Warganet menyayangkan peristiwa yang menimpa Sartika, karena baru beberapa hari kemudian kondisinya diketahui. Pertanyaan mereka, bagaimana sebenarnya hubungannya dengan teman-teman atau bahkan penghuni kos yang lain?
Kepergian Sartika ini juga disayangkan oleh pemilik akun Facebook, Nestor Rico Tambun.
Nestor menulis, suasana kehidupan di kos saat ini berbeda dengan gaya hidup kos di tahun 1980 atau 1990-an.
“Dulu, hidup satu kos itu seperti keluarga. Saling memperhatikan, saling berbagi makan, merasa senasib, dan saling tolong. Satu orang sakit, bisa-bisa yang antar berobat 5 atau 6 orang,” tulis wartawan senior ini.
Nestor melanjutkan, sekarang ini, gaya hidup di tempat kos, terutama di tempat-tempat kos bagus di kota-kota besar, orang hidup sendiri-sendiri.
“Masing-masing hidup di kamar, berteman dengan gadget dan internetnya. Merasa tidak enak mencampuri urusan, atau mengganggu teman kos lain,” tutur Nestor.
Padahal, dalam opini Nestor, anak-anak muda yang hidup kos di kota, sebenarnya kehilangan sesuatu.
Kehilangan suasana dan perhatian keluarga. Ada rasa sepi, tidak bisa berbicara, atau curhat kepada keluarga.
Karena itu, ketika berada di rantau, sebenarnya justru sangat butuh teman, sahabat, dan lingkungan yang bisa mengisi kekosongan itu.
“Logisnya, teman-teman koslah yang mengisi kekosongan itu,” tulis Nestor.
Selain itu, para orangtua juga harus memperhatikan rumah kos yang dihuni anaknya.
Suasana rumah kosnya seperti apa. Pemilik rumah kos seperti apa. Kira-kira temannya bisa bergaul dengan siapa. Dan lain-lain.
Nestor menilai, orangtua juga sering sama egois. Dia merasa punya uang, mencari tempat kos mahal, fasilitasnya lengkap, agar orang melihat anaknya itu anak orang mampu, tidak butuh orang lain.
“Tanpa sadar, itu sebenarnya menjerumuskan si anak ke kesepian yang dalam, meski hidupnya tampak enak,” tulis Nestor.
Penulis | : | Tjahjo Widyasmoro |
Editor | : | Tjahjo Widyasmoro |
KOMENTAR