Puncak upacara ditandai dengan menyembelih babi, kambing, dan ayam di ladang baru yang akan ditanami. Tapi sebelum itu ada rangkaian upacara yang panjang dan rumit, yang bisa berakibat kekeliruan.
Andai demikian, si penyelenggara harus membayar denda berupa babi. Memang, sepanjang ritual ada saja denda yang mesti dibayar.
Sebelum puncak upacara, ada beberapa upacara persiapan. Misalnya, wai umara (memercikkan air ke ladang tempat upacara), lii watu tanah (membersihkan beras untuk menjamu tamu), wai ae Loen (menentukan hari H dan nama nenek moyang yang akan diantar), wuu pelan woen (membuat pelang atau emping beras yang dibagikan dengan daging untuk tamu), dan pati pleba - memotong hewan untuk nenek moyang yang tak pernah diambil welut-nya (potongan kuku dan rambut dari jasad).
Sehari sebelum hari H, pukul 14.30, aroma magis ritual adat mulai terasa. Diawali dengan perarakan kopor, semacam keranda yang di dalamnya diikatkan seekor babi dalam posisi tidur.
Kopor ditutup dengan sehelai kain batik baru, lalu dihiasi daun kelapa muda. Babi itu simbol orang yang sudah meninggal. Masing masing diberi nama sesuai dengan nama orang yang akan diantar rohnya.
Diiringi nyanyian adat yang mirip ratapan, kopor diarak menuju rumah pesta. Sesampai di halaman rumah, tiba-tiba terjadi saling pukul dengan menggunakan kayu dan tinju.
(Baca juga: Cing Cing Goling, Upacara Adat Gunung Kidul yang Terinspirasi dari Kisah Pelarian Prajurit Majapahit)
Bunyi berdebam memantul dari setiap punggung yang terhantam. Untunglah, saling pukul hanya berlangsung sepuluh menit.
"Namanya leben grengan. Untuk menunjukkan keakraban antarsaudara," tutur Pak Joseph.
Konon, aslinya leben grengan menggunakan senjata tajam, misalnya parang. Anehnya, luka yang timbul cukup ditutup dengan sembarang daun, dijamin seketika sembuh. Asalkan, tidak ada perempuan.
Lalu mengapa saat itu hanya menggunakan kayu dan tinju tangan? Ternyata, karena ada saya yang akan memotret.
Leben grengan usai. Tiba-tiba terdengar ratap tangis laki-laki dan perempuan memenuhi udara Tanah Hikong. Seorang perempuan muda memanggil-manggil nama almarhumah nenek dan ibunya.
Penulis | : | Moh Habib Asyhad |
Editor | : | Moh Habib Asyhad |
KOMENTAR