Intisari-Online.com – Konon, keluarga H. Agus Salim mentradisikan turutnya anak-anak menyambut tamu. Anak-anak juga bebas berdiskusi. Tentu saja mereka tak luput dari kesalahan sehingga mendapat teguran.
Tapi, Maatje tidak pernah kehilangan kendali emosi. Ia tidak pernah menyebut "anak nakal", tetapi sebagai gantinya "anak tidak manis". Tidak ada bentakan atau omelan.
(Baca juga:Cak Budi Gunakan Uang Donasi untuk Beli Fortuner Termasuk Sangat Kurang Ajar)
Kemarahan orang tua bukan sebagai pelampiasan hawa nafsu, tapi untuk memperbaiki kelakuan anak.
Jadi, kalau anak berbuat salah, sehingga menimbulkan amarah orang tua, redakan dulu perasaan marah orang tua.
Pikirkanlah cara terbaik untuk memperbaikinya. Itulah falsafah yang diajarkan H. Agus Salim yang dijalankan juga oleh istrinya.
Kalau bicara soal pendidikan, tentu orang akan mempertanyakan hasilnya. Paling tidak, apakah anak-anak yang dididik dengan cara di atas dapat hidup layak atau tidak.
Temyata, putri kedelapannya, bisa bekerja di sebuah perusahaan asuransi sebelum menikah dengan Soenharjo, mantan konsul di Jepang.
Bahkan setelah suaminya meninggal, pada usia 38 tahun, ia bisa bekerja kembali di perusahaan asing dengan penghasilan yang cukup.
Sementara putri tertuanya, Theodora Atia, aktif dalam gerakan wanita Islam dan organisasi Lembaga Indonesia Amerika.
Sedangkan Taufik Salim pernah bekerja pada Inter Vista, sebuah biro iklan, dan kini sibuk sebagai penerjemah. Putri ketiganya, Violet, menjadi ibu rumah tangga di Yogya.
Sedangkan Islam Salim berkecimpung di ketentaraan dengan pangkat kolonel dan pernah menjabat sebagai atase militer di RRC. Sidik Salim (si bungsu), yang ikut sekolah formal setelah dites masuk kelas II SMP, bekerja di Bank Of America.
(Baca juga:Militer AS Ingin ‘Hack’ Otak Manusia Agar Tentara Semakin Cerdas dan Cepat Belajar Bahasa Musuh)
Setidaknya, anak-anak didikan Maatje yang lembut dan necis ini dapat menghidupi keluarga mereka dengan baik.
Cucunya, Maryam Soedjono, putri dari anak tertuanya, merasa heran bagaimana Oma-nya bisa sampai mengantarkan anak-anaknya sedemikian rupa, sehingga mereka semua menjadi "orang".
Dengan pendidikan yang sebegitu saja, anak-anak H. Agus Salim bisa mencapai kedudukan yang sekarang.
Bagaimanakah kalau mereka sekolah formal dan memperoleh kesempatan mengenyam pendidikan yang lebih tinggi lagi. Pasti lebih hebat lagi hasilnya.
Namun, penerapan pendidikan macam di atas saat itu mungkin memang cocok dengan situasi dan zamannya, demikian diungkapkan oleh Bibsy. la sendiri sebagai produk pendidikan di atas tidak mendidik putra-putrinya sendiri seperti sang ibu.
"Saya tidak setelaten Maatje," ungkapnya. Menurut Maryam, situasinya memang berbeda.
Tapi, menyesalkah anak-anak Maatje tidak masuk sekolah seperti anak-anak lain?
Bibsy Soenharjo merasa tidak pernah menyesali dirinya. Ia tidak pernah merasa kurang dibandingkan dengan rekan sebayanya. la sempat ikut tes untuk bisa ujian pelengkap SMA di Budi Utomo dengan hasil yang cukup baik.
Cuma ia mengakui bahwa dalam dirinya ada satu hal yang. hilang: tidak ada ambisi untuk bersaing. Selain itu jika mereka mengerjakan sesuatu tidak pernah memikirkan untuk mendapatkan pujian.
Yang terutama ada dalam pikiran hanyalah bagaimana sesuatu bisa dikerjakan dengan baik. Tampaknya menguasai suatu ilmu lebih,ditekankan dibandingkan dengan mengejar nilai.
(Baca juga:Dikritik Para Donatur, Cak Budi Berniat Menjual Kembali Fortuner dan iPhone 7 yang Dibelinya)
Dari pengalaman anak-anak H. Agus Salim mungkin kita dapat menarik hikmahnya juga. Jika seseorang tak dapat meneruskan sekolah, itu tidak berarti dunia berhenti.
Setidaknya kita masih bisa mencari ilmu lewat bacaan-bacaan yang ada. Jadi, bagi anak-anak yang putus sekolah, janganlah lekas putus asa.