Kesempatan melepaskan amarah dan frustrasi itu tiba sekitar awal Maret 1946. Bob Straud, rekan di blok D, mengeluh sakit. Penjaga menelepon rumah sakit penjara. Ternyata dokter sedang keluar, yang ada hanya asisten. Ketika asisten itu datang, ia mengatakan Stroud tidak apa-apa. Satu jam kemudian, Stroud mengeluh lagi sakit dada. Dokter yang kini sudah pulang, menolak datang. Yang datang asisten lagi, tapi dengan marah. Lagi-lagi ia mengatakan, Stroud tidak sakit. Sudah tentu keributan ini membuat kami semua jengkel. Kami bertekad memaksa dokter datang dan memeriksa Stroud.
Mula-mula kami hanya memukul-mukulkan gelas kaleng kami pada terali sambil berteriak-teriak. Setelah dua jam ribut, datang wakil kepala penjara dan pasukannya. Kami diancam, kalau tidak berhenti masing-masing akan mendapat kunjungan pasukannya. Tapi kami meneriakkan tuntutan kami agar dokter datang atau kami akan merusak sel kami sendiri. Mungkin mereka kira kami hanya menggertak. Satu jam kemudian, ketika dokter tak datang juga, seseorang di lantai atas memecahkan kloset dan wastafelnya. Maka mulailah yang lain menghancurkan selnya masing-masing.
Diperalat
Saya pun tak ketinggalan. Sepanjang malam gerakan penghancuran berlangsung, sampai dengan pembakaran kasur. Setelah pagi semua amarah berlalu, petugas kebersihan datang. Kami satu per satu dihadapkan pada kepala penjara Johnson. Hukumannya, setiap orang kehilangan separuh dari pengurangan waktunya, dihukum isolasi 19 hari, diperpanjang lamanya tinggal di blok D, tidak mungkin ditransfer sampai semua kerusakan bisa digantinya.
Yang membuat saya terkejut sekaligus seram, ternyata sel Bob Stroud tetap rapi. Begitu pula 12 orang lain yang pura-pura ikut ribut. Mereka hanya ingin membuat jengkel penguasa. Kamilah yang telah diperalat!
Saya dihukum isolasi di sel saya sendiri. Sudah tentu saya amat menderita. Perbaikan sengaja tidak cepat-cepat dilaksanakan. Kaca jendela yang pecah untuk sementara dibiarkan pecah, sehingga saya bisa menikmati dinginnya udara. Karena kloset pecah, saya dipersilakan menggunakan ember yang dikosongkan hanya satu kali sehari. Begitulah, kami dipersilakan menikmati situasi yang kami ciptakan sendiri.
Pada tanggal 2 Mei 1946, enam orang penghuni Alcatraz berusaha kabur. Penggeraknya tiga orang, Barnard P. Coy, Marvin Franklin Hubbart, dan Joseph Paul Cretzer. Mereka berhasil menguasai ruang senjata, melumpuhkan dan membunuh beberapa petugas, sampai pemerintah menurunkan pasukan lengkap, helikopter, dilengkapi bom. Blok kami dibombardir dengan tembakan, dengan hasil ketiga orang pelaku utama mati dan peserta lain yang tidak mati dihukum mati.
Peristiwa pelarian Coy dkk. itu sangat mengegerkan. Usaha penanganannya pun berlebihan, karena Coy yang cuma bersenjata pistol dikabarkan bersenjata yang lebih berat dari itu. Butuh waktu berbulan-bulan untuk mengembalikan situasi penjara ke keadaan normal. Napi dan penjaga saling curiga. Untung wakil kepala penjara Miller melakukan perbaikan di sana-sini, dari perlakukan penjaga, mutu makanan, dll., sehingga keadaan berangsur normal.
Beberapa bulan kemudian saya baru dibebaskan dari blok D. Saya dipersilakan memilih pekerjaan untuk membayar AS $ 150 ongkos perbaikan sel. Setelah 18 bulan bekerja di bagian penatu, saya berhasil melunasi utang.
Mulanya saya sangat tertekan. Hilang musnah semua harapan untuk kabur. Penjaga selalu memelototi saya, karena dianggap berbahaya. Sesama napi takut berdekatan, karena khawatir disangka bersekongkol. Ketika keadaan mulai normal, dan saya sudah boleh berjalan-jalan dengan Jack di akhir minggu (sebelumnya dilarang), saya berkenalan dengan "Life-time Murphy", orang tua yang sudah 26 tahun ngendon di Alcatraz.
Murphy sudah lama menjadi pelayan misa dari Pastor Clar, pembimbing rohani Katolik di Alcatraz. Pada hari Minggu, setelah misa, ia biasa berjalan-jalan di halaman penjara, tanpa pengawal, untuk berbicang-bincang dengan kami. Para napi percaya padanya dan mendengarkan nasihatnya. Mungkin Murphy yang menceritakan kepadanya tentang kondisi saya yang sedang tertekan, sehingga Pastor Clark mendekati saya. Hubungan kami makin dekat, sampai akhirnya saya bersedia menggantikan Murphy menjadi pelayan misa. Dari soal-soal umum kesukaan saya: bisbol atau tinju, lama-kelamaan kami berbicara soal keluarga.
Penulis | : | Agus Surono |
Editor | : | Agus Surono |
KOMENTAR