Advertorial
Intisari-Online.com -Di tengah kondisi negara yang terus berjuang dengan infrastrukturnya, nyatanya masih banyak penduduk Indonesia yang hidup di bawah garis kemiskinan.
Selain tinggal di tempat yang tidak selayaknya, mereka rela melakukan apa pun untuk bertahan hidup.
Kakek Borahima ini salah satunya.
Laki-laki 68 tahun ini hidup sebatang kara di Dusun Garassi, Desa Nepo, Kecamatan Wonomulyo, Polewali Mandar, Sulawesi Barat.
Saban harinya, kakek yang tinggal di gubuk reyot yang hampir roboh ini mengumpulkan pelapak kelapa yang jatuh di kebun warga lainnya.
Pelepah-pelapah yang sudah ia kumpulkan kemudian ia gunakan untuk memperbaiki gubuknya yang luasnya hanya 4 meter persegi itu.
Untuk bisa masuk ke dalam gubuk setinggi tak sampai 2 meter ini, kita harus membungkukkan badan sambil menahan nafas sebelum sampai di dalam.
Di gubuk tua dari tumpukan pelepah kelapa beratapkan potongan seng bekas inilah Borahima menjalani hidup seorang diri.
Istrinya telah meninggal sejak belasan tahun lalu, sementara anak tunggalnya juga sudah menikah dan memilih hidup bersama keluarganya di tempat lain.
Agar gubuknya tak bocor dan kemasukan air saat hujan turun, hampir setiap hari Borahima meluangkan waktunya untuk menambal atap dan dinding rumahnya dengan plastik bekas atau potongan seng bekas yang tidak beraturan.
Maklum tumpukan pelepah kelapa kering dan bahan bangunan bekas lainnya yang dia mafaatkan bahkan sudah mulai lapuk dimakan usia.
Gubuk Borahima yang dibangun sejak belasan tahun lalu di atas lahan milik orang lain ini tampak sudah condong dan beberapa bagian atap dan dindingnya sudha mulai bocor.
(Baca juga:Dari dengan Uang hingga Perempuan, Begini Agen Rahasia Mossad Menghancurkan Nuklir Irak di Prancis)
Di dalam gubuk itu terdapat beberapa piring, panci tua, dan sejumlah botol plastik. Beberapa lembar pakaian Borahim tampak bergelantungan di dinting dan atap rumahnya.
Untuk bisa bertahan hidup, Borahima memungut buah kelapa yang jatuh di kebun warga atau di pantai.
Dalam sepekan, dia kerap mendapatkan 10 buah kelapa kering yang kemudian dijual seharga Rp5.000 atau Rp500/buah.
Hasil penjualan kelapa itulah yang kerap dikumpulkan Borahima untuk membeli sembako, termasuk beras atau makanan untuk menyambung hidup di gubuknya.
“Saya biasa cari kelapa yang jatuh di pinggir pantai atau di kebun warga. Seminggu biasa saya dapat Rp5.000,” ungkap Borahima
Jika kehabisan beras dan usahanya mencari buah kelapa yang jatuh di kebun warga tak membuahkan hasil, Borahima terpaksa kerap puasa panjang tanpa tahu pasti waktu berbuka.
Borahima bercerita, saat usianya masih produktif, dia pernah menjadi seorang nelayan.
(Baca juga:Rusia Siapkan Pesawat Pengebom Nuklir Blackjack Senilai Rp3,5 Triliun, NATO dan AS pun Langsung Ketar-ketir)
Namun karena seiring kekuatannya sudah pudar dan sering sakit-sakitan, dia hanya mengandalkan buah kelapa yang jatuh di kebun milik warga untuk ditukar dengan beras.
Lelah, letih dan juga kerap sakit-sakitan karena faktor usia lanjut sudah pasti.
Namun Borahima yang menyadari kondisi hidupnya yang jauh dari hidup layak dan tak punya banyak sanak famili tak ingin berkeluh kesah kepada siapa pun.
“Begini rumahnya. Kalau ada yang bocor saya tambal lagi agar tidak kehujanan,” ungkap Borahima sambil terus memperbaiki atap-atap rumahnya yang lapuk.
Meski mengantongi kartu Program Keluarga Harapan (PKH), Borahima mengaku belum pernah mendapatkan bantuan.
Borahima mengaku hanya menerima beras raskin dari pemerintah itu pun hanya dijatah lima liter per tiga bulan.
Selebihnya, Borahima hanya mengandalkan hasil usahanya mencari buah kelapa yang jatuh untuk dijual.
“Jalani hidup apa adanya saja,” ungkapnya pasrah.
(Baca juga:Nenek Hansamu Terpaksa Tinggal Sebatang Kara di Tengah Hutan Setelah Rumahnya Dijual Anaknya Secara Sepihak)
(Sumber asli: Kompas.com)