"Generasi pertama yang mendirikan secara turun temurun selalu menghargai walapun ada saudara-saudara yang berbeda. Perbedaan itu tidak membuat mengeksklusifkan diri," ujar Merry.
"Enggak pernah secara langsung berdialog dengan pengurus masjid. Tapi kami selalu berupaya generasi ke generasi ditanamkan bahwa kami hidup berdampingan," ujar Merry.
Merry mengatakan, selama puluhan tahun berdampingan, sejumlah cara dilakukan agar kedua umat beragama itu selalu nyaman dengan kondisi yang ada.
Misalnya, saat hari-hari besar umat islam seperti Idul Adha atau Idul Fitri.
Jika hari besar jatuh pada Hari Minggu, maka pengurus gereja meniadakan ibadah pagi mereka.
"Kalau jatuhnya Hari Minggu, ibadah jam 06.00 pagi kami tiadakan. Pagi kami beri kesempatan untuk melaksanakan shalat Id. Kami juga menyediakan lahan parkir untuk jamaah masjid," ujar Merry.
Merry mengatakan, setiap tahun saat bulan puasa, pengurus gereja juga memberikan makanan berbuka puasa kepada jamaah di masjid tersebut.
Satu hal yang juga membuat Merry terkesan yaitu saat pengeras suara masjid yang diarahkan menjauhi gereja.
Hal itu, kata Merry memperlihatkan bahwa pengurus masjid menghargai cara ibadah dan keberagaman yang ada.
"Kalau pihak masjid, pengeras suaranya enggak diarahin ke mari, diarahinnya ke terminal," ujar Merry.
(David Oliver Purba)
Artikel ini sudah tayang di kompas.com dengan judul “Berdampingan 45 Tahun, Gereja dan Masjid Ini Saling Menjaga Toleransi”.
Penulis | : | Ade Sulaeman |
Editor | : | Ade Sulaeman |
KOMENTAR