Advertorial

Air Botolan dan Air Mineral, Sejauh Mana Ia Sehat dan Menyehatkan?

Moh Habib Asyhad

Editor

Dalam industri minuman, air mineral juga ditafsirkan sebagai air olahan (bukan murni dari sumber alami, tapi dari leding saringan), yang sengaja diberi natrium-bikarbonat.
Dalam industri minuman, air mineral juga ditafsirkan sebagai air olahan (bukan murni dari sumber alami, tapi dari leding saringan), yang sengaja diberi natrium-bikarbonat.

Intisari-Online.com – Sudah bertahun-tahun kita dilanda mode minum air kemasan dalam botol plastik.

Sayang, kadang-kadang ada yang kotor atau bahkan berlendir, sampai secara berkala masyarakat dibuat heboh. Bagaimana kiat kita agar air ini tetap aman diminum?

--

Di depan lampu merah perempatan Rasuna Said - Gatot Subroto Jakarta Selatan, sopir taksi yang saya tumpangi membuka botol plastik air minumnya dan melepas dahaga dengan nikmat.

Saya ditawari air itu juga, tapi saya rasa itu hanya basa-basi. Yang menawari sungguh-sungguh ialah anak tanggung yang menjajakan botol serupa tapi lebih kecil.

"Akua-akua-akua!" teriaknya tak sabar. Nada suaranya seperti orang tergesa-gesa, dan siratan matanya memaksa: "Cepetan, dong. Beli nggak?"

Secepat itu pula ia pindah ke mobil lain. "Akua-akua-akua!"

(Baca juga:Terbongkarnya Pabrik Pengoplos Aqua Ini Jadi Alasan Kita Harus Waspada Jika Air Mineral Berwarna dan Berasa)

Inilah salah satu gambaran betapa luasnya sudah, air botolan menjangkau masyarakat. Air itu laris di kalangan para sopir.

Ada kepercayaan, bahwa sopir bisa mengurangi risiko sakit ginjal kalau melepas dahaga tidak dengan limun, kopi, sirup atau susu coklat, tapi air putih.

Memang lebih praktis

Di restoran besar dan hotel berbintang pun kita dihidangi air botolan. Bukan air leding lagi.

Kalau restoran bergengsi dulu menghidangkan air putih dari kan ke dalam gobelet di atas meja, (sebelum kita menyantap makanan yang dipesan), restoran masa kini mengucurkan air botolan langsung dari botolnya.

Botol air sisa ditaruh di atas meja juga. Barangkali kita masih mau air lagi? Tidak gratis seperti air leding, tapi mesti bayar!

Maka, di atas meja makan restoran bergengsi masa kini ditaruh botol plastik bekas. Tidak ada rasa risi! Seharusnya disingkirkan dari meja makan yang sudah ditata apik itu.

Ternyata memang ada siasat. Dengan menunjukkan botol itu di atas meja, pemilik restoran mengharapkan agar kita maklum bahwa yang dihidangkannya bukan air leding, tapi botolan. Lebih mahal, no!

Mengapa kita dilanda mode minum air botolan? Bukan karena ginjal-ginjal, tapi karena air leding sudah merosot reputasinya.

la harus direbus dulu sebelum bisa dinikmati sebagai air minum. Padahal sering masih kurang nikmat juga!

Untung ada yang menawarkan air botolan yang nikmat karena murninya. Murninya seperti air suling aqua destillata, sampai ada yang diberi merek Aqua dan AdeS, mirip bunyi-bunyian aquadest.

Jangkauan penyebarannya juga sampai ke musafir di stasiun kereta api, yang lebih senang membeli air ini (tinggal berteriak sambil duduk), daripada air rebus (harus berjalan ke luar gerbong).

(Baca juga:Sekelompok Mahasiswa di Belgia Menemukan Mesin Pengubah Air Kencing Menjadi Air Minum)

Permintaan akan air yang praktis ini lalu begitu besar, sampai ada pedagang nakal yang menjual air sumur dalam botol bekas.

Musafir yang tidak teliti sering terkecoh, mengira minum air murni. Ia baru tahu setelah terlambat. Tentu saja, ada yang protes di koran, tapi salah alamat.

Untung kejadian itu berhasil mendorong beberapa pabrik air botolan untuk mencantumkan peringatan pada tutup botolnya: jangan menerima kalau segel sudah rusak.

Kuman nebeng

Namun, yang membuat kita makin asyik memperbincangkan air ini ialah laporan berulang kali dari Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia, bahwa di antara air botolan yang seharusnya murni itu ada yang tercemar oleh kuman.

Bagaimana mungkin air yang diolah dengan teknologi canggih masih bisa tercemar?

Seperti minuman awetan lain yang dikemas dos karton dan kantung aluminium, (seperti teh, susu, coklat, sari buah), air botolan pun rentan terhadap pencemaran kuman.

Kumannya berasal dari benih yang dulunya nebeng masuk ke dalam air, ketika air (walaupun sudah steril) dialirkan dari tabung sterilisasi ke mesin pembotolan.

Benih nebeng ini biasanya bertunas dalam air botolan yang ketika masih di warung pengecer tidak disimpan di tempat sejuk, tapi dibiarkan menderita panas di udara terbuka.

Padahal pada tiap botol air sudah jelas-jelas diingatkan oleh pabrik: simpan di tempat yang sejuk!

Ada botol yang tidak disimpan dingin seperti itu, yang kemudian diperiksa oleh Lembaga Konsumen. Isinya berbintik-bintik hitam, karena spora cendawan yang sudah bertunas.

Botol lain bahkan ada yang isinya sudah berlendir, hasil cendawan lain yang sudah berbiak lebih lanjut.

Yang dipersalahkan sudah tentu pedagang eceran yang tidak menyimpan botol itu di tempat sejuk. Bukan pabrik yang membotolkan air itu yang sudah bekerja sesuai prosedur yang digariskan!

Dalam ketentuan pengendalian mutu air olahan, air yang sudah selesai dibotolkan tidak boleh langsung dipasarkan, tapi disimpan dulu dalam ruang dingin selama 6-12 bulan.

(Baca juga:Catat! Minyak Kelapa Tidak Menyehatkan, dan Tidak akan Pernah Menyehatkan!)

Benih kuman yang tadinya sempat menyelundup dipaksa mati dulu, dalam suhu dingin ini.

Sesudah "diperam" ini, botol kemudian dites isinya di laboratorium, untuk dihitung jumlah kumannya yang mungkin masih selamat.

Jumlah kuman yang slaman slumun selamat ini tidak boleh melebihi 20 dalam tiap cc air yang dibiakkan pada agar-agar, selama 24 jam. Barulah air yang demikian boleh dipasarkan.

Kalau lebih dari angka 20, seluruh batch (jumlah yang diproduksi pada waktu sama) dibuang dan diganti dengan air produksi baru yang lebih bersih.

Dijamin, air yang dikendalikan mutunya seperti ini "tidak akan berisi kuman lagi" (dalam jumlah yang membahayakan). Asal disimpan di tempat yang sejuk.

Tanggal kedaluwarsa

Pada dos atau kantung kemasan sari buah, teh, susu, dan coklat sering kita jumpai tanggal kedaluwarsa isinya.

Ada yang tercetak use before 300194. Ada yang best before 170894. Itu terutama dipakai untuk menarik produk dan peredaran (kalau tiba waktunya), untuk diganti dengan produk baru.

Jadi konsumen langganan tidak kapok membeli minuman merek yang bermutu itu.

Sejauh ini pada air botolan belum pernah dijumpai tanggal kedaluwarsa itu. Seolah-olah air plastikan itu abadi awetnya. Sampai kiamat tidak akan rusak.

Sekarang, agar kita bisa tenteram minum air botolan yang tidak ada tanggal kedaluwarsanya, ialah membelinya tidak pada penjual rokok pinggir jalan yang panas, atau di warung blekok di bawah rumpun bambu (yang ada blekoknya), tapi di toko yang menyimpan botol air itu dalam lemari es.

Bepergian pun sebaiknya tidak membeli air botolan asongan, tapi di kios dan toko yang memajang air itu di lemari es pajangan.

Suhu dingin bersifat antiseptik dan mencegah pembiakan sisa-sisa laskar kuman yang kurang dari 20 tiap cc air tadi.

Agaknya sudah tiba waktunya, Departemen Kesehatan kita membuat peraturan yang mengharuskan semua produsen air botolan di Indonesia mencantumkan tanggal produksi dan tanggal kedaluwarsa produk itu.

Tidak perlu panjang lebar seperti best before 170894 tadi, tapi cukup 0893, 0894. Maksudnya, dipasarkan Agustus 1993 dan kedaluwarsa Agustus 1994. Ini misal.

Umumnya, keawetan produk penyinaran ultra violet dan ozonisasi dalam kemasan dos karton, botol plastik atau kantung aluminium dibuat hanya 1 tahun.

Lebih dari tanggal kedaluwarsa, hasil pengawetan harus dianggap sudah rusak, dan perlu ditarik dari masyarakat untuk diganti.

Ini memang berbeda dengan air mineral yang dikemas dalam botol gelas. Selama disimpan dingin, dan baru dikeluarkan dari ruang pendingin kalau akan diminum saja, ia tahan ratusan tahun, seperti anggur dan sampanye botolan.

Air minum. sumber pegunungan, dan mineral

Sejak Masyarakat Eropa pada tahun 1984 menetapkan standar mutu bagi table water (setara dengan air minum botolan kita), spring wafer (air sumber pegunungan) dan mineral water, (air mineral, dari pegunungan juga), kita tersentak.

Sejauh itu kita mengira, air botolan itu hanya satu jenis, berasal dari pegunungan semua.

Table water ialah air (kemasan) yang boleh berisi kombinasi air leding, sumur, mata air, dan sungai yang sudah dibersihkan, diawet, dan dibotolkan.

la disebut table water, karena tugasnya hanya untuk diminum di meja makan. Jadi tidak boleh dijual mahal seperti air mineral dan spring water.

Ia boleh dibotolkan di mana saja, dan kemudian ditimbun untuk diperdagangkan sebagai drinking water yang tahan lama.

Para konsumen senang sekali memakai air ini untuk menyiapkan makanan bayi, mengecong teh atau kopi, karena rasanya yang netral tidak mempengaruhi rasa makanan dan minuman.

Sedangkan untuk keperluan minum di meja makan masih dipakai air sumur atau leding yang sudah disaring dengan alert penjernih air sendiri.

Spring water ialah air (kemasan juga) yang khusus diambil dari mata air. Biasanya dari pegunungan yang belum tercemar limbah industri.

Ia harus dibotolkan segera di sumbernya dan tidak boleh diproduksikan di sembarang tempat lain di luar sumber itu.

Karena itu harganya juga boleh lebih mahal daripada table water.

Dengan merosotnya reputasi air leding akhir-akhir ini, masyarakat negara industri seperti Eropa, Amerika, dan Jepang, yang sudah tercemar berat sumber daya airnya, makin banyak yang beralih memakai spring water daripada table water.

Apa lagi kalau mereka makan di restoran dan kedai fast food.

Air sumber pegunungan ini juga harus netral dan tidak boleh berisi mineral, termasuk bikarbonat.

Kalau pun kebetulan mengandung mineral, hanya boleh sedikit saja, agar pH (derajat keasaman)-nya masih mendekati netral. Air itu tidak berbusa.

Sebaliknya, mineral water ialah air (kemasan) yang justru harus mengandung salah satu mineral alami terlarut, paling sedikit 50 mg/l.

Mineralnya berupa kumpulan magnesium, kalsium, kalium, dan natrium dalam perbandingan tertentu. Tetapi di antaranya selalu ada yang paling menonjol pekatnya.

Ada air mineral yang menonjol kadar magnesiumnya (misalnya 191 mg/1 dalam air merek Rhodius), dan ada yang mencolok kalsiumnya (471 mg/1 dalam Contrex).

Susunan mineral ini harus dicantumkan pada label kemasan, agar pembeli tahu, jenis mineral apa yang dominan, dan seberapa rendah kadar natriumnya.

Unsur natrium tidak boleh terlalu tinggi, melebihi 200 mg/l air.

Komposisi mineral tidak boleh diubah, kecuali ditambah bikarbonat (kalau mau) atau dibuang besi dan belerangnya yang terlalu banyak.

Pembuangan zat besi ini semata-mata karena alasan estetika.

Sebab, air berisi besi memang agak berwarna coklat yang jelek. Pembuangan belerang dilakukan, karena baunya yang tidak enak.

Maka, air bebas besi dan belerang ini lalu bening bagus dan tidak berbau.

Menambah bikarbonat dibolehkan, karena gas CO2 yang lepas tidak mengganggu kesehatan.

Tetapi air mineral dari mata air tertentu kadang sudah mengandung bikarbonat alami tinggi sekali, (misalnya 374 mg/1 dalam Contrex), sehingga tidak perlu ditambahi bahan itu lagi.

Air akan berbusa sendiri kalau dituang dari botolnya ke dalam gelas minum, lalu dipromosikan sebagai natural sparkling mineral water.

Untuk apa?

Kalau table dan spring water dipakai sebagai air minum pada waktu makan, air mineral tidak untuk menggentor makanan, tapi lebih berperan sebagai semacam jamu.

Memang boleh saja minum air mineral sesudah makan, tapi sebenarnya bukan begitu acaranya.

Bergantung pada kadar mineralnya yang dominan, khasiat air itu berbeda-beda. Air yang kaya magnesium, misalnya, hanya cocok untuk memperbaiki tonus otot-otot tubuh, termasuk otot jantung.

Ia mampu menenangkan rasa pegal akibat kekejangan otot. Jenis air inilah yang paling laris di kalangan orang yang sehari-harinya hidup tegang.

Di pusat perbelanjaan Seibu, di Dcebukuro, Tokyo, sampai ada Aqua Bar Genryu, yang khusus menghidangkan 20 jenis merek air mineral dari seluruh dunia, dengan rasa khas masing-masing yang berbeda.

Ada yang minum karena alasan ingin melepas ketegangan. Ada yang karena gatal-gatal alergi, tapi juga ada yang sekadar ingin merasakan sensasi minum air berbusa.

Negeri yang memelopori penjualan air mineral ialah Jerman dan Prancis, yang sudah sejak abad yang lalu membotolkannya langsung dari mata air.

Sumber ini terbentuk gara-gara perubahan vulkanis pada kerak bumi di negeri itu, jutaan tahun yang lalu.

Air permukaan meresap ke berbagai lapisan batu-batuan selama berabad-abad, kemudian tersaring berlapis-lapis hingga menjadi air murni, dan akhirnya keluar sebagai mata air, setelah melarutkan berbagai mineral dari tanah yang dilaluinya.

Di beberapa pasar swalayan terkenal kota besar kita juga ada air mineral mancanegara yang dipajang, seperti Schwebbe dan Gerolsteiner dari Jerman, atau Vittel dan Evian dari Prancis.

Air soda

Dalam industri minuman, air mineral juga ditafsirkan sebagai air olahan (bukan murni dari sumber alami, tapi dari leding saringan), yang sengaja diberi natrium-bikarbonat.

Pada zaman Belanda dulu, pabrik yang menghasilkan air jenis ini disebut mineraalwater fabriek. Minumannya sama-sama disebut air mineral, tapi ujudnya berbeda.

Karena di Indonesia dulu dibuat pertama kali oleh perusahaan Belanda, air “mineral” buatan ini juga terkenal sebagai air belanda.

Dalam kamus bahasa Inggris – Indonesia, sparkling water juga diterjemahkan sebagai air belanda. Seharusnya diralat menjadi air soda.

Kalau diminum, air belanda ini seperti ada semutnya yang menggigit. Karena natrium-bikarbonat disebut soda kue, air “berisi semut” itu juga terkenal sebagai air soda. (Kuenya ditelan).

Belakangan ada air soda yang tidak diberi soda kue, tapi asam bikarbonat saja yang juga dapat melepaskan gas CO2 seperti soda kue.

Sebab, berdasarkan pengalaman minum air soda, residu natrium dari soda itu kalau sering terminum sampai banyak, bisa membuat ginjal jadi payah mengeluarkannya dari tubuh.

Industri air soda lalu beralih memakai bahan yang tidak ada natriumnya sama sekali. Airnya sudah tentu tetap disebut air soda, meskipun tidak mengandung soda lagi.

Itulah sebabnya, ada orang yang tetap ingin menyebut air soda ini "air mineral". Tidak makin jelas, tapi rancu. (Slamet Soeseno)

(Artikel ini pernah dimuat di Majalah Intisari edisi Juli 1993)

Artikel Terkait