"Satu tahun pelajaran bisa saya lewatkan selama 1,5 tahun. Pernah waktu pindah rumah, saya sebenarnya sudah kelas 2, tapi lalu turun lagi ke kelas 1," kata Kartika, yang apa boleh buat tidak lulus SD dan SMP pun tidak jelas.
"Usia 16 saya diajak Papie dan Mamie ke India,” katanya.
Ini memang episode kehidupan Affandi yang terkenal, ketika diundang ke Shantiniketan yang didirikan Rabindranath Tagore itu, dengan beasiswa Kedutaan Besar India.
Namun ketika tiba di sana, dalam sekali coret Affandi dinyatakan tidak perlu belajar lagi, karena sebagai pelukis dianggap sudah jadi.
Peluang ini dimanfaatkan Affandi untuk menjelajahi India, apalagi kalau bukan untuk melukis.
Justru giliran Kartika yang belajar melukis di Shantiniketan, lembaga pendidikan alternatif yang konon mengilhami berdirinya Taman Siswa, sebagai perlawanan terhadap sistem pendidikan kolonial.
Sebagai pelajar, sekolah Kartika mungkin berantakan, tetapi apa yang dipelajarinya sebagai anak seorang pelukis seperti Affandi, jelas melebihi apa pun yang bisa didapatkannya dari "sekolah umum”.
Seperti diketahui bersama kehidupan Aflandi yang seperti semua orang lain masa itu ikut naik turun gelombang revolusi kemerdekaan.
Kartika, yang lahir tahun 1934 di Jakarta, ikut mengalami pahit getirnya kehidupan seorang pelukis sebagai profesi tak dikenal, di sebuah negeri yang ternyata juga ingin merdeka.
Affandi yang pada awal kariernya dikenal dengan "taktik kehidupan" 20-10 (dua puluh hari mencari uang untuk keluarga, sepuluh hari hidup untuk melukis) antara tahun 1941 - 42 pernah menjadi portir atau tukang sobek karcis bioskop di Surabaya.
(Baca juga: Potong Rambut Memakai Kapak Dan Hasilnya Keren, Mau Coba?)
"Nah, kami tinggal di lorong sempit antara tembok bioskop dan pagar lapangan tenis, beratap seng, dinding mirip kurungan ayam dan beralas tikar, bantalnya hanya baju yang diberi sarung bantal. Kalau hujan tikar kami gulung sampai hujan reda dan tanah kering," kenang Kartika.
Penulis | : | Moh Habib Asyhad |
Editor | : | Moh Habib Asyhad |
KOMENTAR