Tersebarnya informasi di dunia maya, sebenarnya juga dipengaruhi oleh kenyataan yang terjadi pada masyarakat.
Kondisinya, kata Tan, masyarakat Indonesia juga belum cukup terlatih untuk memilih layanan kesehatan yang tepat. Bahkan masih banyak orang yang mempercayai pengobat yang tidak berstatus tenaga kesehatan.
Sekarang ini, banyak orang yang mengaku sebagai ahli obat, dokter, bahkan ada yang mengaku gelar doktor dengan iming-iming kesembuhan.
Padahal untuk dapat melakukan perawatan/pengobatan/penanganan bagi seorang pasien itu hanya boleh ditangani oleh tenaga kesehatan yang resmi. Jika tidak, tindakan pengobatan itu adalah tindakan ilegal.
Untuk dokter misalnya, percayailah dokter yang sudah memiliki Surat Izin Praktik (SIP), biasanya berbentuk sertifikat yang digantung di ruangan dokter. Surat tersebut adalah syarat yang sah dari Kemenkes RI bagi dokter untuk berpraktik.
Termasuk pula untuk layanan tradisional, harus memiliki Surat Terdaftar Pengobat Tradisional (STPT) dan tertulis pula jelas jenis layanannya.
“Misalnya tertulis pelayanan bekam, jika ia kemudian membuat obat-obatan herbal tanpa ada surat terdaftar mengenai obat herbal, maka itu ilegal,” jelas Tan.
Contoh lainnya, pengobat tersebut melayani akupuntur, kemudian ia juga turut menyediakan layanan bekam tanpa surat, itu juga termasuk pengobatan ilegal.
Mempercayai layanan-layanan yang tidak terpercaya itu, sama saja membayahakan kesehatan.
Coba bayangkan bagaimana jadinya ditangani oleh seseorang yang tidak kompeten. Kesehatan bahkan nyawa yang jadi taruhannya.
Masalahnya untuk pengobat alternatif/tradisional yang abal-abal, menurut Kepala Biro Komunikasi dan Pelayanan Masyarakat Kementerian Kesehatan Republik Indonesia (Kemenkes RI), drg. Oscar Primadi, MPH, gerakannya memang cukup gencar.
Tidak saja lewat media sosial, media mainstream seperti televisi pun digunakan untuk promosi. Lihat saja iklan-iklan klinik pengobatan di beberapa stasiun TV tertentu. Hal tersebut sebenarnya cukup meresahkan.
Penulis | : | Ade Sulaeman |
Editor | : | Ade Sulaeman |
KOMENTAR