hasan Sadikin, Bandung – murni bak membeli kucing dalam karung.

"Saya hanya mengandalkan feeling," tegasnya.

Di RSU Tangerang, ia hanya bertahan setahun, lalu dipindahkan ke Cipondoh. "Wah, sepinya bukan main. Belum banyak sarana transportasi, listrik, apalagi telepon," sambung Dedeh, yang ketika itu tinggal di rumah dinas.

(Baca juga: Ketegangan Bidan Fifi Berpraktik di Sarang Komodo)

Sering untuk mencapai rumah pasien yang hendak melahirkan, ia mengandalkan tumpangan. Tumpangan apa saja – termasuk sepeda onthel.

Meski dibutuhkan banyak orang dan nyaris tak punya saingan, Dedeh tak "jual mahal", apalagi memasang tarif tertentu.

"Seringnya malah tidak dibayar. Kalau pasiennya kelihatan enggak punya uang, saya malu pasang harga. Hati nurani ini enggak mengizinkan.

Sebaliknya, kadang malah saya memberi mereka uang," tegas istri Abdul Zafar ini, lalu menambahkan, "Saya mencintai dan senang memperlakukan pasien seperti keluarga sendiri."

Total jenderal, empat tahun Dedeh mengabdi di kawasan yang dulu merupakan "tempat jin buang anak" itu.

Tahun 1979, ia dipindahkan ke Puskesmas Ciledug, hanya beberapa kilometer dari Cipondoh.

Di Ciledug inilah Dedeh bak "ketemu jodoh". Bukan jodoh pasangan hidup (ia disunting Abdul Zafar sejak 1975), tapi jodoh rezeki.

Boleh dibilang, karma kesabaran, ketulusan, dan pengabdian yang dirintisnya sejak awal karier sebagai bidan bertuah di sini.

Sempat setahun tinggal di rumah kontrakan, tahun 1980 wanita kelahiran 5 Juli 1953 ini membeli tanah dan rumah sendiri, dari hasil wiraswasta suami, serta tabungan Dedeh sebagai pegawai negeri dan bidan keliling.

Di rumah baru seluas 300 m2 - terletak di Jln. Raden Saleh 10, Karang Tengah, Ciledug - itulah, kariernya sebagai bidan panggilan berganti menjadi bidan mangkal.

Pondok sederhana berpapan nama "Bidan Dedeh" itu baru menyediakan dua tempat tidur, dan mempekerjakan dua orang karyawan. Satu bertugas membantu proses persalinan, satunya lagi mengisi pos tukang cuci.

"Kalau mau lihat bekas rumah saya, yang juga cikal bakal rumah sakit, letaknya kira-kira di klinik bagian depan, dekat apotek, sampai bagian penerimaan pasien Bhakti Asih," Dedeh bernostalgia.

Berujung penghargaan

Tahun demi tahun berlalu,tak dinyana, keramahan dan kebaikan hati bidan Dedeh kian lekat di hati masyarakat Ciledug dan sekitarnya. Tak ayal, rezeki pun mengalir lancar.

Terbukti, lima tahun kemudian (1985), luas rumah tinggal sekaligus tempat praktik Dedeh memekar dari 300 m2 menjadi 1.500 m2.

Kapasitas layanan pun bertambah dari dua menjadi 15 tempat tidur, ditopang oleh 10 karyawan. "Perizinan pun harus diperbaharui, karena sudah masuk kategori rumah bersalin," terang Dedeh.

"Buat saya pribadi, sebenarnya terserah mau disebut rumah praktik atau rumah bersalin. Yang penting saya bisa melayani lebih banyak orang," Dedeh melanjutkan.

Itu sebabnya, ketika izin rumah bersalin turun, mengibarkan bendera Bhakti Asih - maknanya kira-kira berbakti dengan penuh kasih sayang - Dedeh tetap lebih suka menggunakan papan nama yang lama, praktik "Bidan Dedeh".

"Saya minder memakai nama rumah bersalin. Kayaknya terlalu prestisius, gitu."

Kerendahan hati Dedeh berubah jadi haru, karena rumah bersalinnya ternyata dianggap pantas menyandang nama "rumah sakit".

Perempuan yang masih ngemong anaknya di tempat praktik ini (karena memang dia masih tinggal di sana) tak habis pikir, yang berkunjung ke tempat praktiknya ternyata bukan hanya kaum hawa yang hendak melancarkan proses persalinan, tapi juga bapak-bapak dan orang tidak hamil yang sakit flu, pilek, batuk-batuk dan penyakit- penyakit ringan lainnya.

"Mereka percaya pada saya, jadi meski berat, terpaksa saya layani. Saya 'kan pernah juga sekolah keperawatan. Meski lama-lama enggak enak juga, karena saya bukan dokter," imbuh Dedeh.

la merasa, pengabdian, kesabaran dan ketulusannya selama ini tidak sia-sia, karena mendapat sambutan positif dari masyarakat. Sejak itu pula, semangatnya untuk memberikan sesuatu yang lebih dari sekadar praktik bidan kian menggelora.

Tahun 1987, Dedeh meningkatkan status tempat praktiknya menjadi "rumah bersalin plus", yang memiliki fasilitas klinik bersalin, dokter spesialis, laboratorium, dan layanan medis 24 jam.

Setelah itu, tahun 1993, kapasitas ranjang ditambah dari 15 menjadi 25, plus tambahan fasilitas pemeriksaan fisioterapi dan radiologi.

Hati Dedeh kian berbunga-bunga lantaran dua tahun kemudian, Bhakti Asih terpilih sebagai Rumah Sakit Swasta Terbaik se-Kota Tangerang dan Juara I Lomba Rumah Sakit Swasta Tingkat Jawa Barat, dalam rangka Hari Kesehatan Nasional.

Kini, di usianya yang menginjak 26 tahun, Bhakti Asih masih terus memoles diri. Perlahan tapi pasti, luas lahannya sudah mencapai 3.500 m2 (plus tambahan 1.500 - 5.000 m2 lahan siap bangun yang sudah dibebaskan), menyediakan sekitar 80 tempat tidur, mempekerjakan 250 karyawan dan 50 orang dokter!

Keajaiban feeling

Padahal tak pernah terlintas di benak Dedeh, kelak dia bakal mempunyai rumah sakit megah berlantai tiga di bilangan Ciledug, jauh dari kampung halamannya. Semuanya dianggap Dedeh sebagai berkah pengabdian, termasuk keberuntungan yang diperolehnya secara finansial.

"Saya percaya dan meyakini, Tuhan itu Maha Adil, dengan segala janji-janjinya," kalimat bijak meluncur begitu saja dari mulut Dedeh.

Dia lalu mencontohkan, tahun 1979, ketika hendak membeli rumah sekaligus membuka praktik bidan mangkal, Dedeh terbentur masalah dana. Duit tabungannya dan tabungan suami tidak cukup untuk mewujudkan impian muluk itu.

Terpaksa, dia dan suami meminjam dana tambahan dari Bank Rakyat Indonesia, sebesar Rp 5 juta. "Saat itu jumlah segitu gede banget. Bayangkan, harga tanah saja masih Rp 4.000,- per meter persegi," kenang Dedeh.

Karena sisa uang pinjaman itu masih lumayan besar, Dedeh lalu menginvestasikannya dalam bentuk barang berharga. Lagi-lagi, modalnya hanya feeling.

"Bener, feeling aja, karena saya enggak mau mendepositokan uang di bank," tegas ibu Susan Hadiyani (24), Chairul Iqbal Nugraha (16), dan Nayla Tufirha (masih balita) ini.

Feeling itu terbukti bertuah. Tahun 1980-an, kebijakan devaluasi yang dicanangkan pemerintah membuat nilai mata uang asing "tabungan" Dedeh melimpah ruah. Dari situ dia bergerak meningkatkan status rumah praktik menjadi rumah bersalin.

Puncak keajaiban feeling Dedeh terjadi tahun 1998, ketika tuntutan reformasi meledak menjadi kerusuhan sosial di kota-kota besar di Indonesia. Nilai tukar dolar Amerika Serikat melambung, harga barang-barang melonjak naik, termasuk "tabungan" Dedeh.

Tak ayal, dia mendapat suntikan dana yang lumayan besar. "Uangnya kira-kira cukup untuk membayar pinjaman dan meningkatkan status rumah bersalin menjadi rumah sakit," cetus warga kompleks perumahan Barata, Karang Tengah itu.

Setelah "rumahnya" berubah jadi rumah sakit, Dedeh sekeluarga terpaksa pindah hunian.

"Sungguh, semua ini tidak pernah saya rencanakan sebelumnya. Bermimpi pun tidak," wanita yang kini menjabat komisaris sekaligus anggota Satuan Pengawas Intern RS Bhakti Asih ini mengimbuh pelan.

Baru belakangan, setelah tempat praktiknya meraksasa, Dedeh mulai melengkapi senjata feeling-nya dengan peluru manajemen dan marketing.

Maklum, masalah yang membelit sekarang tak lagi sekadar mengedepankan pengabdian, tapi bagaimana mempertahankan rumah sakitnya agar dapat terus berdiri tegak, melayani masyarakat dari beragam strata sosial.

"Saya belajar sendiri dari buku dan kursus privat," sebut wanita penyuka baca, namun kurang suka dunia seni ini.

Dedeh yang sederhana sampai detik ini masih tetap sederhana. Obsesinya "hanya" punya "keluarga bahagia", dan masih lebih suka disebut ibu rumah tangga dan bidan, tinimbang pengusaha.

Padahal, beragam penghargaan sebagai "orang bisnis" pernah diraihnya, antara lain Asean Best Executive Golden Award dan Woman of the Year 2005 persembahan Kharisma Indonesia International Foundation.

"Alasan saya pensiun dari posisi sebagai bidan Puskesmas (tahun 2006 - Red.) pun untuk mengurus anak, bukan mengurus bisnis," lagi-lagi senyum mengembang di bibirnya.

Selama puluhan tahun, "sang komisaris" memang masih bolak-balik Puskesmas Ciledug - Bhakti Asih.

"Pagi sampai siang hari saya jadi karyawan biasa di Puskesmas, yang sudah saya anggap sebagai rumah kedua. Betul-betul jadi karyawan biasa. Selama ini saya bertahan semata-mata karena pengabdian. Wong gajinya habis cuma buat ongkos, kok. Nah, sore hari, baru saya ke Bhakti Asih," aku bidan yang sekali-kali masih membantu persalinan pasien ini.

Buat Dedeh, bisnis bisa saja berakhir. Tapi pengabdian sebagai bidan tak pernah kenal kata pensiun. (Muhammad Sulhi)

(Seperti pernah dimuat di Majalah KISAH – Intisari Vol. 3)

Artikel Terkait