Pendidikan Finansial: Kenalkan Konsep Nilai agar Anak Melek Keuangan Sejak Dini

Arnaldi Nasrum

Penulis

Pendidikan Finansial: Kenalkan Konsep Nilai agar Anak Melek Keuangan Sejak Dini
Pendidikan Finansial: Kenalkan Konsep Nilai agar Anak Melek Keuangan Sejak Dini

Intisari-Online.com - Sebuah riset yang dilakukan pada tahun 2015 oleh Aakar Abyaza Fidzuno, seorang perencana keuangan dari Janus Financial, di beberapa sekolah dan para kliennya mengungkapkan, hampir 92 persen orangtua tidak tahu bagaimana mengenalkan dan mengajarkan pengelolaan keuangan kepada anak.

Aakar menemukan bahwa sejumlah orangtua tidak berhasil mengajarkan keuangan kepada anaknya karena uang dianggap lebih tabu dari seks. Ada kecenderungan para orangtua membicarakan uang hanya dari sisi positifnya saja. “Orang-orang cenderung bicara yang baik-baik saja soal uang,” jelas Aakar kepada Intisari. Padahal, anak juga harus mengetahui dampak dari pengelolaan keuangan yang buruk seperti hidup boros dan tidak memiliki tabungan.

Parahnya lagi, jika persoalan finansial muncul, banyak orangtua yang berprinsip bahwa yang penting anak tahu beres. Sementara, orangtua sendiri tidak disiplin dalam mengikuti perencanaan keuangan. Akibatnya, mereka secara tidak langsung telah mengajarkan kesalahan tersebut kepada anaknya.

Hal ini juga diungkapkan Ligwina Hananto, perencana keuangan dari QM Financial. Menurutnya, penting bagi orangtua dan guru untuk memberikan contoh. Jangan sampai orangtua mengajak anak menabung dengan rajin tetapi ibunya sendiri kalap di mal. “Anak akan bingung karena mendapat dua pesan yang kontradiktif,” tegas Ligwina.

Perlu dipahami, mengenalkan finansial kepada anak bukanlah tentang uang. Akan tetapi juga soal bagaimana anak mengambil keputusan keuangan. Ligwina mengungkapkan, yang jauh lebih penting adalah sejak dini anak harus mengenal konsep-konsep nilai. Dengan begitu, maka anak akan memiliki persepsi yang positif ketika mengelola keuangan.

Menurutnya, seorang anak harus memiliki pengalaman dalam hal berbelanja, menabung, dan berbagi. Makanya penting untuk mengajak anak berbelanja. Mereka dapat melihat berbagai macam pilihan barang. Mereka dapat memikirkan dan menentukan pilihan yang diinginkan. Mahal murah bisa dipertimbangkan. Bukan beli yang termurah, melainkan yang bernilai paling baik.

Orangtua jangan sampai keliru. Bagi Ligwina, uang diperlakukan hanya sebagai alat. Bukan tujuan utama. Kesalahan yang biasanya terjadi adalah orangtua mengajarkan menabung tanpa belanja dan berbagi. Padahal, anak tidak boleh dipaksa untuk menabung dan tidak memiliki kebebasan untuk menggunakan uang yang dimilikinya. Orangtua dapat mengamati bagaimana anaknya belajar ketika berbelanja. “Semua pemboros yang sudah dewasa, waktu kecil diajari menabung. Tapi, karena tidak diajari belanja, dia tidak tahu cara belanja sehingga uangnya habis,” papar Ligwina.

Terkait dengan pengenalan konsep nilai mengenai uang, Ligwina mengungkapkan orangtua dapat menyesuaikannya dengan usia anak. Nah, jika dijabarkan maka akan seperti berikut.

Pra-sekolah.

Kenalkan nilai “cukup”, artinya anak diberitahu untuk tidak makan sebanyak-banyaknya. Ketika bermain pun, mainan bisa bergantian dengan teman.

TK 3-5 tahun.

Konsep uang dan hitungan sederhana. Misalnya, anak diberitahu bahwa ayah dan ibu bekerja agar bisa mendapatkan uang. Uangnya dipakai untuk berbelanja.

SD 5-12 tahun.

Anak mulai kenal penggunaan uang. Biasanya belajar dari manajemen uang saku. Bisa seminggu sekali saja. Atau belajar dengan cara ikut berpikir saat ke supermarket.

SMP 12-15 tahun

Anak telah memiliki lifestyle sendiri. Ketika bepergian bersama teman atau tanpa orangtua, anak remaja ini sudah bisa belajar membuat budget sederhana.

SMA 15-18 tahun

Beri otoritas dan kemampuan bertanggung jawab lebih. Selain serah terima uang saku bulanan, remaja ini bisa mulai dilibatkan dengan tanggung jawab di rumah. Seperti mengurus pulsa listrik.

18-25 tahun.

Belajar memiliki penghasilan sendiri dan membayarkan pengeluarannya sendiri.