Dalam kata 'keterbukaan', tentu terdapat arti 'kejujuran’, dan untuk ini Affandi terkadang bisa kena batunya, seperti ketika harus mengalami kejujuran Kartika kecil.
“Suatu hari saya lihat Papie menowel pantat seorang modelnya, dengan lugu saya cerita begitu saja kepada Mamie."
(Baca juga: Petani dan Tiga Anaknya yang Pemalas)
Kisah selanjutnya, seperti Maryati melabrak dengan terbuka dan seterusnya, ternyata justru mengukuhkan tradisi keterbukaan keluarga ini.
Keterbukaan Affandi terhadap Kartika, bagi pemegang nilai konservatif, tentu bisa mengejutkan. Seperti saat mereka pergi bersama untuk melukis di Paris.
Ketika Affandi berangkat keluar dari hotel, tidak mengajak Kartika, dan Kartika bertanya, "Mau ke mana Papie?" Jawaban Affandi menegaskan bagi Kartika bahwa ia pergi untuk sesuatu yang disebut Kartika sebagai, "Kebutuhan lelaki."
Namun ternyata Affandi segera kembali. "Lo, kok cepet Pap?" tanya Kartika pula dengan lugunya.
Ternyata Affandi menyaksikan suatu kecelakaan lalu lintas di jalan, yang berdarah-darah, sehingga melunturkan 'kebutuhan lelaki'-nya tersebut.
Dalam 'pendidikan' seperti itu, Kartika meneladani perilaku Affandi dengan caranya sendiri. Seperti ternyatakan kelak ketika menghadapi krisis perkawinannya dengan pelukis Saptohoedojo.
"Dalam sepuluh tahun saya melahirkan delapan anak. Objek lukisan saya jadinya hanya sebatas rumah: anjing, kucing, anak-anak. Saya bahkan tidak menyebut diri sebagai pelukis waktu itu.
Tetapi saya ingat kata Papie:
"Dalam berkesenian kamu harus jujur, karya itu refleksi dari apa yang kau lakukan dalam kehidupan.' Setelah anak saya yang kedelapan bisa merangkak, saya mulai serius melukis. tapi akibatnya suami saya merasa tersaingi. la berpaling ke perempuan lain," kisahnya, sembari mengutip komentar Atfandi: "Aku menyesal Kartika jadi pelukis. Rumah tangganya jadi berantakan."
Bukan hanya Affandi yang selalu mengharapkannya untuk tidak bercerai, karena bahkan pengadilan agama pun seolah-olah mengalangi jalan yang betapapun dihalalkan itu, dengan alasan lebih baik dipikir dulu.
Penulis | : | Moh Habib Asyhad |
Editor | : | Moh Habib Asyhad |
KOMENTAR