Intisari-Online.com -Tahun 1996, Antarina SF Amir mendirikan HighScope Indonesia (HSI). Pendirian sekolah internasional yang induknya berada di Amerika Serikat itu, menurut Antarina, cukup mewakili visinya tentang pendidikan. Kini, setelah 17 tahun berjalan, HSI mulai meluluskan murid-murid berkualitas. Masyarakat membaca testimoni orang tua yang menyekolahkan anaknya di sana dan sekolah mulai berjalan sebagaimana yang diinginkan. “Mungkin memang harus seperti ini jalannya mendorong perubahan dalam pendidikan,” ujar Antarina.Antarina bercita-cita mengubah paradigma orang bahwa sistem pendidikan tidak harus dijalani seperti zaman pabrik (factory style) dulu. Dalam sistem pendidikan gaya pabrik, metode pembelajarannya satu arah, bercorak doktriner. Di akhir fase pembelajaran ada semacam quality control dengan mekanisme bernama ujian nasional.“Padahal, anak kita bukan produk pabrik, anak kita manusia. Ini tidak manusiawi dan sistem ini pun di Barat sudah lama direvisi,” timpal ibu dari 4 putra ini. Model pendidikan seperti itu hanya berlaku pada zaman revolusi industri ketika mulai muncul ide tentang sekolah. Ketika orang mencari sistem sekolah mereka meniru model pabrik karena waktu itu sedang era revolusi industri. Maka, disebut factory style.Untuk menyiapkan manusia abad 21, lanjut Antarina, sistem dan cara penilaian siswa harus berganti, menyesuaikan dengan perubahan kehidupan masyarakat. Alam, sains, fashion, teknologi, ekonomi, dan banyak hal lain, sudah berubah. Maka, sistem pendidikan pun harus berubah. Begitu pikir Antarina. Hambatan muncul dari orang-orang berparadigma kolot yang selalu mengagung-agungkan masa lalu. “Nah itulah yang kami perjuangkan di sini: mengubah paradigma mereka tentang sistem pendidikan,” begitu kata Antarina, bersemangat.
Memberi kail, bukan ikan
Meski menginduk ke HighScope di Amerika, sekolah yang dikembangkan Antarina ini mengembangkan materi yang sesuai dengan konteks keindonesiaan. Hanya prinsip belajarnya saja berpijak pada filosofi pendidikan High Scope, yakni konstruktivisme. Menurut konsep ini, manusia harus dibiarkan membentuk pengetahuannya sendiri. Misalnya, dari pengalaman, berinteraksi dengan orang lain, buku, dan media. Karena itu, dalam proses belajar di kelas, siswa pun tak diperlakukan bak tabula rasa yang hanya menerima begitu saja apa yang dikatakan guru.“Tugas kita adalah memfasilitasi mereka dengan memberikan pengalaman sebanyak-banyaknya yang berkaitan dengan dunia nyata,” ujar Antarina. Contoh: memberikan pengetahuan tentang buku yang harus dibaca dan cara membacanya. Selanjutnya mereka dibiarkan untuk mencari sendiri pengetahuannya dengan semangat pencarian yang kritis dan rasa ingin tahu yang besar.“Kita tidak memberi mereka ikan, tapi memberikan kail. Kita memberdayakan mereka supaya siap terjun ke dunia nyata dan mengembangkan pengetahuannya,” tambah dia. Pada titik ini lah, Antarina meyakini dirinya telah meneruskan semangat perjuangan Ki Hajar Dewantara, yang tidak lain merupakan eyangnya.