Advertorial

Inilah Alasan Sebenarnya Laksamana Muda Maeda Biarkan Rumahnya Jadi Tempat Menyusun Naskah Proklamasi. Jangan Kecewa, Ya!

Ade Sulaeman

Editor

Sayuti Melik tertarik oleh sikap Laksamana Muda Maeda. Sebagai seorang pejuang kemerdekaan yang banyak makan garam, ia tak lantas percaya akan sikap baik perwira tinggi itu.
Sayuti Melik tertarik oleh sikap Laksamana Muda Maeda. Sebagai seorang pejuang kemerdekaan yang banyak makan garam, ia tak lantas percaya akan sikap baik perwira tinggi itu.

Intisari-Online.com – Wanita yang berdiri di sebelah kanan Ibu Fatmawati Soekarno tatkala Sang Saka Merah Putih dikibarkan untuk pertama kalinya pada tanggal 17 Agustus 1945 adalah Nyonya S.K. Trimurti, doktoranda (ekonomi) Sulastri Karma Trimurti, istri Sayuti Melik, yang tulisan-tulisannya tentang Marhaenisme dan Soekarnoisme banyak dibaca orang.

Beberapa hari sebelum peristiwa bersejarah itu, Sayuti Melik dan istrinya dipanggil ke Jakarta oleh Bung Karno.

S.K. Trimurti termasuk murid Bung Karno yang pertama-tama. Dengan kedatangannya di Jakarta, ia menjadi salah satu saksi daripada peristiwa-peristiwa bersejarah sekitar 17 Agustus 1945.

Ketika mereka berdua tiba di Jakarta, Bung Karno baru ke Saigon bersama dengan Bung Hatta dan almarhum Dr. Radjiman Wedyodiningrat, untuk membicarakan soal kemerdekaan dengan Marsekal Terauchi, Wakil panglima tertinggi balatentara Jepang di Asia Tenggara.

Pada tanggal 14 Agustus ketiga utusan itu tiba kembali di lapangan terbang Kemayoran.

Di depan orang banyak yang datang menyambut, Bung Karno berkata, “Kalau dahulu saya berkata, sebelum jagung berbuah Indonesia akan merdeka, sekarang saya dapat memastikan Indonesia akan merdeka sebelum jagung berbunga.”

Selama di Jakarta, pak Sayuti dan istri tinggal di rumah Bung Karno, Pegangsaan Timur 56.

Menurut penuturannya sendiri ia bukan tokoh dalam kejadian-kejadian yang bersejarah. Ia hadir sekadar sebagai pembantu pribadi Bung Karno.

Sedangkan Bu Trimurti, murid lama Bung Karno, bertindak sebagai sekretaris pribadi.

Pada tanggal 16 Agustus malam, sewaktu mereka sedang duduk-duduk di beranda rumah Pegangsaan Timur 56, datanglah 2 orang pemuda Wikana dan Subadio.

(Baca juga: Meski Ada Tiang Besi, Suhud Mengibarkan Bendera Proklamasi Pertama Di Tiang Bambu. Ini Alasannya!)

Pak Sayuti dapat mendengarkan percakapan mereka dari tempat ia duduk. Kedua pemuda itu atas nama kawan-kawannya mendesak agar diadakan proklamasi kemerdekaan segera.

Bung Karno menjawab, beliau punya kawan, karena itu sebelum bertindak sesuatu perlu konsultasi lebih dulu dengan mereka. Kalau tak percaya boleh digorok lehernya!

Kemudian datang tokoh-tokoh lain: Bung Hatta, Subardjo SH, Dr. Sanusi, Iwa Kusumasumantri SH, Dr. Buntara.

Antara Soekarno-Hatta dan golongan Pemuda tak ada perbedaan prinsip tentang kemerdekaan Indonesia, hanya berbeda dalam cara.

Juga di dalam zaman Jepang usaha kita untuk mencapai kemerdekaan nasional tidak berhenti-henti.

(Baca juga: Saksi Bisu Sejarah Proklamasi Nasib, Bagaimana Riwayatmu Kini)

Di dalam zaman Jepang ini, tampaknya saja kita menyandarkan diri kepada mereka. Tetapi pada hakekatnya tetap kita menyusun tenaga kita sendiri, tetap kita percaya pada kekuatan kita sendiri.

Demikian amanat Bung Karno mendahului pembacaan Proklamasi menurut almarhum Prof. Moh. Yamin SH dalam bukunya Dari Proklamasi sampai Resopim.

Ada perbedaan pebdapat antara golongan Soekarno-Hatta dan golongan pemuda pada masa itu tentang unsur Jepang.

Golongan Pemuda tak mau tahu Jepang, mereka menolak sama sekali kemungkinan adanya kesan seakan-akan kemerdekaan yang akan diproklamasikan adalah “hadiah” Jepang.

Golongan Soekarno-Hatta juga tetap bersandar pada kekuatan sendiri, tetapi mereka memandang unsur kekuatan Jepang yang masih ada, sebagai realitas yang tak dapat diabaikan, justru untuk menyusun organisasi dan kekuatan revolusi selanjutnya.

(Baca juga: Cerita-cerita Unik di Balik Proklamasi Indonesia 17 Agustus 1945)

Keduanya tetap hendak mempergunakan Panitia Persiapan Kemerdekaan yang ditambah dengan unsur Pemuda dan unsur-unsur lain sebagai tempat musyawarah dan penyalur.

Karena itu diputuskan berapat pada tanggal 16 Agustus jam 10 agi di kantor Dewan Sanyo Pejambon 2.

Pertemuan itu urung, karena hari itu jam 4 pagi Bung Karno dan Bung Hatta oleh pemuda-pemuda Sukarni-Chairul Saleh dibawa ke Rengasdengklok.

Di antara pejabat-pejabat tinggi Jepang tokoh Laksamana Muda Maeda dari Kaigun sungguh menarik.

Oleh historicus Belanda H.J. De Graaf, Maeda dilukiskan sebagai seorang perwira Angkatan Laut yang karena lbeih banyak melihat dunia dalam tugasnya, lebih luas, dan lebih terang pandangannya terhadap situasi yang sebenarnya daripada perwira-perwira Angkatan Darat.

Ia berusaha mengadakan kontak dengan masyarakat a.l. melalui Kantor Penerangan yang pimpinannya dipegang oleh Subardjo SH.

Sayuti Melik dari semua tertarik oleh sikap Laksamana Muda Maeda. Sebagai seorang pejuang kemerdekaan yang banyak makan garam, ia tak lantas percaya akan sikap baik perwira tinggi itu.

Ia mencari motifnya. Motif yang ia peroleh dari Maeda begitu bersifat manusiawi, sehingga ia dapat menerimanya.

Menurut Sayuti motif itu ialah: Setelah Jepang kalah, Maeda percaya tamatlah riwayat negara dan dirinya. Berakhirlah hidupnya.

Apakah ia membantu kemerdekaan bangsa Indonesia atau tidak, bagi dirinya sendiri sama ialah tamat riwayatnya.

Daripada pergi tanpa meninggalkan jasa, lebih baik pergi dengan meninggalkan nama. Kenangan baik itu ialah sikapnya yang bersimpati terhadap kemerdekaan Indonesia.

Pada tanggal 16 Agustus pagi-pagi buta, Sayuti dibangunkan dan diberi tahu bahwa Bung Karno, Bu Fatmawati, dan Guntur tak ada.

Mereka mencari keterangan ke Subardjo SH, kemudian ke Maeda, tetapi tiada mendapatkan.

Pada waktu itu mereka-mereka pun belum tahu di mana Bung Karno. Baru kemduian setelah diadakan penyelidikan perwira Jepang itu mengetahuinya.

Peristiwa itu kemudian kita kenal sebagai peristiwa Rengasdengklok. Pagi itu sekitar jam 4 pagi, Bung Karno dan Bung Hatta oleh pemuda-pemuda Sukarni, Chairul Saleh, dll dibawa ke Rengasdengklok ke sebuah asrama Peta.

Menurut para pemuda di sana tempatnya lebih aman untuk kedua pemimpin itu.

Akhirnya terdapat persesuaian paham antara Soekarno-Hatta, Pemuda, dan Maeda.

Kedua pemimpin itu dibawa kembali ke Jakarta, dan pada tanggal 16 Agustus malam diadakan pertemuan di rumah Laksamana Muda Maeda karena tempat yang direncanakan semua ialah Hotel Duta Indonesia ternyata sudah tutup.

Malam itu dibicarakan naskah Proklamasi yang akan diresmikan pagi harinya.

Semula naskah itu akan ditandatangani oleh “Wakil-wakil Bangsa Indonesia”, ialah orang-orang yang hadir pada malam itu termasuk orang-orang yang oleh golongan Pemuda dianggap kolaborator dari Jepang.

Maka Pemuda tak setuju dengan rumusan itu.

Tercapai mufakat, naskah Proklamasi hanya ditandatangani oleh Soekarno-Hatta “Atas nama Bangsa Indonesia”.

Pak Sayuti yang hadir pada malam itu ditugaskan mengetik naskah yang disetujui dan keesokan harinya dibaca oleh Bung Karo di depan rumah Pegangsaan Timur 56.

“Proklamasi. Kami bangsa Indonesia dengan ini menyatakan kemerdekaan Indonesia. Hal-hal yang mengenai pemindahan kekuasaan dan lain-lain, diselenggarakan dengan seksama dan dalam tempo yang sesingkatnya. Jakarta 17 Agustus 1945. Atas nama Bangsa Indonesia Soekarno-Hatta.”

Itulah naskah asli, jadi bukan tulisan tangan Bung Karno yang fotokopinya kini menghiasi buku-buku dan dianggap sebagai naskah resmi.

Seperti dituturkan di atas, naskah tulisan tangan Bung Karno itu kemudian diubah dan perubahan itu diketik oleh pak Sayuti.

Seorang historicus Indonesia, menyatakan, peristiwa Proklamasi itu masih begitu dekat jaraknya dengan kita, sehingga tulisan-tulisan yang ada, tak dapat dikatakan historischobjektif.

Diperlukan adanya distansi yang lebih jauh untuk menjadikan tulisan yang objektif.

Sebaliknya semakin banyak tulisan tentang peristiwa bersejarah itu, semakin baik sebagai sumber penulisan sejarah di kemudian hari. Terutama tulisan-tulisan oleh orang-orang yang ikut serta dalam peristiwa-peristiwa itu.

Orang seperti Pak Sayuti Melik dapat menyumbangkan tulisannya. Pemuda kelahiran Sleman itu pejuang sejak muda.

Dari usianya yang kini 55 tahun setengah, 17 tahun ia habiskan dalam penjara. Tatkala berusia 25 tahun, sudah 8 tahun ia meringkuk dalam penjara Digul.

Ia mulai berjuang dalam usia 16 tahun, waktu itu pelajar Sekolah Guru di Solo. Salah satu gurunya dalam perjuangan ialah Ali Archam, baru kemudian menjadi murid Bung Karno.

Ia tertarik kepada PKI karena disanalah semangat radikal dan revolusionernya terpenuhi.

Kemudian setelah mempelajari ajaran Bung Karno dan buku-buku Marxisme-Leninisme lebih mendalam, dan kenyang keluar-masuk penjara, keyakinannya berubah.

Tetap menjunjung Marxisme, tetapi Marxisme yang diterapkan dalam kondisi-kondisi di Indonesia.

Pada tahun 1933 keluar dari penjara Digul, lalu bekerja seabgai “cattle attendant” (penjaga ternak) pada kapal asing.

Sekali waktu ia dibentak oleh Kapten kapal karena enggan menyerahkan tempatnya yang teduh dalam kapal untuk ternak-ternak.

Ia menetap di Malaya, bergerak di bawah tanah menjadi anggota Partai Komunis Malaya dan Ketua Liga Anti Imperialis Asia Tenggara.

Kemudian ketahuan dan dipenjarakan. Pada tahun 1937 dibebaskan, tetapi harus meninggalkan wilayah Inggris.

Ternyata mereka sudah “tst” dengan pemerintah Belanda, buktinya sampai di Jawa terus langsung dimasukkan penjara.

Baru tahun 1938 dibebaskan. Terus ke Semarang dan bekerja sebagai penjual kain.

Di sana bertemu dengan Sulastri alias S.K. Trimurti, murid Bung Karno yang pada masa itu memimpin majalah Suara Marhaeni.

Dalam penjara tahun 1937, pak Sayuti merasa paling bahagia. Mengapa? Karena dalam penjara ia merasa lebih “bebas” daripada di luar penjara.

Bebas membaca buku, makan, tidur, berpikir. Orangtua, saudara, sengaja tak ia pikirkan agar tak menyedihkan hati, malahan memberitahu kepada mereka pun tidak.

Di Semarang ada surat kabar Sinar Selatan yang dipimpin oleh seorang Jepang, Hiraki namanya. Pak Sayuti sering menulis tajut untuk surat kabar itu. Akibatnya ia masuk penjara lagi.

Kemudian ia menerbitkan majalah Pesat, sampai 1941. Dalam zaman Jepang masuk penjara lagi.

Dari penjara ia ikut sayembara mengarang tentang “Kebudayaan dan Kemerdekaan” dengan nama samaran Mantri Penjara.

Juri dari sayembara itu antara lain Bung Karno dan almarhum Prof. Moh. Yamin SH.

Karangan pak Sayuti mendapat hadiah pertama. Tetapi yang menerima hadiahnya bukan penulisnya yang pada saat penyerahan hadiah masih meringkuk dalam penjara, melainkan R.M. Hadikusumo yang kedudukannya sebagai Mantri Penjara dipimjam oleh pak Sayuti.

Pada peristiwa 3 Juli 1947 pak Sayuti masuk penjara lagi sampai 2 tahun, sekalipun akhirnya dibebaskan karena ia memang tak ikut dalam gerakan itu.

Perjuangan pak Sayuti dan bu Trimurti dianugerahi oleh Pemerintah dengan pengangkatan mereka sebagai Mahaputera.

Dianugerahi juga 2 orang anak lelaki, yang satu kadet AMN, satunya lagi calon sarjana ekonomi seperti ibunya. Sudah 1 tahun lebih Bu Trimurti memperdalam ilmu di Yugoslavia.

Kalau mau, dengan bakat dan jasa perjuangan seperti pak Sayuti suami-istri, tak sukar kiranya menciptakan suasana hidup mewah.

Tetapi suami-istri itu tetap setia kepada prinsip perjuangan. Hidup mereka tetap di rumah Kramat Lontar yang amat sederhana dan karena itu menyegarkan jiwa.

Sering ia berkata, “Sudah 40 tahun saya berjuang. Paling lama 5 – 10 tahun lagi saya hidup. Karena itu tak mau saya nodai perjuangan saya karena kedudukan ataupun rasa takut.”

Tulisan-tulisannya terus terang, jujur, bukan mencerminkan penyanjungan yang mempunyai pamrih, melainkan keyakinan yang dihayati sehari-hari.

Seorang rekan berkata, “Jika Proklamasinya masih murni.”

(Seperti dimuat dalam Majalah Intisari edisi Agustus 1964)

Artikel Terkait