Tiga bulan sebelum acara, juri sudah mulai menyeleksi karya-karya ukiran langsung di kampung mereka untuk kemudian berlomba di pusat.
Ratusan karya dari tujuh distrik itu terbagi dalam kategori-kategori seperti Kategori Patung Kecil, Patung Sedang, Patung Besar, Kategori Cerita Rakyat, Kategori Tradisional, dan Kategori Panel.
Pemenang akan mendapat hadiah uang, selain ukirannya akan dilelang. Di sinilah para pengukir bisa banjir uang.
Selama pesta berlangsung, beberapa pengukir mengaku merasa senang karena dapat saling melihat karya sesama pengukir dan menjadi pelajaran bagi kemajuan diri sendiri.
"Kita bukan meniru. Ada aturannya tidak boleh meniru punya orang lain," kata Paskalis Osakat, pengukir dari Kampung Ats, menyinggung etika di kalangan pengukir tradisional Asmat.
Masalahnya, apakah etika itu ditaati semua orang, dia cuma angkat bahu.
Berbeda pada kenyataan sehari-hari, Paskalis mengakui memang ada ukiran-ukiran yang dibuatnya untuk "komersial". Ukiran dijual kepada pedagang yang langsung masuk ke kampung mereka. Soal harga memang sulit untuk diukur mahal-murahnya.
Misalnya ukiran panel ukuran 50 - 100 cm dengan lama pengerjaan dua bulan, dihargai sekitar Rp200 ribu saja. Di kota, harga itu bisa menjadi tiga sampai lima kali lipatnya.
Paskalis berkisah, banyak pengukir yang tidak punya pilihan karena didesak kebutuhan hidup. Terutama barang-barang yang tidak dihasilkan oleh alam, seperti pakaian, kebutuhan anak sekolah, dan kebutuhan rumah tangga lain.
Harga-harga di kampungnya yang harus ditempuh delapan jam dari Agats dengan kapal kayu bermesin 15 PK (setara 30 l bensin) sudah berlipat-lipat dibandingkan dengan di kota.
Sepotong baju kaus sederhana di Jakarta yang hanya Rp20 – 30 ribu bisa menjadi hampir Rp100 ribu. Bensin, jikalau ada, bisa Rp10 - 15 ribu per liter.
Maka jangan kaget, ketika menjelang ditutupnya pesta budaya, kemeriahan pun berpindah ke pasar Agats. Para pedagang barang-barang kelontong kebanjiran pembeli, tak lain para paitua wowipits yang sedang berkantung tebal.
Sejenak kemudian berkardus-kardus belanjaan berpindah tempat ke kapal-kapal kayu yang umumnya sudah sarat muatan.
Di antara barang kebutuhan pokok, terselip juga barang-barang modern seperti tape recorder, speaker aktif, televisi 29 inci, yang semuanya tentu lengkap dengan generator set-nya.
Ah, bukannya pesta budaya pestanya para pengukir 'kan?
(Baca juga: Bukan Daging, Inilah Menu Makan Siang Paling Enak dalam Pendidikan Komando Marinir yang Sangat Keras Itu)
(Ditulis oleh: T. Tjahjo Widyasmoro. Seperti pernah dimuat di Majalah Intisari edisi Desember 2008)
Penulis | : | Ade Sulaeman |
Editor | : | Ade Sulaeman |
KOMENTAR