Tugasnya berakhir bila telah dilakukan upacara wihi lii unur, saat welut dikubur di ladang yang baru dibuka saat musim tanam.
Andai si pembawa keburu meninggal, tugas diturunkan pada paman atau anak kedua.
Joget diiringi lagu Minang
Biang luka, itu julukan perempuan yang dituakan dalam suku. Perannya amat dominan, karena di setiap bagian upacara ia yang mengawali. Misalnya soal konsumsi, biang luka akan melakukan upacara khusus, likon daha.
(Baca juga: Kejam! Demi Ritual Ilmu Hitam, Bocah 4 Tahun Ini Dibunuh Pamannya dengan Keji)
Upacara itu semacam permohonan pada arwah leluhur untuk memberkati bahan makanan agar semua tamu dapat dijamu dengan baik.
Tugas berikutnya, memberkati 42 welut arwah yang akan diantar besok pagi. Beberapa hari sebelum upacara welut yang disimpan oleh masing-masing keluarga, dikumpulkan dalam sobe, keranjang bertutup dari anyaman daun lontar, oleh moat, sesepuh dari Suku Goban.
Kedatangan sobe, yang dipercaya juga beserta arwah, ke rumah adat disambut dengan nyanyian puja-puji berisi kisah heroik leluhur.
Berbeda dengan penyambutan kopor, sambut arwah yang disebut blupur itu benuansa gembira.
Moke telah beredar menutup jamuan malam. Belum tuntas acara bersantap, ketika seorang bapak tua mulai berjoget. Dengan gerak dinamis dan lincah dia seakan menghipnotis semua orang untuk turut terjun ke arena.
Herannya, lagu yang mengiringi justru lagu Minang. Semalam suntuk mereka menyanyikan lagu itu.
Prosesi inti ritus diawali esok subuh. Mulai dengan menyuguhkan sarapan untuk babi dalam kopor. Menunya, bubur nasi dan telur rebus dihidangkan dalam pote, piring adat dari labu yang dikeringkan. Selanjutnya, semua hewan diarak menuju ladang tempat upacara.
Menurut Pak Joseph, baku hantam akan berlangsung lagi ketika penyembelihan hewan, jika algojo tak mampu memutus kepala hewan dalam sekali tebas.
Benar! Usai biang luka menanam welut dan tuntas membaca mantra dan doa, baku hantam siap dimulai.
Secara berurutan dipanggil nama para leluhur yang diupacarai, diikuti dengan datangnya gotongan dua hewan kurban.
Sekali tebas, seiring dengan putusnya leher kurban terputus pula ikatan antara leluhur dengan anak-cucu di dunia. Aliran darah korban menandakan sang leluhur melayang menuju tempat kedamaian abadi.
Dua orang anggota hansip yang mengawal upacara sempat kewalahan. Bahkan mereka ikut kena gebuk saat melerai baku hantam. Kejadiannya dimulai saat kepala babi putih kurban baru bisa dipenggal dengan tiga kali tebas.
(Baca juga: Romeo dan Juliet ala Toraja yang Tak Terpisahkan Hingga di Alam Kematian)
Kabarnya, algojo yang kurang sukses ini, selain kena gebuk juga punya beban mental pada leluhurnya. Selain itu, dipercaya, algojo yang "gagal" punya sesuatu yang kurang baik dengan leluhurnya semasa hidup.
Benar-benar hari yang melelahkan.
Pukul 24.00 semua daging hewan korban selesai dibagi. Masing-masing tamu mendapat bagian. Khusus untuk pepi aru - bagian pipi babi - Suku Goban pantang memakannya.
Konon, jika ngotot memakan, sama saja dengan memakan daging orang tua sendiri. Oleh karena itu, pepi aru dijatah untuk tamu di luar suku.
Banyak yang memilih pulang malam itu juga. Diterangi suluh daun kelapa, beberapa rombongan besar beriringan meninggalkan Tanah Hikong.
Dalam dinginnya embun dini hari mereka berjalan kaki berkilo-kilometer sambil membawa beban berupa beras dan daging di punggung dan pundak.
Kelelahan berbaur dengan kesukaan telah berjumpa dengan sanak keluarga. Tak mengapa, bukankah belum tentu peristiwa itu terjadi sepuluh tahun lagi? (Tasnim Yusuf, di Jakarta)
(Seperti pernah dimuat di Majalah Intisari edisi April 2002)
Penulis | : | Moh Habib Asyhad |
Editor | : | Moh Habib Asyhad |
KOMENTAR