Intisari-Online.com -Istirahatlah Kata-Katasedang menjadi perbincangan di mana-mana. Di Facebook, Twitter, dan media sosial lainnya, orang-orang tampak antusias menyambut film yang akan tayang serentak di 12 kota di Indonesia pada Kamis (19/1) besok.
Membicarakan Istirahatlah Kata-Katatak lengkap rasanya jika tidak menyinggung aktor intelektualnya. Dialah Yosep Anggi Noen. Sutradara muda yang tengah menikmati popularitasnya dan telah menyabet banyak sekali penghargaan, baik nasional maupun internasional.
Intisari beruntung pernah berbincang panjang dengan laki-laki lulusan FISIP UGM itu. Dalam sebuah obrolan sore di pertengahan 2015 itu, Anggi—begitua ia akrab disapa—mencurahkan segala isi hatinya terkait film Indonesia. Tentang bagaimana mestinya film Indonesia dibuat, tentang bagaimana film Indonesia diposisikan.
Berikut hasil obrolan Intisari dengan Anggi.
---
Nama Yosep Anggi Noen melambung ketika filmnya yang berjudul A Lady Cady Who Never Saw a Hole One mendapatkan Sonje Award di Busan InternatioanlFilm Festival (BIFF) 2013. Namanya semakin moncer ketika karya miliknya itu dinobatkan kembali sebagai film pendek terbaik di ajang Short Shorts Film Festival and Asia 2014 di Tokyo, Jepang.
Dalam dunia film mainstream, nama Yosep Anggil Noen mungkin tidak setenar nama-nama lainnya. Tapi bagi mereka yang mengakrabi film-film pendek, terutama film-film pendek dalam negeri, Yosep Anggi Noen tentu saja bukan nama asing.
(Inilah 10 Film Terbaik Sepanjang 2016)
Selain Lady Cady, ada Hujan Tak Jadi Datang dan Rumah yang merupakan buah karyanya. Untuk Hujan Tak Jadi Datang, yang merupakan film ketiganya, terpilih untuk masuk progam Spectrum Short di Festival Film International Rotterdam.
Lewat film panjangnya yang pertama Vakansi yang Janggal dan Penyakit Lainnya (Peculiar Vacation and Other Illnesses), ia juga berhasil masuk dalam Filmmakers of the Present dalam ajang kompetisi Festival Film International Locarno ke-65 di Swiss pada Agustus 2012. Itu belum cukup, pada Maret 2015, naskahnya yang berjudul Rumah terpilih menjadi satu-satunya film internasional yang diputar di ajang The Local Origination Project di Okinawa, Jepang—ini kita belum berbicara soal Istirahatlah Kata-Kata yang mendapat apresiasi di mana-mana, baik Nasional maupun Internasional.
Besar lewat komunitas film
Yosep sudah menyukai dunia sinematografi sejak kelas 2 SMA. Bersama rekan-rekannya satu sekolah di SMA 3 Yogyakarta, Yosep membuat film pertamanya yang berjudul Tapi Maaf. “Rumah saya ‘kan dari Jogja lumayan jauh, kirakira 27 km ke sebelah barat. Dalam perjalanan sehari-hari yang lumayan panjang itu, saya menemukan ide. Ya, hal-hal ringan yang saya temui di jalan,” ujar pria yang lahir dan besar di wilayah Moyudan, Sleman, ini.
Selain melalui pengalamannya sehari-hari, dalam berproses, dia merasa sangat terbantu dengan komunitas-komunitas film yang pernah ia ikuti. Oleh sebab itu, saat ini, selain terus bertungkus lumus dengan proses kreatif pembuatan film, Josep juga masih rutin menggelar diskusi-diskusi film yang ia beri nama “SI MAMAT” alias Diskusi Sinema Jumat.
“Generasi saya adalah generasi yang dibesarkan oleh komunitas. Saya kira, komunitas film menjadi salah satu alternatif bagi saya, mungkin juga bagi kita semua, untuk belajar dan bertukar pikiran tentang bagaimana membuat film yang baik dan benar,” ujar Yosep.
Meski demikian, pria dengan senyum manis itu tetap merasakan dilema dengan komunitas-komunitas film yang saat ini ada—termasuk juga komunitasnya. Pertanyaan besar yang belum bisa ia jawab adalah, apakah komunitas film saat ini, saat egosentrisme semakin besar, saat kemungkinan-kemungkinan untuk membuat film sendirian dan murah semakin mudah, masih relevan untuk dihidupkan?
Film Indonesia harus lebih kaya literasi
Yosep mengaku belum menemukan jawaban yang tepat. Meskipun begitu, ia tetap yakin bahwa komunitas film harus tetap ada. Terutama bagi orang-orang seperti dirinya, yang dalam membuat film, tidak hanya berkutat soal bagaimana cara membuat, tapi juga soal esensi film itu sendiri. “Ini soal gagasan apa yang hendak saya sampaikan lewat film. Dan komunitas sangat membantu soal itu.”
Lebih dari itu, pria yang menyukai film-film Iran ini menganggap komunitas sebagai ruang belajar yang baik, ruang bertanya yang mumpuni, minim risiko, dan gratis. Dari komunitas, Yosep mendapatkan cara paling gampang untuk menghasilkan film yang tak hanya bagus dalam hal teknis, tapi berisi dari sisi esensi.
Sementara di tengah abad digital seperti saat ini, yang memungkinkan segalanya bisa dilakukan dengan cepat dan mandiri—termasuk membuat film—komunitas digunakan oleh Yosep untuk menunjukkan sikap terhadap teknologi itu. Jika teknologi berjalan di sisi teknis, maka komunitas akan duduk manis di sisi estetis.
Yosep selalu menganggap film-film yang ia garap sebagai kuil untuk merenung. Dengan film-film itu, ia ingin menyampaikan apa saja yang menjadi kegelisahannya. Dengan film, ia ingin mengajak penontonnya menambah gagasan baru tentang hidup.
Maka dari itu, Yosep menekankan, sudah seharusnya film Indonesia menambah lagi literasinya. Artinya, lebih banyak referensi yang digunakan. “Beberapa pembuat film sudah cukup puas dengan apa yang dibuatnya. Itulah yang membuat film Indonesia miskin gagasan dan terkesan itu-itu saja,” ujar lulusan Jurusan Komunikasi UGM ini.
Referensi tidak melulu soal berapa buku yang dibaca. Atau berapa judul film yang sudah disuntuki. Bagi Yosep, literasi juga meliputi eksplorasi-eksplorasi kemanusiaan yang mendasar dan sederhana. Misalnya tentang hubungan ayah-anak yang tidak melodramatik, atau si miskin yang tidak melulu memaparkan tentang kesedihan yang berlebihan. Literasi itu juga termasuk sejauh mana riset yang dilakukan sebelum seorang pembuat film membuat film.
Ia mencontohkan gairah perfilman di Korea Selatan. Di sana, film-film pendek yang dibuat ternyata lebih banyak didasari pada persoalan yang berkeliaran sehari-hari. “Kita bisa belajar dari kehidupan-kehidupan yang sederhana, tapi yang tetap mampu membeli refleksi untuk kehidupan.”
Dengan literasi yang minim, menurut Yosep, seorang pembuat film tidak akan mampu memaparkan dan menjelaskan apa itu keberagaman. Efek lebih besarnya adalah penikmat film akan kesulitan untuk mencari sesuatu yang baru. Padahal manusia adalah tempatnya bosan. Yosep mengira, penyebab seorang pembuat film tidak mencari literasi baru untuk film yang akan digarapnya adalah ketakutan mereka untuk membuat hal yang baru.
Selain dari sisi pembuat filmnya, Yosep yang pernah belajar membuat film pendek di Korea Selatan ini menduga, kurang beragamnya film Indonesia juga berasal dari penikmati filmnya. Kadang ada orang yang mencoba menawarkan gagasan baru, tapi ternyata tidak mendapat respon yang bagus dari penonton sehingga apa yang mereka buat seolah sia-sia.
“Penonton kadang juga belum siap dengan sesuatu yang baru,” ujar dosen di Universitas Multimedia Nusantara, Tangerang, ini.
Meski demikian, Yosep tidak pernah menyalahkan pilihan penonton. Dia hanya berharap kepada pemerintah agar bisa menyediakan banyak literasi kepada para calon penikmat film itu—melalui pendidikan formal, tentu saja.
Pro dan kotran itu wajib hukumnya
Terkadang seorang pembuat film gemar mengumbar jargon-jargon karya yang merdeka; kreativitas tanpa batas. Tapi bagi Yosep, karya yang merdeka bukan soal itu. Berbicara karya yang merdeka adalah berbicara tentang tantangan para pembuat film untuk bertanggung jawab atas karya yang dibuatnya, atas gagasan yang dicetuskannya.
Dalam film, pertemuan dengan penonton adalah keniscayaan. Sebuah film yang merdeka, menurut pria kelahiran 1983 ini, adalah film yang mampu memberi wacana baru kepada para penikmatnya. Mengaku sebagai karya yang merdeka tapi tidak bisa memberi apa-apa kepada para penontonnya, menurutnya, itu bukan karya yang merdeka.
“Karya yang merdeka dimulai dari saat menginisiasi film, lalu meresapi persoalan-persoalan kontekstual di masyarakat, lalu menjadikannya karya yang kaya estetika, lalu mempertemukannya dengan penonton. Lalu muncul pertanyaan, apa yang didapat oleh penonton-penonton itu? Itulah karya yang merdeka,” tegas pria yang masih betah melajang ini.
Tak hanya itu, sebuah karya yang merdeka juga harus bisa mengapresiasi pro dan kontra dari penontonnya. Yosep melihat, semakin ke sini, para penikmat film sudah mulai mempunyai pilihannya sendiri-sendiri—secara sadar. Ada orang-orang yang nyaman dengan film-film arus utama, sebagian lagi tengah giat-giatnya mengoleksi film-film idealis nan independen, dan sebagian lagi lebih bisa menerima film-film kelas dua yang dibuat semata-mata untuk mengeruk keuntungan finansial belaka.
Film yang berhasil, menurut hemat Yosep, adalah film yang bisa menarik banyak penonton. Tidak masalah jika separuh dari penonton yang datang menghujaninya dengan kritik-kritik yang pedas. Saat kritik pedas itu muncul, Yosep justru senang dan bersemangat karena menurutnya karyanya telah berhasil menarik diskusi di tengah masyakarat. “Itu tandanya telah terjadi proses diskusi di situ. Misi saya berhasil.”
Sebagai kuil untuk merenung
Ibarat bayi, film Indonesia, baik film pendek maupunpun fi lm panjang, saat ini disebut Yosep tengah berada di fase “anget”. Pada fase ini, si bayi biasanya antara sedang terserang demam akut atau tengah membentuk antibodi. Harapannya, fase anget film Indonesia ini menandakan sedang membuat antibodi—dan ini artinya adalah sebuah berita baik.
Yosep sendiri melihat ada gelagat film Indonesia sedang menuju sehat. Ia melihat ada energi-energi bagus yang bergairah membuat film lebih bagus. Ada kelompok yang memang lebih banyak menyampaikan gagasan tentang kehidupan sehari-hari dengan cara tutur yang tidak umum, seperti dirinya. Di sisi lain, mulai ada kelompok-kelompok yang mengupayakan pembuatan film arus utama tapi dengan kualitas bagus.
Meskipun di sisi lain ada juga yang membuat fi lm tanpa memperhatikan kualitas. Menurut Yosep, itu wajar terlebih banyak yang “hidup” dari situ.
Yosep sendiri punya dua harapan kepada perfi lman Indonesia. Pertama, fi lm Indonesia benar-benar sebagai cipta, rasa, dan karya intelektual dan kebudayaan. Kedua, seperti disebut di atas, fi lm Indonesia bisa menjadi kuil untuk merenung. “Saya sedang berpikir untuk melihat kebaharuan-kebaharuan sinema Indonesia dan kemungkinan-kemungkinan lain dari sinema itu sendiri. Sinema itu bisa jadi apa sih? Apakah ia benar-benar bisa menawarkan gagasan tentang bangsa? Saya pinginnya sederhana, fi lm Indonesia bisa menjadi kuil untuk merenung. Kuil untuk bertukar gagasan.”