"Pernah tiga bulan kami hidup seperti itu. Makan seadanya di pinggir jalan. Cuma kami tidak sampai mengemis."
Pendidikan formal Affandi terakhir adalah Algemene Middelbare School (AMS) bagian B (ilmu pasti dan ilmu alam) di Jakarta, setingkat SMU, tetapi yang standar lulusannya minimal menguasai bahasa Belanda, Inggris, dan Prancis.
Dengan modal intelektualitas seperti itu, tidak aneh jika pilihan hidup Affandi untuk jadi "tukang gambar" (istilah 'pelukis" yang agak keren sedikit, belum dikenal tahun '30-an) tidak dipahami orangtuanya, karena masyarakatnya memang belum terbuka untuk profesi tersebut.
Risiko pilihan ini, seperti disampaikan Kartika, "Papie pernah menawarkan jasa door to door untuk memperbaiki papan nama toko yang rusak."
Bagi ayah Affandi, yakni R. Koesoema, mantri ukur pabrik gula di Ciledug, tentu tak terbayang bahvva pilihan sebagai "tukang gambar” ini kelak dihormati bangsa dan negara dengan Bintang Jasa Utama pada 1978, menambah berbagai penghargaan internasional yang telah diterima Affandi sebelumnya.
Pelukis Melahirkan Pelukis
Kehidupan yang tidak menentu ini kelak membuat Affandi menjadi seniman yang realistis, yakni tidak asing dengan "strategi bisnis".
Caranya?
"Dari kolektornya, Papie hanya menerima bayaran dengan cara mencicil, nanti kalau cicilan hampir habis, Papie menawarkan lukisan baru," ujar Kartika, yang sebagai pelukis tidak melakukan hal yang sama, karena, "Kok saya enggak bisa begitu ya?"
(Baca juga: Tahi Lalat Pembawa Berkat)
Tentu karena ketika Kartika mulai serius melukis, tidaklah begitu kepepet kondisi ekonominya seperti Affandi dahulu.
Memang, sebagai pelukis pun, meski dalam hal gaya jejak Affandi tertancap dengan jelas, tidak bisa dikatakan bahwa ia telah meniru bapaknya.
Kartika berkisah:
"Suatu kali Papie mengajak saya ke pasar dan kami memilih objek seekor sapi jantan untuk digambar. Kami masing-masing mulai menggambar. Setelah jadi, sapi hasil goresan Papie tampil memberontak walaupun sapinya diam saja, sedangkan sapi gambaran saya tampak memelas dan ngeces (meneteskan liur) seperti minta kasih sayang. Kata Papie, 'Ini kamu pertahankan.'"
Artinya Affandi melihat bahwa Kartika mampu melepaskan diri dari bayang-bayangnya.
"Kamu bisa melihat apa yang Papie tidak lihat," ujar Affandi tentang lukisan-lukisan anaknya.
Itulah juga yang telah dikatakan para kritisi seni rupa tentang Kartika, suatu pencapaian yang rupanya harus dibayar dengan asam garam dan cabe kehidupan yang telah membuat Kartika mengasingkan diri—dan menemukan kembali kehidupannya—selama lima tahun di Eropa.
Kepada teman-teman senimannya, Affandi pernah berkata, "Sayangnya Kartika itu anak saya."
Lo, kenapa? "Sebenarnya dia sudah dapat mandiri, tapi berhubung ia anak saya, orang akan selalu membandingkan dia dengan saya."
Bulan Juni lain, dalam pameran peringatan “Imagined Affandi” oleh Galeri Semarang, di Jakarta, ketika diminta berbicara tentang Affandi, belum selesai bicara Kartika tercekat dan menangis, tidak bisa melanjutkan karena keharuannya yang sangat menggumpal.
(Baca juga: Cara Membaca Pesan di WhatsApp Tanpa Ketahuan Pengirimnya)
Betapapun, jalan menjadi pelukis yang ditempuh Kartika adalah jalan yang pernah dikenalnya sebagai puteri seorang Affandi, seorang pelukis yang membongkar konstruksi realisme dengan suatu teknik baru.
Ia menumpahkan ekspresi langsung dari tube, yang disebut teknik "plototan", yang diramu teknik sapuan tangan langsung—berbagai teknik yang jelas tidak dianjurkan dalam pelajaran melukis di sekolah seni.
Bahwa dengan teknik melukis yang sama Kartika memandang dunia secara berbeda, menunjukkan bahwa cara belajar seorang anak kepada ayahnya.
Betapapun dahsyatnya sang ayah tersebut, bukanlah sekadar meneladani karyanya secara harfiah, melainkan justru menafsirkan kembali secara kreatif prinsip-prinsipnya, dalam menjalani kehidupan maupun dalam berkarya. (Seno Gumira Ajidarma/Lily Wibisono)
Penulis | : | Moh Habib Asyhad |
Editor | : | Moh Habib Asyhad |
KOMENTAR