Intisari-Online.com – Seorang bapak mengalami kejadian aneh.
Tiba-tiba ia merasa berada di luar tubuh. Dapat melihat orang lain, tapi tak bisa berkomunikasi.
Bahkan melihat diri sendiri yang sedang dioperasi.
Inilah kisah H. Amin Sarwoko yang ditulis sendiri dan disunting oleh Dharnoto.
(Baca juga: Pendonor ASI Ini Memperoleh ‘Pelanggan’ dengan Permintaan Aneh)
Hari esok, siapa bisa tahu? Hanya Allah Swt yang Mahatahu rahasia hari esok. Hari itu, sepulang salat Jumat, saya "bertugas" mengasuh anak bungsu kami, Vierda (5 tahun).
Ibunya pergi belanja untuk hidangan buka puasa sore nanti. Kedua kakaknya sedang main di rumah tetangga. Terpaksa saya ikut main mobil-mobilan berdua dengan si bungsu yang memang manja sekali pada saya.
Datang tamu dari perusahaan asuransi, memang sudah janji. Saya melayani tamu sambil mengawasi Vierda. la tak mau main bersama teman-temannya, maunya hanya sama ayahnya.
la tak tahu, ayahnya sedang membicarakan asuransi beasiswa untuknya setamat SMA kelak. Tiba-tiba ia minta diri, mungkin merasa kurang saya perhatikan.
Ah, biarlah, mungkin ia main bersama anak-anak tetangga lainnya, seperti biasa. Kami malah lebih leluasa bicara soal asuransi tanpa diganggu rengekannya.
(Baca juga: Aneh Sekaligus Lucu, Nama 5 Tempat Ini Benar-benar Sulit Diucapkan. Tak Percaya? Coba Saja Baca)
Sejam kemudian, tamu pulang. Saya mencari Vierda. Rupanya sejak tadi ia tidak bersama teman-temannya. Saya mulai gelisah dan cemas.
Bersama beberapa tetangga, saya menyisir tempat ia biasa bermain. Tak ada. Pencarian tertunda oleh waktu berbuka puasa.
Selesai salat Maghrib, para tetangga berkumpul lagi. Ada yang membawa obor dan lampu senter. Kami menyisir kebun di belakang rumah. Tiba-tiba, seorang tetangga berteriak, "Itu dial"
Astaghfirullah, Vierda kami temukan telah mengambang di empang belakang rumah tetangga sebelah. Ketika menggendong jenazahnya pulang, saya hanya bisa pasrah.
Apa yang saya rundingkan dengan tamu selama sejam tadi sia-sia. Anak kesayangan saya yang akan diasuransikan sudah dipanggil Sang Khalik.
(Baca juga: Ingin Penerbangan Lebih Nyaman? Ketahuilah 7 ‘Keanehan’ yang Terjadi di Dalam Pesawat Ini!)
Setiap makhluk pasti akan menemui ajal, menurut "janji"-Nya, tak bisa ditunda atau dipercepat.
Berhaji dengan syarat
Sejak 1980-an, dalam usia 45, saya terkadang menderita sesak napas. Tidak dianggap serius, karena hanya sebentar dan tidak mengganggu kegiatan sehari-hari. Tapi, ia kambuh bila ada pemicu, misal telat makan, panas terik, dingin sekali, atau kelelahan.
Makin lama makin sering kambuh. Tahun 1991, frekuensinya makin sering. Jika dulu hanya lima menit, sekarang setiap kambuh memakan 30 menit.
Dokter yang merawat saya di RS Charitas, Palembang, dan RS Cikini, Jakarta, sama menyarankan agar saya menjalani operasi jantung. Padahal, kami telah mendaftar pergi haji tahun 1992.
Karena sedang bertugas di Jakarta, saya minta pertimbangan keluarga. Kedua anak saya menyarankan, agar sebelum operasi berobat dulu ke "orang pintar" yang banyak buka praktik di Jakarta.
Sedang teman-teman sekantor usul, pergi haji dulu baru operasi. Istri saya dan para tetangga berpendapat sama dengan teman kantor. Siapa tahu, kalau operasi kurang sukses, niat naik haji telah kesampaian. Tentu yang diharapkan keduanya berjalan sukses.
Tahun 1992, saya dan istri berangkat haji. Memang ada hambatan, soal sesak napas itu. Padahal, sewaktu periksa kesehatan di Palembang, semuanya bagus. Kenyataannya, setiap berjalan 20 menit, harus istirahat.
Dari pintu bandara Halim Perdanakusumah sampai ke pesawat, dua kali saya menggeh- menggeh (terengah-terengah) paling tidak 10 menit.
Memang, ketika diperiksa di asrama haji Pondok Gede, dokter menganjurkan ditunda saja. Tapi istri "berjuang", menghadap ke sana menghadap kemari. Akhirnya berbuah hasil.
Saya disetujui berangkat dengan syarat, saat Tawaf dan Sa'i harus ditandu dan didorong di atas kursi roda. Waktu melempar Jumroh pun kudu mengupah orang.
Alhamdulillah, saya pulang selamat dengan menyelesaikan rukun haji beserta semua fardhunya. Hanya ketika Sa'i dan Tawaf, dua kali saya harus ditandu.
Selebihnya dikerjakan sendiri, dikawal istri. Melontar Jamarat hanya waktu pertama tanggal 10 Dzulhijjah, dan hanya melempar satu Jumrah.
Keluar tubuh
Tibalah saat yang mendebarkan itu. Tanggal 15 Agustus 1993, saya memasuki halaman Rumah Sakit Jantung Harapan Kita Jakarta.
Dengan hanya ditemani istri, karena kedua anak saya tak bisa meninggalkan kantor, saya coba memberanikan diri untuk menjalani operasi bedah jantung.
Dalam rangkaian operasi jantung itu, tiga kali lagi saya menjalani operasi. Pertama, pencabutan gigi, kalau bisa dikatakan operasi. Ada gigi yang harus dicabut, karena gigi yang tak sehat membawa virus, dan bisa menghambat operasi jantung.
Operasi kedua, kateterisasi. Di selangkangan sebelah kanan, mungkin dicari urat nadinya, laIu diiris dan dimasuki sesuatu, yang sepertinya mengalir terus masuk ke jantung.
Di layar monitor terlihat alat menyerupai lidi, yang dapat dikemudikan dari tempat masuknya, bergerak-gerak seperti mencari sesuatu.
Mungkin sudah mengetahui bagian yang sakit di jantung saya, dokter menunjuk, "Oh, ini." Saya hanya bisa melihat ke layar, tanpa mengerti apa yang ia maksud dengan 'ini'.
Setelah menjalani pemeriksaan kondisi kesehatan terakhir, empat hari kemudian, 19 Agustus 1993, saya berbaring di atas brankar, didorong istri menuju kamar operasi.
Selesai saya berganti pakaian, dokter anestesi menyapa, "Bapak akan saya suntik, ya." Istri saya mengatakan, "Selamat, Pa", maksudnya mau meraih dan menggenggam tangan saya, tapi jarum suntik sudah keburu dihunjam ke lengan kanan atas saya.
Baru mengucap, "Al ..." saya sudah tak merasakan apa-apa lagi. Sudah dibius total.
Entah beberapa lama berselang, tiba-tiba saya seolah terjaga, tapi merasa ada di luar tubuh. Saya melihat badan saya dikerubungi beberapa orang berpakaian biru muda, sama seperti pakaian saya.
Namun mereka memakai masker penutup mulut.
Agak di atas kepala sebelah kanan, berdiri wanita dokter yang tadi menyuntik saya. Di sebelahnya adalah Dr. Hafiz Ruslan, yang kemarin memperkenalkan diri pada saya sebagai pimpinan operasi terhadap saya saat ini.
Dua orang di kanan saya, dua orang di kiri, sedang yang di bawah dekat kaki bertugas menyiapkan dan menyusun alat-alat yang akan digunakan dalam operasi.
Apakah mereka itu semuanya dokter, saya tak tahu.
"Melihat" operasi
Kemudian saya melihat, bagian tengah dada saya ditoreh seperti digaris, dari bawah tulang dada paling atas, terus ke bawah sampai penghabisan tulang dada. Kira-kira 15 cm. Darah merembes ke luar.
Setelah terkelupas, tulang dada saya digergaji. Kadang-kadang dipukul pakai martil kecil. Setelah tulang dada terbuka, isi dada diangkat, bongkah jantung saya hati-hati dikeluarkan. Oh, dari situ saya takut melihat lagi.
Saya mengalihkan pandangan ke luar ruangan. Rupanya banyak juga orang yang menyaksikan jalannya operasi. Memang bukan hanya saya yang menjalani operasi dalam waktu bersamaan.
Ruangan itu saya lihat sepertinya ramai, tapi dalam diam. Tak ada suara, meski saya melihat orang bicara dan bergerak.
Di salah satu sudut saya melihat kedua anak kami, istri, dan beberapa keponakan yang tinggal di Jakarta, serta beberapa orang yang khusus datang dari Palembang ingin menyaksikan operasi jantung.
Saya tak tahu persis berapa lama operasi berjalan. Saya tersadar ketika ada suara memanggil, "Tuan Amin, angkat tangan kanan, tinggi-tinggi, turunkan ke arah kepala. Angkat lagi, turunkan ke arah samping badan. Terus bergantian tangan kanan dan kiri. Kemudian kaki ke atas, bergantian kanan dan kiri."
Kira-kira 20 menit berlalu. Lalu suara itu terdengar lagi, "Selang yang di perut akan saya cabut." Setelah itu, selang yang di hidung dicabut pula. Kemudian saya disuruh tidur lagi. Sudah tak ada bantuan pernapasan ataupun makanan lewat selang.
Agaknya, itu terjadi keesokan sorenya. Istri saya menyampaikan, salah seorang cucu kami dari keponakan bilang, ketika akan dipindahkan ke ruangan lain sesaat setelah operasi selesai, saya melambaikan tangan ke arahnya.
Saya heran, saya tak merasa melakukan hal itu. Malah saya tak ingat apa pun yang terjadi saat itu. Setelah melakukan senam ringan seperti diperintahkan tadi, saya lalu tertidur lagi.
Kira-kira pukul 20.00, saya sudah berada di lain ruangan. Di atas dada saya ada meja kecil yang biasa digunakan untuk orang sakit.
Di atasnya, di dalam baki ada sepiring bubur yang harus saya makan sambil berbaring. Memang saya belum bisa bangun.
Rapat jantung
Waktu itu, hari Selasa, pukul 15.00, saya sudah berada di ruang perawatan, dan sudah mulai bisa makan. Beberapa dokter datang sekaligus untuk memeriksa saya. Antara lain dr. Kaligis yang merawat saya sehari-hari, dr. Munawar ahli kateterisasi, serta beberapa dokter pelaksana operasi yang lalu.
Mereka berkumpul memeriksa; sepertinya ada yang kurang memuaskan. Langsung diadakan rapat kilat di hadapan saya.
Ada sedikit silang pendapat. Tapi akhirnya, kesimpulan rapat, saya harus dipasangi alat pacu jantung, karena detak jantung saya sangat lemah. Itu berarti, saya harus dioperasi lagi. Letaknya di dada sebelah kanan atas di bawah kulit.
Tak semua orang harus menjalani operasi Permanent Pace Maker (PPM atau Pacu Jantung Permanen), kecuali yang detak jantungnya lemah seperti saya.
Sungguh, ini suatu pengalaman yang tak dapat diverifikasi: melihat tubuh sendiri sedang dioperasi. Seperti mimpi. Saya benar-benar melihat tulang dada saya digergaji. Lalu dikembalikan pada posisi semula, tulang dada diikat dengan kawat, sehingga tampak seperti sebelum digergaji. Barulah dibungkus kulit kembali, lalu dijahit.
Akibat rokok
Ah, seandainya hidup boleh diulang, ketika mulai sakit sesak napas tahun 1972, peringatan dokter "jangan merokok lagi" pasti akan saya taati.
Mungkin saya tak akan mengalami seperti sekarang ini, harus operasi jantung, Tidak pula harus mengganti salah satu katup jantung. Tidak usah menghindari pintu dengan alat detektor, karena menggunakan PPM di dada.
Dulu, setiap dokter spesialis penyakit jantung yang pernah memeriksa selalu menasihati saya untuk meninggalkan kebiasaan merokok.
Terakhir adalah dr. Aulia Syawal, spesialis jantung dan pembuluh darah dari RS Charitas, Palembang, yang dengan nada agak keras meyakinkan saya, "Kalau lapar pasti mencari makan agar kenyang, orang haus mencari minum agar hilang dahaga, tapi kalau merokok apa yang bisa diperoleh?!"
Berkat nasihat itu, saya langsung berhenti. Tapi sudah terlanjur sakit. Itu terjadi tahun 1992, sudah terlambat 20 tahun.
Sebelumnya, saya memang tak tahu diri, rokok putih saya habiskan tiga bungkus sehari. Bahkan rokok kemenyan pun saya isap, termasuk rokok kretek.
Sampai teman-teman menjuluki saya "ahli merokok". Sayang, semuanya sudah terlambat. Sampai klep jantung saya rusak, harus diganti dengan biofrotes, yang tinggal hanyalah penyesalan.
Untunglah, istri saya adalah orang terdekat yang terus setia mendampingi, selama menghadapi operasi yang - semoga – takkan pernah saya jalani lagi. la tak pernah mengeluh sedikit pun.
Kalaulah saya harus mendahuluinya memenuhi "janji" pada Sang Pencipta, saya merasa bersyukur mendapatkan jodoh seperti istri saya itu.
Janji istri
Saya tak tahu, apa ada kaitan penyakit jantung dengan penyakit kencing manis (diabetes). Pada kontrol yang kedua kali setelah empat bulan menjalani operasi, ketahuanlah saya mengidap sakit diabetes.
Kadar gula darah mencapai 130 sebelum makan, menyebabkan saya harus meminum dua macam obat, degoksin untuk jantung dan diamicron untuk kencing manis.
Ternyata gula darah terus menaik, pernah mencapai 596, dan terpaksa dirawat di RS Muhammad Husen, Palembang.
Sejak tahun 1995, setahun sekali saya melakukan kontrol di RS Harapan Kita. Selain kontrol ke Jakarta, saya pun minum jejamuan, buatan sendiri atas petunjuk orang-orang tua.
Menurut mereka, untuk melawan kencing manis sebaiknya minum yang pahit-pahit. Seperti rebusan daun pepaya, rebusan batang brotowali, rebusan daun mindi, dan perasan daun sambiloto.
Kalau rajin minum ramuan itu, kata orang diabetes akan bisa berkurang. Siapakah yang rajin meramu jejamuan itu?
Tak lain adalah istri saya, Sunarti. Dia tak pernah mengesampingkan tugas sebagai pendamping suami. Padahai, empat tahun memasuki masa pensiun ia berkuliah lagi mengambil S2 di suatu universitas swasta di Palembang.
Kalau ditanya, ia bilang untuk memotivasi anak dan cucu agar rajin bersekolah. Nah, sore itu, di tengah kesibukannya mempersiapkan ujian tesis dua hari lagi, ia sempatkan mencari batang brotowali untuk ramuan jamu saya.
Memang sudah beberapa hari ini kami kehabisan. la mencari hingga ke kebun sekolah tempatnya mengajar, sekitar 3 km dari rumah. Setelah itu ia rebus, sambil memasak untuk makan malam.
Sekitar pukul 22.00, ia mengerik badannya sendiri. Melihat itu, tanpa diminta, saya lalu menggosoki badannya dengan minyak angin. Ketika saya pamit tidur, ia minta agar televisi jangan dimatikan, karena masih akan menonton sambil membaca-baca.
Pukul 23.00, ia menyusul ke tempat tidur. Begitu membaringkan diri, dia membangunkan saya, minta diambilkan minum. Ini di luar kebiasaan. Padahal itu bisa dilakukannya sendiri sebelum masuk kamar.
Sambil mengomel, saya bangkit keluar kamar, mengambilkan apa yang dimintanya. Lima menit kemudian saya kembali ke kamar. Ternyata ia sudah tidur. Saya agak kesal.
Saya coba membangunkan agar ia minum, tapi masya Allah, ia tak bereaksi. Saya guncang-guncang, ia tak juga bangun.
Air saya letakkan di bufet, lalu saya menelepon kedua anak kami, memberi tahu keadaan ibunya. Di rumah tak ada orang lain selain kami berdua.
Selesai menelepon, saya masih berusaha mengguncang badannya, dan mendengarkan napasnya. Sepertinya masih terasa denyut nadinya.
Sementara itu, tetangga mulai berdatangan. Setelah anak menantu saya datang, ia langsung membopong ibunya ke mobil dengan bantuan tetangga, secepatnya dilarikan ke RS Pertamina Plaju.
Saya sendiri seperti orang linglung, menerima kedatangan para tetangga masih dalam perasaan tak percaya bahwa istri sudah meninggal dunia.
Menanti janji
Hari-hari berikutnya, saya sendirian di rumah. Ada rasa sesal, berpuluh tahun istri melayani saya tanpa mengeluh, di saat menjelang akhir hidupnya ia minta tolong saya mengambilkan air minum saja, saya sudah mengomel.
Soal "janji" dan hari esok, sungguh kuasa Allah. Saya yang menderita sakit begini, dengan jantung dipasangi alat, justru belum kunjung "dipanggil".
Sedang si bungsu Vierda dan istriku, tanpa sakit sedikit pun, telah tiba pada "janji" mereka.
Ditemani kedua orang anak perempuan kami, beserta suami mereka, dan lima orang cucu, dari hari ke hari, saya menanti "janji" yang telah Allah tetapkan untuk saya.
Kelak, jika tiba, mudah-mudahan saya dipertemukan lagi dengan istri dan anak bungsu saya. Tapi, hari esok, siapa tahu?
(Seperti dimuat dalam Majalah Kisah Vol. 1– Intisari )