Baca Juga : (Foto) Taman Ini Perlihatkan Bagaimana Seramnya Penyiksaan di Neraka, Berani Lihat?
Kursi-kursi taman tersedia bagi pejalan kaki yang lelah. Kios-kios penjual suvenir tersedia di beberapa sudut jalan.
Perjalanan di sepanjang jalan ini, termasuk hampir di seluruh pelosok kota terasa makin asyik berkat adanya wifi gratis bertuliskan “Tbilisi Loves You”. Jadi walau sinyal ponsel saya mati total, internetan jalan terus. Bahkan saya bisa internetan dari atas bus kota.
Di sepanjang Rustavelli Avenue ini, banyak terdapat toko yang cukup besar. Namun jangan mencari mal di Tbilisi. Karena satu-satunya mal yang cukup besar hanya di pinggir kota. Tbilisi memang diciptakan untuk pejalan kaki dengan Rustavelli Avenuenya yang nyaman dan menawan. Apalagi bila kita tidak diganggu oleh kehadiran pengemis cilik tadi.
Lambat dan santai
Menurut legenda, Kota Tbilisi didirikan Raja Vakhtang I “Gorgasali” pada sekitar abad ke-5. Karena di tempat ini banyak dijumpai sumber air panas bermineral, maka namanya Tbilisi yang berasal dari kata tpili (hangat). Dalam bahasa Persia kota ini dikenal dengan nama Tiflis.
Baca Juga : Fase Awal Operasi Barbarossa: Lincahnya Jerman Menginvasi Uni Soviet dalam Pertempuran Raseiniai
Salah satu pemandian air panas itu ada di sudut kota tua Tbilisi tak jauh dari Sungai Kura dalam Bahasa Turki atau Sungai Mtkvari dalam Bahasa Georgia. Tempat yang bernama Abanotubani ini, sekilas suasananya dipenuhi bangunan bawah tanah dengan kubah-kubah kecil mirip bangunan di Turki.
Bentuk bangunannya bermacam-macam, bahkan ada yang mirip masjid dengan arsitektur campuran Turki dan Persia.
Tak jauh dari sana ada Heydar Aliyev Park. Di taman yang dipenuhi kursi dan bebungaan ini, banyak sekali pengunjung yang duduk santai sambil menunggu senja tenggelam.
Kehidupan di kota ini memang terkesan berjalan agak lambat dan santai. Masyarakat banyak menghabiskan waktu bercengkerama di taman-taman di seantero kota.
Baca Juga : Petinggi Uni Soviet: Soekarno Terlalu Suka Berpesta dan Berdansa
Source | : | intisari |
Penulis | : | K. Tatik Wardayati |
Editor | : | Ade Sulaeman |
KOMENTAR