Namun, yang membuat kita makin asyik memperbincangkan air ini ialah laporan berulang kali dari Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia, bahwa di antara air botolan yang seharusnya murni itu ada yang tercemar oleh kuman.
Bagaimana mungkin air yang diolah dengan teknologi canggih masih bisa tercemar?
Seperti minuman awetan lain yang dikemas dos karton dan kantung aluminium, (seperti teh, susu, coklat, sari buah), air botolan pun rentan terhadap pencemaran kuman.
Kumannya berasal dari benih yang dulunya nebeng masuk ke dalam air, ketika air (walaupun sudah steril) dialirkan dari tabung sterilisasi ke mesin pembotolan.
Benih nebeng ini biasanya bertunas dalam air botolan yang ketika masih di warung pengecer tidak disimpan di tempat sejuk, tapi dibiarkan menderita panas di udara terbuka.
Padahal pada tiap botol air sudah jelas-jelas diingatkan oleh pabrik: simpan di tempat yang sejuk!
Ada botol yang tidak disimpan dingin seperti itu, yang kemudian diperiksa oleh Lembaga Konsumen. Isinya berbintik-bintik hitam, karena spora cendawan yang sudah bertunas.
Botol lain bahkan ada yang isinya sudah berlendir, hasil cendawan lain yang sudah berbiak lebih lanjut.
Yang dipersalahkan sudah tentu pedagang eceran yang tidak menyimpan botol itu di tempat sejuk. Bukan pabrik yang membotolkan air itu yang sudah bekerja sesuai prosedur yang digariskan!
Dalam ketentuan pengendalian mutu air olahan, air yang sudah selesai dibotolkan tidak boleh langsung dipasarkan, tapi disimpan dulu dalam ruang dingin selama 6-12 bulan.
(Baca juga: Catat! Minyak Kelapa Tidak Menyehatkan, dan Tidak akan Pernah Menyehatkan!)
Benih kuman yang tadinya sempat menyelundup dipaksa mati dulu, dalam suhu dingin ini.
Penulis | : | Moh Habib Asyhad |
Editor | : | Moh Habib Asyhad |
KOMENTAR