Advertorial
Intisari-Online.com – Georgia yang ini bukan terletak di Amerika Serikat. Di Georgia yang ada di wilayah bekas Uni Soviet ini, waktu seolah berjalan lambat dan santai.
Mari kita simak pengalaman Taufik Hidayat dalam tulisannya, Menapaki Awal Benua Eropa di Georgia, seperti pernah dimuat di Majalah Intisari edisi Desember 2013.
Wajar jika banyak yang tidak tahu letak Tbilisi. Begitu pula ketika saya katakan tentang Georgia, banyak yang mengira wilayah itu ada di Amerika Serikat. Kota ini memang sangat tidak terkenal dan tidak masuk dalam daftar rencana tujuan kunjungan bagi kebanyakan orang Indonesia.
Penduduk di negeri yang menjadi batas antara benua Asia dan Eropa ini memiliki semboyan penegasan identitas ke-Eropa-an mereka: “Georgia, where Europe Start”.
Baca Juga : Kena Tilang, Perempuan asal Georgia ini Malah Senang dan Memberi Surat Terima Kasih ke Polisi
Dalam perjalanan kali ini, saya bisa melihat sendi-sendi kehidupan masyarakat yang sedang berubah. Masyarakat yang sebagian besar menganut Kristen Ortodoks ini sempat hidup puluhan tahun di bawah rezim Komunis.
Namun hingga kini keunikan identitas mereka tetap terjaga di antara pengaruh negeri tetangganya yaitu Turki, Iran, Rusia , serta Armenia dan Azerbaijan.
Naik angkot kuning
Salah satu identitas Georgia yang masih dipertahankan sampai kini adalah penggunaan bahasa dan abjadnya yang khas. Cirinya ada pada lengkungan-lengkungan yang sekilas mirip abjad India, Thailand, Kamboja, Myanmar, maupun Jawa.
Baca Juga : Nina, Ibu Rumah Tangga di Belakang Kebesaran Krushchev, Tokoh Revolusioner Uni Soviet
Dan aksara Mkhedruli yang terdiri atas 33 huruf itu pula yang terpampang di hampir semua tempat umum, seperti stasiun metro, bus, dan juga angkutan umum matshruska. Walhasil, saya pun terpaksa harus menghafalkan beberapa abjad, supaya tidak tersesat.
Georgia, khususnya Tbilisi cukup beruntung memiliki sistem transportasi cukup baik warisan Uni Soviet, tahun 1970-an. Seperti metro-metro di negeri eks Soviet lain, metro di sini juga berada di kedalaman bawah tanah yang membuat eskalator begitu panjang, sehingga tidak terlihat ujungnya.
Bedanya, eskalator-eskalator tua ini saya rasakan berjalan lebih cepat dibandingkan dengan yang di Moskwa atau St. Petersburg.
Bus umum di Tbilisi juga terasa cukup nyaman. Di halte-halte bus, informasi rute dan jadwalnya terpampang di papan elektronik. Kalau mau naik, kita cukup menempelkan kartu langganan di sebuah mesin, kemudian akan tercetak tiket kertas yang mencantumkan waktu dan nomor bus.
Baca Juga : Melakukan Pertemuan Sambil Berenang, Cara Konyol Mantan Presiden China Memperlakukan PM Uni Soviet
Tiket ini harus disimpan, jikalau sewaktu-waktu ada pemeriksaan dari petugas berseragam biru muda.
Ada pula sejenis angkot besar berwarna kuning disebut matshruska. Angkutan jenis ini cukup banyak dan sering terlihat, namun nomor rute dan tujuannya hanya dalam aksara setempat.
Saya sendiri sempat mencoba matshruska dengan tujuan Avlabari Metro Station yang selalu dimulai dengan lambang M. Ongkosnya 0.80 Lari (1 Lari = Rp6.700), pakai uang tunai atau money card. Uniknya, bayar ongkosnya pas kita turun. Ya, mirip angkot ‘kan?
Jangan harap ketemu mal
Salah satu jalan utama di Tbilisi sekaligus ikon kota adalah Rustaveli Avenue. Jalan sepanjang dua kilometer ini membentang di pusat kota.
Baca Juga : Naval Space Fleet, Armada Luar Angkasa yang Justru Dimiliki Angkatan Laut Uni Soviet, Kok, Bisa?
Deretan bangunan tua dan indah berada di sana seperti gedung opera, gereja, pertokoan, hotel, gedung pemuda, dan gedung-gedung penting lain. Jalan berakhir di sebuah bundaran Liberty Square dengan sebuah patung emas Santo George.
Saya mulai menyusuri jalan ini sejak keluar dari stasiun Metro Rustavelli dan bertemu dengan sebuah tugu dan air mancur yang disebut Rose Revolution Square. Sebuah kolam dengan air mancur kecil tampak dipenuhi anak-anak bermain bahkan berenang riang.
Namun ternyata sebagian dari mereka juga berperan ganda sebagai pengemis cilik yang agresif. Seorang anak bahkan sempat bergayutan di kaki saya dan tak mau melepaskan diri sampai diberi uang.
Rustaveli Avenue dengan pedestriannya yang lebar dan diteduhi pepohonan rindang membuat berjalan di sepanjang jalanini menjadi sangat nyaman. Pemandangan trotoar dengan taman kecil dan bangunan-bangunan tua, memberi nuansa lain dari pusat Kota Tbilisi.
Baca Juga : (Foto) Taman Ini Perlihatkan Bagaimana Seramnya Penyiksaan di Neraka, Berani Lihat?
Kursi-kursi taman tersedia bagi pejalan kaki yang lelah. Kios-kios penjual suvenir tersedia di beberapa sudut jalan.
Perjalanan di sepanjang jalan ini, termasuk hampir di seluruh pelosok kota terasa makin asyik berkat adanya wifi gratis bertuliskan “Tbilisi Loves You”. Jadi walau sinyal ponsel saya mati total, internetan jalan terus. Bahkan saya bisa internetan dari atas bus kota.
Di sepanjang Rustavelli Avenue ini, banyak terdapat toko yang cukup besar. Namun jangan mencari mal di Tbilisi. Karena satu-satunya mal yang cukup besar hanya di pinggir kota. Tbilisi memang diciptakan untuk pejalan kaki dengan Rustavelli Avenuenya yang nyaman dan menawan. Apalagi bila kita tidak diganggu oleh kehadiran pengemis cilik tadi.
Lambat dan santai
Menurut legenda, Kota Tbilisi didirikan Raja Vakhtang I “Gorgasali” pada sekitar abad ke-5. Karena di tempat ini banyak dijumpai sumber air panas bermineral, maka namanya Tbilisi yang berasal dari kata tpili (hangat). Dalam bahasa Persia kota ini dikenal dengan nama Tiflis.
Baca Juga : Fase Awal Operasi Barbarossa: Lincahnya Jerman Menginvasi Uni Soviet dalam Pertempuran Raseiniai
Salah satu pemandian air panas itu ada di sudut kota tua Tbilisi tak jauh dari Sungai Kura dalam Bahasa Turki atau Sungai Mtkvari dalam Bahasa Georgia. Tempat yang bernama Abanotubani ini, sekilas suasananya dipenuhi bangunan bawah tanah dengan kubah-kubah kecil mirip bangunan di Turki.
Bentuk bangunannya bermacam-macam, bahkan ada yang mirip masjid dengan arsitektur campuran Turki dan Persia.
Tak jauh dari sana ada Heydar Aliyev Park. Di taman yang dipenuhi kursi dan bebungaan ini, banyak sekali pengunjung yang duduk santai sambil menunggu senja tenggelam.
Kehidupan di kota ini memang terkesan berjalan agak lambat dan santai. Masyarakat banyak menghabiskan waktu bercengkerama di taman-taman di seantero kota.
Baca Juga : Petinggi Uni Soviet: Soekarno Terlalu Suka Berpesta dan Berdansa
Ada lagi beberapa tempat pemandian lain, salah satunya Bath House No. 5. Semakin sore, banyak penduduk yang hanya menjinjing kantung plastik masuk ke pemandian ini. Cukup bayar tiket 2 Lari, mereka dapat menghabiskan waktu sambil bercengkerama dengan teman sejawat.
Kalau mau lebih akrab, acara mandi juga bisa dilakukan bersama-sama. Tentu saja dengan sesama jenis. Dengan 10 Lari saja, kita bisa menikmati pijatan yang mirip dengan Turkish Bath, namun ala Georgia. Anda berani coba?
Kereta gantung termurah di dunia
Tbilisi merupakan kota tua yang indah dengan aliran Sungai Kura yang meliuk-liuk. Pada malam hari, bangunan-bangunan tua di kota ini diberi lampu-lampu yang terang hingga menambah keindahannya.
Salah satu cara untuk menikmati pemandangan itu adalah dengan naik kereta gantung menuju ke puncak bukit di kawasan Narikala Fortress di mana terdapat patung Mother Georgia.
Semakin malam, semakin banyak orang menaiki kereta gantung dengan ongkos 1 Lari itu. Saking murahnya ongkos naik kereta gantung ini, saya pun mencoba naik untuk kedua kalinya di siang hari sehingga hampir seluruh pelosok kota bisa terlihat jelas.
Tampak “Bridge of Peace” yang bentuknya sangat futuristik dan juga istana Presiden Georgia yang megah. Atau mobil tua merek Lada, peninggalan Soviet, juga tampak masih parkir di kawasan ini.
Saya juga sempat mengunjungi sisi eksotis kota ini yakni di kawasan kota tua. Ciri dari kawasan ini adalah pada bentuk bangunannya, di mana terdapat beranda di lantai dua atau tiga yang berpagar kayu dengan warna beraneka ragam.
Kawasan ini sebenarnya cukup luas, namun sayangnya sebagian tidak terawat.
Baca Juga : Kisah Sedih Kota Tua Aleppo, Situs Warisan Dunia yang Kini Hancur Berantakan
Beberapa ruas jalan sudah cukup ramai dengan deretan toko suvenir, cafe, atau restoran. Namun saat saya mencoba berjalan menyusuri lebih dalam lagi bagian kota tua menuju ke Liberty Square, terasa suasananya yang sepi.
Bahkan bangunan-bangunan yang sudah tampak direnovasi, terlihat kosong melompong tak berpenghuni.
Akhir kata, perjalanan selama beberapa hari di Georgia telah memberikan suatu pengalaman dan nuansa lain dibandingkan dengan perjalanan saya ke negeri-negeri lain.
Salah satunya adalah tidak adanya perjanjian roaming antarprovider telekomunikasi sehingga ponsel saya ngambek sama sekali.
Namun, kata orang, hidup adalah perjalanan. Karenanya nikmati saja perjalanan itu apa adanya agar kita selalu dapat menikmati kehidupan ini.
Baca Juga : Ada yang Baru dari Museum Fatahillah Kota Tua Jakarta