"Itulah cara Papie melatih saya untuk mandiri."
Pada dasarnya Affandi melibatkan Kartika ke dalam semua pekerjaan lelaki.
"Oleh Papie saya dididik tidak sebagai anak perempuan. Mulai dari memasang spanraam (bingkai tempat memasang kanvas untuk melukis) sampai membuat layangan, semuanya bikin sendiri, mulai dari menyerut bambu sampai menerbangkannya."
Namun dengan istilah pekerjaan lelaki, tidak berarti Kartika sering dihukum dengan kekerasan oleh Affandi, yang sangat menyayangi Kartika, karena Affandi sendiri juga sangat disayangi orangtuanya, dengan alasan yang sangat khusus.
(Baca juga: Jenis Kelamin Anak Dalam Pembuahan Lebih Ditentukan Faktor Ayah )
Ketika wabah cacar membunuh dua kakak dan dua adik perempuannya, di antara dua jenazah yang sudah ditutupi daun pisang, Affandi yang tampaknya akan menyusul keempat saudaranya itu ternyata bertahan hidup.
Rasa syukur orangtua dan saudara-saudaranya yang lain terwujudkan dengan tiada pernah menyakiti Affandi. Jadi, terhadap Kartika, Affandi pun tidak mengenal bahasa hukuman maupun kemarahan sama sekali.
"Hukuman hanya saya dapat dari Mamie, bukan dari Papie," ujar Kartika, "Sampai saya juga jadi jengkel."
Tentang daun pisang itu sendiri, Affandi mengabadikannya dalam bentuk atap bangunan rumahnya yang luar biasa unik.
Ketelanjangan dan Ukuran Kebebasan
Selain kemandiriaan, kata kunci lain dalam pandangan Kartika terhadap Affandi adalah keterbukaan, dalam bentuk yang nyaris harafiah.
"Asal tidak ada tamu, Papie suka keluar begitu saja dari kamar mandi sambil menanyakan handuk. Jadi yang namanya ketelanjangan bagi kami bukan tabu," kisah Kartika, lagi.
Penulis | : | Moh Habib Asyhad |
Editor | : | Moh Habib Asyhad |
KOMENTAR