Intisari-Online.com - Dalam Perang Dunia Pertama (PD I) pasukan Jerman dan sekutunya yang merupakan negara-negara Austro Hongaria dengan mudah berhasil menguasai sebagian wilayah Eropa.
Pasukan Jerman yang terus melebarkan wilayah serbuannya bahkan menjadi kekuatan militer yang mengancam kawasan Eropa Barat dan Timur khususnya Perancis serta Rusia.
Akibatnya jalur perdagangan Rusia ke Eropa Barat lewat darat terhambat sehinnga perlu dirancang suatu serangan lewat wilayah lain untuk membuka isolasi antara kawasan Eropa Barat dan Rusia tersebut.
Inggris yang selama ini menjadi sekutu Perancis juga tak mau tinggal diam mereka berupaya membantu Rusia dengan terlebih dahulu menguasai Turki lewat laut.
Jika Turki dan sepanjang pantainya yang membentang di Gallipoli bisa dikuasai jalur darat dan laut ini kemudian akan digunakan sebagai jalur pasokan logistik dari Rusia.
(Baca juga: Jika Bukan karena Jasa-jasa Sosok Ini, Mustahil Angkatan Udara Turki Bisa Terbangun Sebesar Ini)
Pasokan logistik Rusia lewat darat bisa diangkut melalui daratan Kaukasus dan selanjutnya terus disalurkan melalu Turki.
Dari daratan Turki pasokan logistik kemudian diangkut ke berbagai negara Eropa melintasi Laut Meditrania atau Laut Hitam. Kedua lautan itu juga merupakan jalur yang strategis untuk berlayar menuju Perancis atau Ingrris.
Untuk membuka jalur darat dan laut itu, pasukan Inggrisn dan Perancis mengerahkan kekuatan lautnya di bawah komando Menteri Peperangan Inggris, David Lloyd dan para petinggi militer Inggris, seperti petinggi Al dari Kerajaaan Inggris Wiston Churchill , Jenderal Kitchener, dan Laksanama Sackville H Carden.
Sasaran utama gemputran laut gabungan itu adalah menguasai Selat Dardanella atau Gallipoli yang saat itu berada di bawah Kekaisaran Ottoman (Turki) yang kemudian akan dijadikan basis bagi pendaratan pasukan gabungan Inggris dan Perancis.
Puluhan kapal perang Inggris yang saat itu masih dikenal sebagai raja lautan dan sejumlah kapal perang Perancis segera dikerahkan menuju Selat Dardanella.
(Baca juga: Diminta Tarik Mundur Militer di Qatar Demi Perdamaian, Turki Justru Malah Menambah Kekuatan)
Serangan besar-besaran melalui laut itu kemudian lebih dikenal sebagai Pertempuran di Gallipoli (Battle of Gallipoli).
Dari sisi kekuatan dan strategi tempur pasukan gabungan Inggris merasa yakin jika target yang diserbu bisa dikuasai dalam waktu yang singkat.
Pada bulan Februari 1915 Angkatan Laut Inggris dan Perancis melancarkan bombardemen terhadap benteng pasukan Turki yang bertugas menjaga Selat Daedanella dengan menembakkan meriam-meriam kapal perang.
Tapi pasukan Turki yang disupervisi oleh para perwira militer Jerman ternyata sudah menyiapkan diri dan menggelar ranjau laut di sepanjang Pantai Dardanella.
Akibatnya dalam waktu yang tidak terlalu lama ketika kapal-kapal perang Inggris terus maju sambil menembakkan meriamnya , sejumlah kapal perang yang sudah tegolong tua itu melanggar ranjau, meledak, dan kemudian tenggelam.
(Baca juga: Boyong Keluarga saat Kunjungan Kerja ke Turki dan Jerman, Jokowi Dinilai Gagal Beri Teladan soal Kesederhanaan)
Tiga kapal perang Inggris yang kemudian tenggelam membuat gerak maju kapal-kapal perang lainnya terhenti.
Tak hanya itu komandan operasi AL gabungan Inggris yang tidak menduga akan menghadapi perangkap ranjau laut bahkan memerintahkan kapal-kapal perang Inggris dan Perancis segera mundur untuk menghindari kehancuran lebih lanjut.
Mengalami disaster of war yang diluar dugaan itu, sebagai negara yang mengkalim raja lautan, Inggris benar-benar terpukul. Untuk sementara serangan ke Selat Dardanella menggunakan kapal-kapal perang dihentikan dan akan digantikan serangan besar-besaran lewat darat.
Serangan darat pasukan gabungan Inggris yang dipimpin oleh Jenderal Hamilton rencananya berupa pendaratan ratusan ribu pasukan infanteri di sejumlah lokasi srategis tapi berisiko tinggi.
Pasalnya, medan perang yang akan didarati merupakan medan berbukit-bukit dan bertebing karang curam serta di bagian puncaknya terdapat ratusan sarang senapan musuh.
Puncak-puncak bukit karang tersebut dijaga oleh pasukan Turki dan pasukan Jerman yang telah berpengalaman di medan tempur dan sedang memiliki moril tempur yang tinggi .
Bagi Jenderal Hamilton yang sudah kenyang bertempur di berbagai medan perang, pendaratan pasukan Inggris dan sekutunya di sejumlah pantai yang bertebing curam itu sebenarnya merupakan misi bunuh diri.
Ribuan pasukan Ingris yang sedang mendarat dan bergerak menuju pantai lalu meneruskan serbuannya dengan cara mendaki bukit, cara bertempur seperti itu jelas sangat berbahaya.
Para prajurit yang kurang terlindungi akan menjadi sasaran empuk bagi penembak jitu dan operator senapan mesin pasukan Turki serta Jerman yang posisinya berada di ketinggian.
Tapi Jenderal Hamilton sudah paham betul untuk mengubah misi pendaratan itu bukan merupakan serangan bunuh diri .
Berdasar pengalaman tempur yang pernah dialami oleh Hamilton untuk mengatasi medan berupa terbing terjal bisa dikerahkan pasukan yang biasa hidup di medan serupa yakni pasukan Gurkha dan pasukan dari negara bergunung-gunung, Selandia Baru.
Namun kendati mengerahkan pasukan yang sudah akrab dengan medan bergunung, missi serbuan itu bisa menjadi disaster of war mengingat musuh berada di ketinggian dan mudah membidik sasarannya.
Pada 25 April 1915 pasukan gabungan Inggris mulai mendaratkan pasukan secara serentak di sejumlah pantai Turki yang memiliki nilai strategis tinggi.
Lokasi yang menjadi sasaran pendaratan pasukan gabungan Inggris antara lain kawasan sepanjang pantai Cape Hellas dan An Burnu.
Di sejumlah lokasi pasukan gabungan Inggris yang berhasil mendarat hanya mendapatkan perlawanan ringan.
Tapi di sejumlah tempat lainnya lokasi pendaratan pasukan gabungan Inggris justru menjadi ladang pembantian.
Di pantai An Burnu misalnya, pasukan Inggris yang didominasi ANZAC yang semula berhasil mendarat dan maju ke kawasan berbukit yang dikenal sebagai Chunuk Bair langsung disambut tembakan gencar senapan mesin pasukan Turki yang membangun pertahanan di sepanjang puncak bukit.
Tembakan peluru senapan mesin yang rata-rata akurat dan berasal dari ketinggian langsung membuat pasukan gabungan Inggris kocar-kacir.
Akibat sergapan yang disiapkan pasukan Turki di kawasan Chunuk Bair ini, pasukan ANZAC yang susah-payah bergerak maju kehilangan lebih dari 5000 personel pasukannya.
Kehilangan ribuan pasukan dalam waktu singkat itu langsug menyebabkan daya pukul pasukan Inggris merosot.
Pada tahap serbuan awal itu hampir semua kekuatan pasukan Inggris kehilangan banyak pasukan sehingga butuh dukungan pasukan baru.
Selain jumlah pasukannya merosot, daya gempur pasukan Inggris juga makin melemah akibat ribuan pasukannya dilanda kelelahan.
Pada tanggal 7 Agustus 1915 pasukan Inggris yang sudah lelah bertempur mendapat bantuan baru berupa 20.000 personel pasukan yang masih segar.
Pasukan Gurkha yang sedang menunggu rekannya pun mendapat kekuatan baru, yakni 29th dan 2/10th yang baru tiba dari tugasnya di Perancis.
Setelah mendapat pasokan pasukan yang masih segar itu, Jenderal Hamilton pun melancarkan serangan offensive yang kedua.
Tapi serbuan pasukan Inggris di Gallipoli secara keseluruhan telah mencerminkan keagagalan.
Akibat molornya waktu serbuan selain mengalami kekurangan logistik dan pasukan tempur, pasukan Inggris juga menghadapi musim dingin hebat di Gallipoli.
Musim dingin di Gallipoli yang terus berlangsung hingga bulan November makin bertambah parah hingga memutus jalur suplai logistik kompi-kompi pasukan gabungan Inggris yang lokasinya saling berjauhan.
Akibat keganasan musim dingin, General Winter di Gallipoli sungguh parah karena pasukan gabungan Inggris kehilangan 10 persen kekuatannya.
Pasukan Gurkha yang menjadi andalan Inggris juga turut jadi korban. Sebagai contoh 2/10th Gurkha yang tiba di Gallipoli dan berkekuatan 13 perwira Inggris, 17 perwira Gurkha, dan 734 personel pasukan setelah bertempur selama 6 bulan tinggal memiliki kekuatan satu perwira Inggris dan 79 personel pasukan Gurkha yang terdiri dari beragam pangkat.
Namun kendati telah kehilangan sebagian besar kawannya, pasukan Gurkha tetap menunjukkan ciri khasnya yang seharusnya tidak terjadi di medan perang yang ganas.
Mereka tetap bercanda dengan berbagai lelucon meskipun personel Gurkha yang sedang melucu salah satu kakinya telah membusuk dan harus dipotong akibat frostbite.
Akibat korban yang jatuh dalam kampanye Gallipoli demikian besar, Inggris akhirnya memutuskan untuk mengevakuasi seluruh pasukannya agar tidak mengalami kehancuran (disaster of war).
Kekuatan pasukan Inggris yang tersisa kini tinggal 90.000 personel, 4.500 hewan pembantu perang seperti kuda dan keledai, 1700 kendaraan tempur, dan 200 meriam.
Pasukan gabungan Inggris akhirnya berhasil dievakuasi tapi terpaksa harus menerima kenyataan pahit karena telah dikalahkan oleh musuh yang semula dianggap lemah.
Sementara jumlah pasukan gabungan Inggris yang gugur sangat besar. Pasukan Anglo-ANZAC kehilangan 205.000 prajurit dan Perancis kehilangan 47.000 pasukan.
Sedangkan korban yang diderita oleh Turki juga tak kalah besar, sebanyak 250.000-300.000 pasukannya tewas.