Advertorial
Intisari-Online.com –Ketika Gunung Anak Krakatau diberitakan meletus sebanyak 422 kali pada Rabu (4/10/2018), banyak warga di sekitarnya, seperti Jakarta, yang merasa waswas.
Maklum, 135 tahun lalu 'ibunya' Gunung Krakatau meletus, ratusan desa luluh lantak, dengan korban jiwa mencapai puluhan ribu orang.
Artikel berjudulLetusan Gunung Krakatau Lebih Hebat dari Bom Atomyang dimuat di Majalah Intisari edisi Agustus 1983 berikut ini bisa menjadi gambaran betapa mengerikannya saat Gunung Krakatau meletus.
---
Baca Juga : Gempa Donggala Sulteng: Benarkah Hewan Mampu Memprediksi Terjadinya Gempa?
Seorang yang mengalami pribadi kedahsyatan letusan Krakatau dan berhasil mempertahankan hidupnya adalah seorang controleur yang ditempatkan di Beneawang, ibu kota afdeling Semangka, yang letaknya di Teluk Semangka, Lampung.
P.L.C. Le Sueur, pejabat Belanda itu, melaporkan kepada atasannya dalam sepucuk surat tertanggal 31 Agustus 1983 sebagai berikut:
"Pada hari Minggu sore, menjelang pukul empat, sewaktu saya sedang membaca di serambi belakang rumah saya, tiba-tiba saja terdengar beberapa dentuman yang menyerupai letusan meriam.
Saya mengira bahwa residen yang menurut rencana akan tiba besok dengan kapal bersenjata pemerintah mempercepat jadwal kunjungannya.
Baca Juga : Gunung Anak Krakau Erupsi: Dulu, Gunung Krakatau Pernah Meletus 10.000 Kali Lebih Dahsyat dari Bom Hiroshima
Saya segera mengumpulkan para kepala adat dan pejabat setempat ke pantai. Tetapi kami tidak melihat ada kapal di laut. Baru saja saya sampai ke rumah, seorang pesuruh melaporkan bahwa air laut mulai naik dan beberapa kampung di pantai sudah tergenang.
Saya segera berangkat lagi untuk menertibkan keadaan di antara rakyat yang mulai panik dan memanggil-manggil nama Allah. Saya menyuruh membawa wanita dan anak-anak ke tempat-tempat yang letaknya lebih tinggi. Air surut lagi dengan cepat, tetapi mulai hujan abu.
Sekitar pukul empat pagi saya dibangunkan oleh orang-orang yang memberitakan bahwa di kaki langit terlihat cahaya kemerah-merahan. Saya merasa khawatir. Pukul enam pagi, hari Senin, saya pergi ke pantai. Permukaan air laut jauh lebih rendah dari biasanya.
Sementara batu karang yang biasanya tak nampak, kini menjadi kering. Selanjutnya saya mendengarkan guruh sambung-menyambung, sehingga saya khawatir bahwa masih ada hal-hal yang lebih mengerikan yang akan menimpa kami.
Setiba di rumah saya menyuruh memanggil Van Zuylen (pembantu saya) untuk menulis rancangan surat kepada residen tentang apa yang terjadi. Jam sudah menunjukkan pukul tujuh lewat, tetapi cuaca begitu gelap, sehingga lampu-lampu masih menyala.
Sejurus kemudian kata Van Zuylen: "Maaf tuan, untuk sementara saya berhenti menulis saja. Saya merasa gelisah."
Baru saja ia mengatakan itu, ketika kami mendengar ribut-ribut. Laki-laki, perempuan dan anak-anak berlarian sambil berteriak: "Banjir! Banjir!"
Van Zuylen dan saya segera keluar dan menasihati orang-orang itu agar berlindung saja di rumah saya, karena rumah saya terletak di tempat yang agak tinggi dan dibangun di atas tiang. Tetapi tak lama kemudian air pasang kembali ke laut, sehingga semuanya tenang kembali.
Baca Juga : Walau Alami Erupsi Setinggi 1.000 Meter, Tapi Status Gunung Anak Krakatau Tidak Membahayakan
Ketenangan itu tak berlangsung lama: sejurus kemudian air laut kembali lagi dengan debur dan gemuruh yang menakutkan. Di rumah saya saat itu sudah ada sekitar tiga ratus orang pengungsi. Saya mondar-mandir di antara mereka untuk agak menenangkan mereka.
Tiba-tiba saya mendengar serambi depan runtuh dan air segera menerjang ke dalam rumah. Saya menganjurkan mereka untuk pindah ke serambi belakang. Baru saja saya mengatakan itu, tiba-tiba seluruh rumah roboh berantakan dan kami semuanya terseret oleh arus air.
Setelah itu saya tak tahu lagi apa yang terjadi. Saya berhasil meraih sekerat papan dan mengapung mengikuti aliran air, sampai kaki saya tersangkut sesuatu sehingga papan itu harus saya lepaskan.
Setelah itu saya berhasil menggapai beberapa keping atap. Saya berpegangan erat-erat sampai air kembali ke laut dan kaki saya menginjak tanah. Saya menggunakan jas saya untuk melindungi kepala dari hujan lumpur.
Baca Juga : Inilah Io, Satelit Planet Jupiter yang Memiliki Banyak Gunung Berapi
Di kejauhan saya mendengar suara minta tolong dari laki-laki, perempuan dan anak-anak, tetapi saya tak berdaya menolong. Saya tak bisa berdiri karena lemas, takut dan terkejut, lagi pula tak terlihat apa-apa sebab gelap.
Saya mendengar air datang lagi dengan kuatnya. Saya hanya bisa berdoa sejenak memohon penyelamatan nyawa kami semua sambil menyiapkan diri untuk menghadapi maut. Lalu saya dihanyutkan air, diputarkan, lalu dicampakkan dengan kekuatan dahsyat.
Saya terjepit antara dua buah rumah yang mengapung. Saya tak bisa bernapas lagi rasanya. Saya mengira bahwa ajal saya sudah sampai. Tetapi tiba-tiba kedua rumah itu terpisah lagi. Saya mendapat batang pisang yang tak saya lepaskan lagi.
Dengan demikian saya mengapung beberapa lama, berapa lama tepatnya saya tak tahu lagi. Waktu air surut, saya terduduk saja, barangkali sejam lamanya saya di situ tanpa bergerak. Di sekitar saya masih gelap gulita dan hujan lumpur berlangsung terus.
Kontrolir berteriak minta tolong
Akhirnya saya mendengar suara-suara manusia di dekat tempat itu. Saya memanggil, bangkit, lalu mulai berjalan tertatih-tatih dengan mata tertutup sambil meraba-raba jalan saya. Semua pakaian saya, kecuali baju kain flanel, telah tercabikkan dari badan saya.
Saya berjalan dalam keadaan kedinginan dan di bawah hujan lumpur, tetapi tak berhasil menemukan orang-orang yang saya dengar suaranya itu. Saya menginjak semak-semak berduri dan kulit saya tercabik oleh duri rotan, sedang saya lebih banyak terjatuh bangun daripada berjalan.
Akhirnya saya mendengar ada orang berkata dalam bahasa Lampung: "Kita tak jauh dari sungai besar." Saya mempercepat jalan saya sedapatnya, menyapu lumpur dari mata saya lalu bergegas menuju ke arah suara tadi. Dengan demikian saya bertemu seorang jawa, seorang Palembang dan beberapa orang wanita jawa.
Tak lama kemudian kami melihat sebuah obor dari jauh. Tanpa berhenti saya berteriak: " Tolong! Tolong! Saya kontrolir!" Tetapi agaknya pembawa obor itu tak mendengar suara saya. Beberapa kali lagi kami melihat cahaya itu, yang kemudian menghilang di dalam kegelapan. Ketika itu semestinya sudah sekitar pukul delapan atau sembilan pagi, tetapi masih tetap gelap gulita.
Baca Juga : Awas! Selain Merapi, Inilah 4 Gunung Berapi Paling Aktif di Pulau Jawa
Akhirnya ada juga seorang pembawa obor yang datang mendapatkan kami. Saya katakan kepadanya siapa saya, lalu ia mengantarkan saya melewati hutan semak berduri dan mengarungi lumpur ke Kampung Kasugihan, kemudian diteruskan ke Penanggungan.
Waktu sudah pukul delapan malam waktu kami tiba di sana. Di kampung ini saya beristirahat baru sejam ketika kami mendengar gemuruh air, sehingga tempat ini juga masih belum aman. Kami melarikan diri lagi ke arah pegunungan.
Setelah duajam berjalan kami mencapai Desa Payung yang terletak di lereng Gunung Tanggamus. Di tempat ini ada yang memberi saya sehelai sarung, sehingga saya berpakaian agak pantas.
Mujur bahwa saya mendapat sambutan baik dari kepala desa maupun rakyatnya, sehingga setiap hari saya bisa makan nasi dengan lauk ayam. Pada hari Selasa saya menyuruh menyelidiki siapa-siapa yang masih hidup dari tempat-tempat di pantai.
Baca Juga : Fotografer Pemberani Abadikan Danau Lava Gunung Berapi Aktif yang Penuh Risiko
Hasilnya amat menyedihkan. Hampir seluruh Beneawang musnah. Saya menaksir korban jiwa di daerah ini ada sekitar seribu orang. Banyak kampung lenyap. Di banyak desa terjadi kelaparan.
Mohon dikirim beberapa potong pakaian, sebab saya tak mempunyai apa-apa lagi, juga sepatu atau selop.
Hujan batu apung membara dan abu panas
Menurut laporan resmi, di Beneawang sekitar 250 orang meninggal, termasuk hampir semua pemuka adat daerah itu yang berkumpul untuk menyambut kedatangan residen. Termasuk Van Zuylen, klerk-griffier, pembantu Le Sueur, satu-satunya Belanda yang tewas.
Kampung-kampung pantai di sebelah barat dan timur Teluk Semangka mengalami penghancuran total atau sebagian; hanya di Tanjungan dan di Tanjung Beringin yang terletak di de katnya 327 orang dinyatakan hilang, di Betung yang berdekatan 244 orang.
Baca Juga : Awas! Selain Merapi, Inilah 4 Gunung Berapi Paling Aktif di Pulau Jawa
Dari Ketimbang di pantai Teluk Lampung kita ikuti kisah kontrolir Beyerink yang lebih mengenaskan, karena ia pribadi kehilangan seorang anggota keluarganya dalam malapetaka itu.
"Pada Minggu sore, tanggal 26 Agustus itu distrik kami ditimpa hujan abu dan batu apung membara. Rakyat melarikan diri dalam suasana panik. Abu yang jatuh itu begitu panasnya, sehingga hampir semua orang menderita luka bakar pada muka, tangan dan kaki.
Di antara penduduk yang berjumlah kurang lebih tiga ribu orang yang mengungsi bersama saya ke daerah yang lebih tinggi, paling sedikit ada seribu orang yang meninggal karena luka bakar. Seorang di antara anak saya juga meninggal. Kami terpaksa memakamkannya dalam abu."
Antara pukul sembilan dan sepuluh malam air mulai menggenangi halaman rumah kontrolir. Ini merupakan dorongan kuat bagi Bayerink untuk mengajak keluarganya yang terdiri atas istrinya dan kedua anaknya yang masih kecil mengungsi ke Kampung Umbul Balak di lereng Gunung Raja Basa.
Baca Juga : Foto-foto Mengerikan dari Luapan Lava Gunung Berapi Kilauea di Hawai, Jalanan Beraspal pun Terbakar
Semalam-malaman turun hujan kerikil dan abu, hari Minggunya sampai pukul 11 malam hujan deras, paginya antara pukul sembilan dan sepuluh jatuh kepingan-kepingan batu apung, ada yang sebesar kepala.
Ledakan-ledakan sudah terdengar terus-menerus sejak hari Minggu dan sejak hari Senin tercium bau belerang. Gelegar letusan terhebat terdengar sekitar pukul sepuluh, disusul segera oleh kegelapan total.
Tak lama kemudian mulai turun abu panas, yang rasanya sangat nyeri jika terkena kulit. Ini berlangsung kira-kira seperempat jam, mungkin lebih lama, disertai uap belerang yang menyesakkan napas.
Sesudah itu turun hujan lumpur, yang melekat pada tubuh, tetapi lebih mending daripada abu panas yang mengakibatkan luka-luka bakar. Lumpur dan abu silih berganti berjatuhan semalam suntuk, mungkin juga sampai Selasa pagi.
Baca Juga : Meletus, Gunung Api Gamalama Mulai Lontarkan Abu Vulkanik di Pulau Ternate
Selama lima hari Beyerink dengan keluarganya menderita di bawah tempat berteduh yang , sederhana, dikelilingi sejumlah besar rakyat yang ikut melarikan diri ke tempat itu. Mereka semuanya sangat menderita, terutama oleh luka-luka bakar yang tak diobati.
Anak terkecil keluarga Bayerink akhirnya meninggal karena luka-lukanya dan keadaan yang menyedihkan itu.
Akhirnya mereka dibebaskan oleh kapal bargas Kediri yang pada hari Saptu pagi, tanggal 31 Agustus membuang sauh di Teluk Kalianda. Nakhoda kapal beserta beberapa anak buahnya melakukan peninjauan ke darat.
Mereka mendengar bahwa kontrolir dengan keluarganya mengungsi di Umbal Balak. Mereka bergegas menjemputnya. Dengan bantuan tandu keluarga yang malang itu akhirnya dapat dibawa ke pantai dan hari itu juga Kediri bertolak ke Jakarta.
Baca Juga : Jika Gunung Api Ini Meletus, Seluruh Penerbangan di Eropa Akan Dihentikan, Ini Alasannya
Demikianlah kisah beberapa saksi mata yang mengalami secara pribadi malapetaka Krakatau itu. Para pengamat waktu itu setelah mengumpulkan data yang digeroleh, menyimpulkan bahwa letusan Krakatau bulan Agustus 1883 itu tidak disertai atau didahului oleh gempa kuat. Di beberapa tempat memang terasa guncangan ringan.
Bulan dan matahari berwarna-warni
Yang meminta korban jiwa maupun kerusakan paling berat ialah air pasang yang melanda pantai-pantai yang berbatasan dengan Selat Sunda dan utara Pulau Jawa. Hanya sebagian kecil korban diakibatkan oleh abu panas, sedang awan panas atau gas beracun tidak tercatat.
Dari laporan-laporan ternyata bahwa gelombang pasang itu terjadi tiga kali, yang pertama pada hari Minggu pukul 18.00, pada hari Senin sekitar pukul 06.30 dan pukul 10.30. Gelombang yang terakhir adalah yang terbesar, yang menyebabkan kerusakan paling banyak.
Penghancuran Teluk Betung dan Caringin terutama diakibatkan oleh gelombang terakhir itu.
Setelah aktif selama 121 hari sejak bulan Mei dan puncak ledakan tanggal 28 Agustus itu akhirnya semuanya menjadi tenang kembali. Krakatau lenyap seperti ditelan bumi; hampir seluruh belahan utara pulau itu hilang.
Baca Juga : Jika Gunung Api Ini Meletus, Seluruh Penerbangan di Eropa Akan Dihentikan, Ini Alasannya
Yang tinggal hanya batuan sepanjang 813 meter. Gunung berapi Danan dan Perbuatan juga gaib, dan di tempat itu terbentuk suatu kaldera raksasa yang berdiameter 7,4 km.
Abu halus yang dilontarkan ke angkasa ditiup ke arah barat oleh angin dan keliling dunia dengan kecepatan 121 km tiap jamnya. Setelah enam minggu, dalam bulan Oktobcr 1883 suatu sabuk debu dan abu halus menyebar sekitar bumi.
Hanya dua hari setelah letusan abu halus itu sudah meliputi benua Afrika dan lima belas hari kemudian telah mengitari bumi, mengakibatkan suatu kabut di seluruh daerah khatulistiwa yang menyebar sedikit demi sedikit.
Pada tanggal 30 November kabut itu mencapai Eslandia. Kabut debu itu menyebabkan pelbagai dampak optik, termasuk senja kala yang gilang gemilang, matahari dan bulan berwarna dan munculnya corona. Di banyak tempat di dunia terlihat matahari atau bulan berwarna merah jambu, hijau, biru.
Baca Juga : Ada di Kawah Gunung Api Hingga di Bawah Tanah, Inilah 7 Desa Paling Tersembunyi di Dunia
Enam bulan setelah letusan Krakatau, penduduk kota Missouri di Amerika melihat matahari kuning dengan latar belakang langit hijau. Pada tanggal 29 Descmber di Hankow (Cina) orang melihat matahari tiba-tiba menjadi hijau, kemudian merah lalu kdcmbali lagi hijau.
Sebuah majalah populer Belanda memberi judul karangan tentang letusan Krakatau "Lebih hebat daripada bom atom". Ledakan bom atom bukan apa-apa dibandingkan dengan letusan Krakatau.
Bom atom pertama yang diledakkan sebagai percobaan di dekat Los Alamos pada tanggal 16 Juni 1945 memancarkan energi sebesar 0,019 Megaton, sedangkan ledakan Krakatau diperkirakan sebesar 410 Megaton!
Kekuatan letusan itu setara dengan 21.428 bom atom. Sedang korban jiwa yang direnggutnya oleh gelombang pasang merupakan yang tertinggi yang pernah tercatat sampai hari ini.
Ini belum terhitung korban tidak langsung yang meninggal oleh penyakit dan kelaparan yang terjadi kemudian.
Baca Juga : Selama Seminggu, Telah Terjadi 464 Gempa di Gunung Api Yellowstone, Berbahayakah?