Dalam kondisi seperti ini, kata Nukman, mesti ada sosok berpengaruh yang bersedia jadi "duta" literasi digital di media sosial. Sekarang, diperlukan banyak pihak yang bersedia menjernihkan situasi di tengah publik yang banyak terpapar informasi palsu.
Selain itu, perlu dibuat pula pusat-pusat informasi yang bisa mengklarifikasi berita-berita palsu di media sosial. Tempat rujukan informasi ini sangat bermanfaat bagi masyarakat dalam memilih berita-berita yang tepat dan benar.
Kepala Pusat Penilaian Pendidikan Badan Penelitian dan Pengembangan Kemdikbud Nizam mengatakan, di abad ke-21 ini, literasi digital menjadi salah satu kompetensi yang mesti dikuasai masyarakat, selain keterampilan belajar dan inovasi, serta keterampilan hidup dan kerja.
(Baca juga: Facegloria, Media Sosialnya Orang Religius)
Persoalan yang tak kalah serius adalah masih lemahnya minat baca masyarakat di Indonesia. Hasil survei Badan Pusat Statistik menunjukkan, sebanyak 90,27 persen masyarakat Indonesia lebih suka menonton televisi, sedangkan hanya 18,94 persen lainnya yang suka membaca.
Adapun Direktur Pembinaan Pendidikan Anak Usia Dini Kemdikbud Ella Yulaelawati menyebutkan, indeks membaca bangsa Indonesia 0,001. Artinya, dari 1.000 orang, hanya 1 yang membaca serius (UNESCO 2012). Survei tentang Most Literate Nation in the World 2015 juga menempatkan Indonesia pada peringkat ke-60 dari 61 negara.
Pendiri Qureta Initiative, Luthfi Assyaukanie, menegaskan perlunya penyusunan indeks literasi di Indonesia. Selama ini, karena belum ada indeks literasi, tak ada alat ukur yang pasti untuk mengukur seberapa efektif upaya-upaya peningkatan literasi. "Belum ada data pasti tentang tingkat literasi masyarakat Indonesia. Yang ada hanya klaim-klaim," katanya.
Source | : | kompas |
Penulis | : | Agus Surono |
Editor | : | Ade Sulaeman |
KOMENTAR