Seperti dituturkan di atas, naskah tulisan tangan Bung Karno itu kemudian diubah dan perubahan itu diketik oleh pak Sayuti.
Seorang historicus Indonesia, menyatakan, peristiwa Proklamasi itu masih begitu dekat jaraknya dengan kita, sehingga tulisan-tulisan yang ada, tak dapat dikatakan historischobjektif.
Diperlukan adanya distansi yang lebih jauh untuk menjadikan tulisan yang objektif.
Sebaliknya semakin banyak tulisan tentang peristiwa bersejarah itu, semakin baik sebagai sumber penulisan sejarah di kemudian hari. Terutama tulisan-tulisan oleh orang-orang yang ikut serta dalam peristiwa-peristiwa itu.
Orang seperti Pak Sayuti Melik dapat menyumbangkan tulisannya. Pemuda kelahiran Sleman itu pejuang sejak muda.
Dari usianya yang kini 55 tahun setengah, 17 tahun ia habiskan dalam penjara. Tatkala berusia 25 tahun, sudah 8 tahun ia meringkuk dalam penjara Digul.
Ia mulai berjuang dalam usia 16 tahun, waktu itu pelajar Sekolah Guru di Solo. Salah satu gurunya dalam perjuangan ialah Ali Archam, baru kemudian menjadi murid Bung Karno.
Ia tertarik kepada PKI karena disanalah semangat radikal dan revolusionernya terpenuhi.
Kemudian setelah mempelajari ajaran Bung Karno dan buku-buku Marxisme-Leninisme lebih mendalam, dan kenyang keluar-masuk penjara, keyakinannya berubah.
Tetap menjunjung Marxisme, tetapi Marxisme yang diterapkan dalam kondisi-kondisi di Indonesia.
Pada tahun 1933 keluar dari penjara Digul, lalu bekerja seabgai “cattle attendant” (penjaga ternak) pada kapal asing.
Sekali waktu ia dibentak oleh Kapten kapal karena enggan menyerahkan tempatnya yang teduh dalam kapal untuk ternak-ternak.
Penulis | : | Ade Sulaeman |
Editor | : | Ade Sulaeman |
KOMENTAR