Selain dari sisi pembuat filmnya, Yosep yang pernah belajar membuat film pendek di Korea Selatan ini menduga, kurang beragamnya film Indonesia juga berasal dari penikmati filmnya. Kadang ada orang yang mencoba menawarkan gagasan baru, tapi ternyata tidak mendapat respon yang bagus dari penonton sehingga apa yang mereka buat seolah sia-sia.
“Penonton kadang juga belum siap dengan sesuatu yang baru,” ujar dosen di Universitas Multimedia Nusantara, Tangerang, ini.
Meski demikian, Yosep tidak pernah menyalahkan pilihan penonton. Dia hanya berharap kepada pemerintah agar bisa menyediakan banyak literasi kepada para calon penikmat film itu—melalui pendidikan formal, tentu saja.
Pro dan kotran itu wajib hukumnya
Terkadang seorang pembuat film gemar mengumbar jargon-jargon karya yang merdeka; kreativitas tanpa batas. Tapi bagi Yosep, karya yang merdeka bukan soal itu. Berbicara karya yang merdeka adalah berbicara tentang tantangan para pembuat film untuk bertanggung jawab atas karya yang dibuatnya, atas gagasan yang dicetuskannya.
Dalam film, pertemuan dengan penonton adalah keniscayaan. Sebuah film yang merdeka, menurut pria kelahiran 1983 ini, adalah film yang mampu memberi wacana baru kepada para penikmatnya. Mengaku sebagai karya yang merdeka tapi tidak bisa memberi apa-apa kepada para penontonnya, menurutnya, itu bukan karya yang merdeka.
“Karya yang merdeka dimulai dari saat menginisiasi film, lalu meresapi persoalan-persoalan kontekstual di masyarakat, lalu menjadikannya karya yang kaya estetika, lalu mempertemukannya dengan penonton. Lalu muncul pertanyaan, apa yang didapat oleh penonton-penonton itu? Itulah karya yang merdeka,” tegas pria yang masih betah melajang ini.
Tak hanya itu, sebuah karya yang merdeka juga harus bisa mengapresiasi pro dan kontra dari penontonnya. Yosep melihat, semakin ke sini, para penikmat film sudah mulai mempunyai pilihannya sendiri-sendiri—secara sadar. Ada orang-orang yang nyaman dengan film-film arus utama, sebagian lagi tengah giat-giatnya mengoleksi film-film idealis nan independen, dan sebagian lagi lebih bisa menerima film-film kelas dua yang dibuat semata-mata untuk mengeruk keuntungan finansial belaka.
Film yang berhasil, menurut hemat Yosep, adalah film yang bisa menarik banyak penonton. Tidak masalah jika separuh dari penonton yang datang menghujaninya dengan kritik-kritik yang pedas. Saat kritik pedas itu muncul, Yosep justru senang dan bersemangat karena menurutnya karyanya telah berhasil menarik diskusi di tengah masyakarat. “Itu tandanya telah terjadi proses diskusi di situ. Misi saya berhasil.”
Sebagai kuil untuk merenung
Ibarat bayi, film Indonesia, baik film pendek maupunpun fi lm panjang, saat ini disebut Yosep tengah berada di fase “anget”. Pada fase ini, si bayi biasanya antara sedang terserang demam akut atau tengah membentuk antibodi. Harapannya, fase anget film Indonesia ini menandakan sedang membuat antibodi—dan ini artinya adalah sebuah berita baik.
Yosep sendiri melihat ada gelagat film Indonesia sedang menuju sehat. Ia melihat ada energi-energi bagus yang bergairah membuat film lebih bagus. Ada kelompok yang memang lebih banyak menyampaikan gagasan tentang kehidupan sehari-hari dengan cara tutur yang tidak umum, seperti dirinya. Di sisi lain, mulai ada kelompok-kelompok yang mengupayakan pembuatan film arus utama tapi dengan kualitas bagus.
Meskipun di sisi lain ada juga yang membuat fi lm tanpa memperhatikan kualitas. Menurut Yosep, itu wajar terlebih banyak yang “hidup” dari situ.
Yosep sendiri punya dua harapan kepada perfi lman Indonesia. Pertama, fi lm Indonesia benar-benar sebagai cipta, rasa, dan karya intelektual dan kebudayaan. Kedua, seperti disebut di atas, fi lm Indonesia bisa menjadi kuil untuk merenung. “Saya sedang berpikir untuk melihat kebaharuan-kebaharuan sinema Indonesia dan kemungkinan-kemungkinan lain dari sinema itu sendiri. Sinema itu bisa jadi apa sih? Apakah ia benar-benar bisa menawarkan gagasan tentang bangsa? Saya pinginnya sederhana, fi lm Indonesia bisa menjadi kuil untuk merenung. Kuil untuk bertukar gagasan.”
Penulis | : | Moh. Habib Asyhad |
Editor | : | Ade Sulaeman |
KOMENTAR