Advertorial
Intisari-Online.com - Antara1980-1988, berkecamuk peperangan antara Irak dan Iran.
Ini adalah perang yang mengerikan yang melibatkan penggunaan senjata kimia dan korban yang jatuh, di satu pihak saja dalam sehari, bisa mencapai 10 ribu orang.
Pasukan Irak yang merasa lebih unggul awalnya sengaja mengadakan serangan dadakan ke Iran yang saat itu sedang mengobarkan semangat Revolusi Islam.
Revolusi Islam Iran yang mengguncang dunia antara lain ditandai dengan cara menumbangkan kekuasaan monarki Iran dan memutuskan hubungan diplomatik dengan AS.
Iran bahkan menyandera sejumlah warga AS di Kedutaan Besar Iran sehingga akibat kasus penyanderaan itu Iran dianggap telah menyatakan perang dengan AS.
Irak sendiri yang mendapat peluang untuk menyerang negara tetangganya itu, alasan utamanya sampai menggempura Iran sebenarnya beragam.
Baca juga:Bukan Curi Senjata, Tapi Iran Tuduh Israel Curi Awan dan Salju Mereka
Tapi yang paling dikhawatirkan Irak adalah karena revolusi Islam Iran dimotori oleh pemeluk Islam Syiah dan diprediksi bisa berpengaruh ke Irak, mengingat warga Irak mayoritas merupakan penganut Islam Sunni.
Selain itu Irak juga sudah lama merasa dirugikan oleh Iran karena Selat Hormuz yang merupakan jalur lintasan ekspor menyak dari Timur Tengah cenderung didominasi Iran.
Dengan demikian serangan militer Irak ke Iran sebenarnya selain masalah perbedaan pandangan dalam berislam sekaligus dimaksudkan untuk mencegah dominasi Iran di kawasan Selat Hormuz.
Perairan Selat Hormuz hingga kini masih merupakan jalur strategis yang dilewati kapal–kapal tanker dari Timur Tengah menuju negara lain dan sebaliknya.
Oleh karena itu serangan Irak ke Iran cenderung mendapat dukungan dari negara-negara Barat dan Arab.
Dalam situasi peperangan yang semakin meningkat maka kawasan perairan Selat Hormuz dan ruang udaranya menjadi makin berbahaya karena berada di kawasan zona perang.
Demi menjaga keamanan Selat Hormuz, kapal–kapal perang Amerika melakukan patroli secara rutin.
Tetapi secara strategi militer karena hubungan AS-Iran saat itu sedang tegang terkait Revolusi Islam Iran dan perang Irak-Iran, maka Iran secara politik dan militer dianggap musuh utama oleh AS, bahkan hingga saat ini.
Kapal–kapal perang AS yang berpatroli di Selat Hormuz selalu mengidentifikasi melalui radar bahwa setiap pesawat terbang yang sedang melintas di atas Selat Hormuz, meski merupakan ruang udara internasional sebagai ancaman.
Pada 3 Juli 1988, sebuah pesawat komersil Iran jenis Airbus -300 (Iran Flight 655) yang sedang terbang dari Dubai menuju Iran dan sedang melintas di atas Selat Hormuz, terdeteksi oleh radar kapal perang AS USS Vincennes.
Pesawat komersil Iran yang sebenarnya sedang terbang di jalur komersil itu langsung diidentifikasi oleh kapall perang AS sebagai pesawat yang berpotensi mengancam keamanan.
Apalagi radar kapal perang ternyata mengidentifikasi pesawat komersil Iran itu sebagai pesawat tempur F-14 Tomcat milik Iran yang sedang menuju ke arah kapal perang.
Iran memang memiliki puluhan jet tempur F-14 karena ketika AS dan Iran masih memiliki hubungan baik di era monarki Iran, AS pernah memberikan sdejumlah jet tempur F-14.
Akibat pecah revolusi, F-14 yang merupakan jet tempur paling canggih di tahun itu kemudian diambil alih oleh pemerintahan Revolusi Islam Iran.
Karena pesawat komersil Iran diidentifikasi sebagai Jet tempur F-14 yang akan menyerang kapal perang AS, maka sebagai pencegahan USS Vincennes telah memberikan peringatan melalui komunikasi radio hingga berkali-kali tetapi tidak ada tanggapan sama sekali.
Akhirnya demi menghindari serangan udara dua rudal segera dilepaskan untuk menghantam pesawat komersil Iran yang dikira jet temput itu.
Baca juga:Kisah Para Tentara Bayaran di Irak: Gajinya Gede Tapi Jadi Sasaran Favorit Pembom Bunuh Diri
Dalam hitungan detik, pesawat komersil Iran pun meledak dan menewaskan seluruh penumpangnya yang berjumlah sebanyak 290 orang.
Dunia pun gempar akibat tragedi yang mengerikan itu dan mengecam AS sebagai negara brutal sekaligus menyalahkan awak kapal USS Vincennes telah melakukan tindakan bodoh dan ceroboh.
Setahun kemudian (1989) Iran melakukan penuntutan dan pemerintah AS sendiri mengakui kesalahannya.
Pemerintah AS kemudianmemberikan kompensasi ke seluruh keluarga korban senilai lebih dari 61 juta dolar AS.
Tragedi tertembak jatuhnya pesawat komersil Iran yang disimpulkan karena kemampuan radar kapal perang AS yang telah berfungsi salah dan kecerobohan komandan kapal perang USS Vincennes menjadi pelajaran berharga dan digarapkan jangan sempai terulang lagi.
Namun tragedi serupa ternyata terulang lagi ketika pesawat komersil sedang melintas di kawasan udara suatu negara yang sedang dilanda konflik peperangan.
Kasus tertembaknya pesawat komersil oleh serangan rudal dalam situasi sedang terjadi peperangan bahkan beberapa kali terjadi.
Salah satunya adalah ketika pesawat komersil Malaysia MH-17 yang sedang terbang dari Belanda lalu ditembak jatuh oleh pasukan Ukraina (2014) menggunakan rudal buatan Rusia.
Pesawat Malaysia itu sengaja ditembak jatuh karena dikira pesawat Rusia yang digunakan untuk kepentingan militer.
Baik tragedi rontoknya pesawat komersil Iran maupun Malaysia sebenarnya merupakan tindakan militer yang disengaja karena terdorong oleh situasi suatu negara yang sedang perang.
Ironisnya tertembak jatuhnya pesawat komersil akibat peluncuran rudal di saat perang cenderung 'dibenarkan' sehingga menjadi tragedi yang juga cepat dilupakan oleh masysrakat dunia internasional.
Yang jelas, ketika suatu negara sedang berkecamuk peperangan, penerbangan komersil yang sedang melintas di jalur rawan itu akan memiliki resiko sangat tinggi.
Contohnya, ketika Korut sedang giat meluncurkan rudal balistik ke laut Jepang (2017) , pesawat-pesawat komersil yang sedang melintas di jalur itu sejumlah di antaranya ternyata nyaris ‘menabrak rudal’.
Tapi dunia internasional masih diam karena tidak ada satu pun pesawat komersil yang jatuh akibat menabrak rudal Korut.
Oleh karena itu untuk menghindari sergapan rudal yang umumnya merupakan jenis rudal pencari panas (warming seeker), dalam artian rudal akan mengejar gas buang (after burner) pesawat.
Sebaiknya para pilot penerbangan komersil menghindari jalur penerbangan rawan konflik sehingga terhindar dari bencana.