Intisari-Online.com - Media sosial menjadi "mal informasi" superbesar. Segala barang ada. Mau yang "ori" maupun "kw" ada.
Masalahnya, banyak masyarakat kita tidak "mengunyah"nya dengan teliti. Ada yang bilang, kecepatan jari untuk menekan lebih cepat dari otak untuk memroses kebenaran berita itu.
Pakar media sosial Nukman Luthfie dalam diskusi kelompok terpimpin "Sinergisitas dalam Mendorong Gerakan Literasi" yang digelar Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Kamis (24/11), di Jakarta mengatakan, sekitar 59 persen konten yang dibagikan di media sosial tidak pernah di-klik atau dibuka, tetapi hanya dibaca sepintas lalu.
"Sebagian besar bacaanonlineadalahskimming danscanning(pembacaan sepintas lalu)," katanya.
Menurut Nukman, fenomena seperti ini tidak hanya terjadi di Indonesia, tetapi juga di beberapa negara lainnya.
Menjelang pemilihan presiden Amerika Serikat tempo hari, berita-berita yang paling banyak beredar di media sosial Amerika Serikat adalah berita-berita abal-abal. Rupanya minimnya literasi digital juga dialami negara-negara maju yang masyarakatnya berpendidikan tinggi.
Sebagian besar artikel berita yang beredar di jejaring media sosial adalah artikel dengan judul yang tidak jelas, bombastis, dan "murahan". Parahnya, sebagian besar artikel tersebut berisi informasi-informasi palsu yang asal dibagikan tanpa konfirmasi dan verifikasi.
"Ini fakta. Karakter masyarakat digital kita memang seperti itu," kata Nukman.
(Baca juga: Facebook Akan Basmi Laman yang Meminta Share dan Like)
Melalui situs BuzzSumo, misalnya, bisa terpantau bagaimana peredaran berita- berita berjudul bombastis di media sosial. "Dengan kata kunci tiga nama calon gubernur DKI Jakarta, misalnya, akan terpantau berapa jumlah totalshareberita-berita itu. Sebagian besar berita dengan judul tak jelas itu ternyata banyak di-share(dibagi) oleh portal-portal yang tidak jelas atau media abal-abal," katanya.
Bahkan, dengan kecenderungan ini, karena tuntutan bisnis media-mediaonline mainstream
Lebih suka menonton teve
Dalam kondisi seperti ini, kata Nukman, mesti ada sosok berpengaruh yang bersedia jadi "duta" literasi digital di media sosial. Sekarang, diperlukan banyak pihak yang bersedia menjernihkan situasi di tengah publik yang banyak terpapar informasi palsu.
Selain itu, perlu dibuat pula pusat-pusat informasi yang bisa mengklarifikasi berita-berita palsu di media sosial. Tempat rujukan informasi ini sangat bermanfaat bagi masyarakat dalam memilih berita-berita yang tepat dan benar.
Kepala Pusat Penilaian Pendidikan Badan Penelitian dan Pengembangan Kemdikbud Nizam mengatakan, di abad ke-21 ini, literasi digital menjadi salah satu kompetensi yang mesti dikuasai masyarakat, selain keterampilan belajar dan inovasi, serta keterampilan hidup dan kerja.
(Baca juga: Facegloria, Media Sosialnya Orang Religius)
Persoalan yang tak kalah serius adalah masih lemahnya minat baca masyarakat di Indonesia. Hasil survei Badan Pusat Statistik menunjukkan, sebanyak 90,27 persen masyarakat Indonesia lebih suka menonton televisi, sedangkan hanya 18,94 persen lainnya yang suka membaca.
Adapun Direktur Pembinaan Pendidikan Anak Usia Dini Kemdikbud Ella Yulaelawati menyebutkan, indeks membaca bangsa Indonesia 0,001. Artinya, dari 1.000 orang, hanya 1 yang membaca serius (UNESCO 2012). Survei tentang Most Literate Nation in the World 2015 juga menempatkan Indonesia pada peringkat ke-60 dari 61 negara.
Pendiri Qureta Initiative, Luthfi Assyaukanie, menegaskan perlunya penyusunan indeks literasi di Indonesia. Selama ini, karena belum ada indeks literasi, tak ada alat ukur yang pasti untuk mengukur seberapa efektif upaya-upaya peningkatan literasi. "Belum ada data pasti tentang tingkat literasi masyarakat Indonesia. Yang ada hanya klaim-klaim," katanya.