Mereka bertanya siapa Munir, di mana saya kenal Munir, apakah Munir memiliki masalah kesehatan, apakah Munir mempunyai musuh dan hal detail lainnya. Tampaknya itu adalah pertanyaan-pertanyaan dasar yang perlu diutarakan dalam kasus-kasus kematian di pesawat.
Baca Juga : Terpidana Kasus Pembunuhan Aktivis Munir Jadi Anggota Partai Berkarya ‘Besutan’ Tommy Soeharto
Saya ceritakan tentang Munir yang seorang aktivis HAM, bagaimana saya mengenalnya, dan termasuk salah satu yang hadir dalam pesta perkawinan kami tiga bulan lalu.
Saya juga ceritakan tentang bagaimana berkali-kali Munir memperoleh teror pembunuhan (karena Munir juga pernah cerita itu pada saya). Tak lupa saya sampaikan jika Munir juga memperoleh teror bom yang dipasang di halaman rumah orangtuanya di Malang.
Dua orang polisi itu ingin menegaskan kematian Munir ada hubungannya dengan pekerjaannya. "Kemungkinan itu ada, mengingat sepak terjangnya," jawab saya.
Saya tidak ingat berapa lama wawancara itu berlangsung. Begitu wawancara dianggap selesai, saya dipersilakan untuk menghubungi siapa saja yang ingin saya hubungi menggunakan telepon mereka.
Baca Juga : 13 Tahun Meninggalnya Pejuang HAM Munir: Kisah Manusia Biasa Bernama Munir
Saya hubungi Poengky dan mengabarkan apa yang saya ketahui. Saya lihat polisi yang berbaju biru juga menelpon. Tidak jelas dia berbicara dengan siapa, tapi yang saya dengar dia beberapa kali menyebut nama Munir.
Di antara jeda menghubungi kawan-kawan di Jakarta, suami saya menelepon menanyakan apakah saya sudah sampai di Utrecht. Saya hanya sanggup berkata, "Saya masih di Schiphol. Munir meninggal dunia ...." Tangis saya meledak lagi. Leo kaget luar biasa dan langsung menyusul ke Schiphol.
Saya baru dibawa ke mortuarium tempat Munir disemayamkan setelah Leo datang. Di sana sudah menunggu dua orang detektif dari The Royal Netherlands Marechaussee.
Ternyata, polisi berbaju biru yang kami temui sebelumnya menyerahkan kasus ini ke Marechaussee karena dianggap kasus penting. Kematian Munir dianggap cukup mencurigakan.
Baca Juga : Penegakan Hukum Pajak di Indonesia Seperti ‘Berburu di Kebun Binatang’, di Situ-situ Saja
Source | : | intisari |
Penulis | : | K. Tatik Wardayati |
Editor | : | Ade Sulaeman |
KOMENTAR