Bahkan bapak-bapak pun tampak meraung memanggil orangtuanya. Mereka tidak sembarangan memanggil nama, karena untuk setiap nama yang dipanggil, anak-cucunya harus menyiapkan dua hewan sembelihan.
Bayangkan, jika yang menangis itu lebih dari 50 orang. Gaung suara mereka yang dipantulkan dinding tebing sebelah-menyebelah, benar-benar membangkitkan pilu, menegakkan bulu roma.
Apalagi dikumandangkan syair yang membuat suasana makin terasa memilukan. Mereka percaya, inilah perpisahan yang sebenarnya.
Entah disengaja atau tidak, hewan sembelihan di seputar rumah pun berpartisipasi. Berawal dari lenguhan sedih babi dalam kopor, kemudian diikuti oleh yang lain saling bersahutan.
Kambing mengembik pilu di belakang rumah, anjing melolong-lolong bak melihat hantu, sedangkan babi mengeluarkan suara beratnya.
Tangisan hewan itu makin melengkapi kesedihan keluarga besar Goban. Percaya atau tidak, ada tetesan air mengalir di pelupuk hewan-hewan itu.
Setia membawa welut
Selain sebagai penganut Katolik yang taat masyarakat Tana Ai terutama di sekitar Nanghale, Natarmage, Runut, Talibura, dan sekitarnya, masih mempertahankan kepercayaan lokal.
Saat upacara kematian, selain misa ada pula beberapa prosesi lain.
Pengambilan welut, atau potongan kuku kaki dan tangan kanan serta sedikit rambut si mayat untuk disimpan, dilakukan sebelum Misa Requiem (kebaktian untuk arwah • Red.).
Welut disimpan oleh anak tertua atau orang yang dituakan dalam keluarga. la harus membawanya ke mana pun pergi. Umumnya welut dibungkus kain dan disimpan dalam tempat sirih pinang.
Pembawa welut pantang makan ondo (sejenis ubi hutan), serta dilarang menghadiri pesta wihi lii unur dan pesta adat lain.
Penulis | : | Moh Habib Asyhad |
Editor | : | Moh Habib Asyhad |
KOMENTAR