FAISAL: Ya, kalau nggak bisa bayar utang sudah default. Ini kan tingkat kesehatan. Misal, saya pendapatan saya Rp 1.000, cicilan saya Rp 700. Ya, saya masih sanggup tetapi nafas sudah megap-megap. Indikator kan bukan sekadar sanggup. Kapasitas sebetulnya itu yang dilihat.
KONTAN: Menurut Anda mengapa disiplin fiskal kita semakin longgar?
FAISAL: Di mata pemerintah saat ini hanya ada satu tahun saja. Yakni tahun 2019. Semua harus selesai tahun 2019. Makanya semua dilanggar. Aturan mengatakan setiap tiga bulan, harga BBM ditinjau.
Tetapi jauh hari Menteri Keuangan sudah menyampaikan, di tahun 2018 tidak ada kenaikan harga BBM, listrik dan elpiji. Tidak apa-apa nggak ada kenaikan, jika subsidi dinaikkan. Yang terjadi, subsidi dinaikkan, tetapi kenaikannya tidak sebesar risk. Pokoknya jika ada apa-apa, Pertamina yang menanggung.
Efek dari Pertamina menanggung ke fiskal adalah keuntungan Pertamina turun. Jika itu terjadi, dividen yang bisa diperoleh negara akan terpangkas. Akhirnya, APBN juga yang kena.
Jadi APBN itu semakin artifisial. subsidi BBM kecil karena di tanggung Pertamina. Soal satu harga, pemerintah boleh menentukan harga BBM gratis. Tetapi selisih antara gratis dan ongkos harus ada di APBN.
Itulah pertanggung jawaban pemerintah kepada rakyat karena ini keputusan politik. Ada akuntabilitasnya. Nah, gara-gara di tanggung Pertamina, tidak ada akuntabilitasnya, jadi makin tidak disiplin.
KONTAN: Seperti apa gejolak kecil yang Anda maksud?
FAISAL: Maksud saya, growth itu akan di bawah 5%, kurs rupiah bisa terpukul. Tetapi itu sebentar, karena Presiden Jokowi sudah kejedot dengan ketidak disiplinannya.
Berarti selama ini Jokowi di-entertain sama menteri-menteri yang tidak benar. Ada reshuffle nanti. Ini very quick. Maka saya bilang ada gejolak kecil. Saya bilang ini waspada fiskal. Apalagi kalau dilihat harga minyak naik terus.
Nah, subsidi tidak dinaikkan, dan harga jadi murah. Kalau harga murah kita tidak peduli, impornya naik. Sekarang defisit minyak Januari–Agustus sudah US$ 9,4 miliar.
Selama Januari-Agustus tahun lalu US$ 6,8 miliar. Defisit ini akan ikut merusak rupiah. Jadi meskipun semester I 2017 lalu surplus neraca perdagangan kita menjadi yang terbesar sejak tahun 2012, namun sebetulnya kita punya masalah di depan mata
Penulis | : | Ade Sulaeman |
Editor | : | Ade Sulaeman |
KOMENTAR