Intisari-online.com--Berita-berita bohong soal kesehatan memang cenderung diteruskan oleh masyarakat melalui media sosial, jejaring sosial, bahkan dari mulut ke mulut.
Hal ini disebabkan oleh minimnya pengetahuan masyarakat mengenai informasi yang benar.
“Kesehatan itu berhubungan dengan hajat hidup orang banyak dan dianggap sangat penting oleh masyarakat,” kata Kepala Biro Komunikasi dan Pelayanan Masyarakat Kementerian Kesehatan Republik Indonesia (Kemenkes RI), drg. Oscar Primadi, MPH.
Dan tidak dipungkiri, sebut Oscar, masyarakat tampaknya memang sudah terbiasa dengan informasi rumor yang tak jelas sumber dan kebenarannya.
Sehingga pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab, demi kepentingannya, memanfaatkan hal tersebut.
(Baca juga: Catat! Inilah 9 Aktivitas di Media Sosial yang Diharamkan oleh MUI, Salah Satunya Penyebar Hoax)
Sulit untuk mencari asal usul dari informasi tersebut. Walaupun dilakukan pelacakan, nihil hasilnya.
Namun sudah pasti, pelakunya memiliki kepentingan sendiri dengan menyebarkan informasi abal-abal itu.
Diakui Oscar memang ada kelompok-kelompok tertentu yang tidak senang dengan info kesehatan yang benar.
“Contohnya kelompok antivaksin saat program vaksinasi digaungkan pemerintah, biasanya akan bergerak dengan isu halal-haram, bahkan isu-isu yang menghebohkan untuk menggangu pelaksanan program,” cerita Oscar.
Merangsang emosi
(Baca juga: Ingat! Selalu Lakukan 5 Langkah Ini Agar Tak Tertipu Berita Hoax saat Ada Serangan Teror)
Masyarakat sebetulnya tidak bisa disalahkan sepenuhnya. Sebab kadang-kadang saat menyebarkan hoax kesehatan itu didasarkan oleh ”ilmu perasaan” saja.
Karena informasi tersebut dianggap tidak salah dan rasanya bisa diterima logika, ya disebarkan saja. Toh, tidak ada ruginya.
Apalagi ia juga merasa bukan dia yang membuat pesan itu, perannya kan menyebarkannya saja.
Mengapa bisa percaya begitu saja terhadap berita bohong seputar kesehatan?
Karena pesan itu dianggap krusial.
(Baca juga: Alih-alih Jadi Media Penyebar Hoax, WeChat Justru Jadi Aplikasi Super All In One)
Serupa dengan breaking news yang melibatkan para selebritas misalnya. Orang yang membacanya biasanya mengalami efek “wow!”.
Kemudian, informasi yang disebarkan itu terlihat bisa dipercaya.
Apalagi disertai klaim dari rumah sakit yang memiliki reputasi besar, dokter terkenal, lembaga kesehatan yang dipercaya.
Walaupun kebanyakan pada akhirnya semua itu terbukti fiktif.
Masyarakat juga paling mudah cemas dan panik jika berkaitan dengan sakit penyakit.
Itulah sebabnya informasi yang berisi warning, terlihat benar dan layak untuk disebarkan.
Kemudian, setelah membaca berita tersebut, seperti yang ditulis Kathleen Doheny pada artikel Emailed Health Warnings: Hoax or Fact pada webmd.com, seringkali ada reaksi spontan untuk menyebarkan/membaginya kepada orang lain.
Apalagi biasanya hoax kesehatan itu dibumbui dengan kesaksian pribadi seseorang, yang membangkitkan emosi saat dibaca.
Misalnya simpati, empati, rasa takut, bahkan juga kemarahan.
Pesan-pesan seperti “bagikanlah pada orang yang Anda cintai.”, “Jangan berhenti pada Anda, sebarkan agar orang lain juga mengalaminya.”, “Jangan tunda untuk membagi kebaikan.” “Informasi yang selama ini disembunyikan dokter dari kita.”, dsb.
Pesan ini merangsang emosi, sehingga orang cenderung bereaksi dengan cepat.
Kadang-kadang, keinginan untuk menyebarkan berita itu adalah niat yang tulus untuk membantu. Sayangnya berita yang disebar adalah kebohongan. Mirisnya di situ.
Menurut Oscar, solusi utama untuk mengatasi informasi salah kaprah ini adalah dengan memperkuat ketahahan masyarakat.
Karena itu perlu dilakukan edukasi terus-menerus.
“Sejujurnya ini tidak mudah, mengingat informasi dan media penyebar informasi tersebut sangat jamak,” lanjutnya.
Karena itu, Kemenkes RI juga giat melakukan klarifikasi-klarifikasi terhadap berita bohong yang menghebohkan masyarakat banyak.