(Baca juga: Dari dengan Uang hingga Perempuan, Begini Agen Rahasia Mossad Menghancurkan Nuklir Irak di Prancis)
Di dalam gubuk itu terdapat beberapa piring, panci tua, dan sejumlah botol plastik. Beberapa lembar pakaian Borahim tampak bergelantungan di dinting dan atap rumahnya.
Untuk bisa bertahan hidup, Borahima memungut buah kelapa yang jatuh di kebun warga atau di pantai.
Dalam sepekan, dia kerap mendapatkan 10 buah kelapa kering yang kemudian dijual seharga Rp5.000 atau Rp500/buah.
Hasil penjualan kelapa itulah yang kerap dikumpulkan Borahima untuk membeli sembako, termasuk beras atau makanan untuk menyambung hidup di gubuknya.
“Saya biasa cari kelapa yang jatuh di pinggir pantai atau di kebun warga. Seminggu biasa saya dapat Rp5.000,” ungkap Borahima
Jika kehabisan beras dan usahanya mencari buah kelapa yang jatuh di kebun warga tak membuahkan hasil, Borahima terpaksa kerap puasa panjang tanpa tahu pasti waktu berbuka.
Borahima bercerita, saat usianya masih produktif, dia pernah menjadi seorang nelayan.
(Baca juga: Rusia Siapkan Pesawat Pengebom Nuklir Blackjack Senilai Rp3,5 Triliun, NATO dan AS pun Langsung Ketar-ketir)
Namun karena seiring kekuatannya sudah pudar dan sering sakit-sakitan, dia hanya mengandalkan buah kelapa yang jatuh di kebun milik warga untuk ditukar dengan beras.
Lelah, letih dan juga kerap sakit-sakitan karena faktor usia lanjut sudah pasti.
Namun Borahima yang menyadari kondisi hidupnya yang jauh dari hidup layak dan tak punya banyak sanak famili tak ingin berkeluh kesah kepada siapa pun.
Penulis | : | Moh Habib Asyhad |
Editor | : | Moh Habib Asyhad |
KOMENTAR