"Saya percaya dan meyakini, Tuhan itu Maha Adil, dengan segala janji-janjinya," kalimat bijak meluncur begitu saja dari mulut Dedeh.
Dia lalu mencontohkan, tahun 1979, ketika hendak membeli rumah sekaligus membuka praktik bidan mangkal, Dedeh terbentur masalah dana. Duit tabungannya dan tabungan suami tidak cukup untuk mewujudkan impian muluk itu.
Terpaksa, dia dan suami meminjam dana tambahan dari Bank Rakyat Indonesia, sebesar Rp 5 juta. "Saat itu jumlah segitu gede banget. Bayangkan, harga tanah saja masih Rp 4.000,- per meter persegi," kenang Dedeh.
Karena sisa uang pinjaman itu masih lumayan besar, Dedeh lalu menginvestasikannya dalam bentuk barang berharga. Lagi-lagi, modalnya hanya feeling.
"Bener, feeling aja, karena saya enggak mau mendepositokan uang di bank," tegas ibu Susan Hadiyani (24), Chairul Iqbal Nugraha (16), dan Nayla Tufirha (masih balita) ini.
Feeling itu terbukti bertuah. Tahun 1980-an, kebijakan devaluasi yang dicanangkan pemerintah membuat nilai mata uang asing "tabungan" Dedeh melimpah ruah. Dari situ dia bergerak meningkatkan status rumah praktik menjadi rumah bersalin.
Puncak keajaiban feeling Dedeh terjadi tahun 1998, ketika tuntutan reformasi meledak menjadi kerusuhan sosial di kota-kota besar di Indonesia. Nilai tukar dolar Amerika Serikat melambung, harga barang-barang melonjak naik, termasuk "tabungan" Dedeh.
Tak ayal, dia mendapat suntikan dana yang lumayan besar. "Uangnya kira-kira cukup untuk membayar pinjaman dan meningkatkan status rumah bersalin menjadi rumah sakit," cetus warga kompleks perumahan Barata, Karang Tengah itu.
Setelah "rumahnya" berubah jadi rumah sakit, Dedeh sekeluarga terpaksa pindah hunian.
"Sungguh, semua ini tidak pernah saya rencanakan sebelumnya. Bermimpi pun tidak," wanita yang kini menjabat komisaris sekaligus anggota Satuan Pengawas Intern RS Bhakti Asih ini mengimbuh pelan.
Baru belakangan, setelah tempat praktiknya meraksasa, Dedeh mulai melengkapi senjata feeling-nya dengan peluru manajemen dan marketing.
Maklum, masalah yang membelit sekarang tak lagi sekadar mengedepankan pengabdian, tapi bagaimana mempertahankan rumah sakitnya agar dapat terus berdiri tegak, melayani masyarakat dari beragam strata sosial.
"Saya belajar sendiri dari buku dan kursus privat," sebut wanita penyuka baca, namun kurang suka dunia seni ini.
Dedeh yang sederhana sampai detik ini masih tetap sederhana. Obsesinya "hanya" punya "keluarga bahagia", dan masih lebih suka disebut ibu rumah tangga dan bidan, tinimbang pengusaha.
Padahal, beragam penghargaan sebagai "orang bisnis" pernah diraihnya, antara lain Asean Best Executive Golden Award dan Woman of the Year 2005 persembahan Kharisma Indonesia International Foundation.
"Alasan saya pensiun dari posisi sebagai bidan Puskesmas (tahun 2006 - Red.) pun untuk mengurus anak, bukan mengurus bisnis," lagi-lagi senyum mengembang di bibirnya.
Selama puluhan tahun, "sang komisaris" memang masih bolak-balik Puskesmas Ciledug - Bhakti Asih.
"Pagi sampai siang hari saya jadi karyawan biasa di Puskesmas, yang sudah saya anggap sebagai rumah kedua. Betul-betul jadi karyawan biasa. Selama ini saya bertahan semata-mata karena pengabdian. Wong gajinya habis cuma buat ongkos, kok. Nah, sore hari, baru saya ke Bhakti Asih," aku bidan yang sekali-kali masih membantu persalinan pasien ini.
Buat Dedeh, bisnis bisa saja berakhir. Tapi pengabdian sebagai bidan tak pernah kenal kata pensiun. (Muhammad Sulhi)
(Seperti pernah dimuat di Majalah KISAH – Intisari Vol. 3)
Penulis | : | Ade Sulaeman |
Editor | : | Ade Sulaeman |
KOMENTAR