Advertorial
Intisari-Online.com – Dentuman meriamnya pernah berkumandang di seluruh Asia. Simak tulisan Nugroho Notosusanto, Mengunjungi Kapal Tempur Mikasa berikut ini yang pernah dimuat di Majalah Intisari edisi Februari 1976.
Kiranya dua tokoh utama Angkatan Laut dalam sejarah Jepang adalah Laksamana Heihachiro Togo, pahlawan Perang Jepang Rusia (1904 - 1905) dan Laksamana Isoroku Yamamoto, pahlawan Perang Dunia II.
Tetapi, jika Laksamana Togo membawa kemenangan bagi bangsanya dan memperoleh respek sebagian besar negara di Dunia, khususnya di Asia, maka Laksamana Yamamoto gugur dalam suatu perang agresif yang tenggelam dalam suatu kekalahan total dan dikutuk oleh sebagian besar Dunia, terutama negara-negara Asia.
Laksamana Togo adalah tokoh yang dikenal oleh generasi 20-an di Indonesia yang mengalami Perang Jepang-Rusia itu, suatu generasi yang dibesarkan dalam derap-langkah Pergerakan Nasional, yang merasa memperoleh inspirasi dari kemenangan yahg dicapai oleh Jepang sebagai sesama bangsa Asia melawan salah satu raksasa di Dunia Barat, yakni Rusia (yang waktu itu masih di bawah pemerintahari Tsar).
Baca Juga : Cerita Heroik Bapak TNI AU yang ketika Masih Jadi Tentara Belanda Pernah Menenggelamkan Kapal Perang Jepang
Berkata salah seorang pemimpin Indonesia: "Dentuman-dentuman meriam kapal Mikasa di Selat Tsusyima berkumandang di seluruh Asia!"
Dalam kesempatan singgah di Tokyo dalam bulan September yang lalu, saya berhasil melaksanakan hasrat sejak lama, yakni mengunjungi kapal tempur Mikasa, kapal bendera Laksamana Togo yang pernah berlayar dari kemenangan ke kemenangan pada awal abad kita lebih dari tujuh puluh tahun yang lalu, suatu kapal yang pernah memenuhi fantasi saya semasa kecil.
Kapal itu sejak tahun 1926 telah di-"awet"kan sebagai museum atau memorial ship di kota pelabuhan Yokosuka, dekat muara Teluk Tokyo. Setelah berakhirnya Perang Dunia II, kapal itu dilucuti oleh tentara pendudukan Amerika Serikat, dan baru pada tahun 1961 selesai dipugar kembali.
Setelah perjalanan 2 jam naik mobil dari Tokyo dengan diantar oleh Kolonel Agus Subroto, Ketua Atase Pertahanan kita serta Ny. Shiraishi dari Universitas Tokyo yang bertindak sebagai penghubung dan jurubahasa, tibalah saya ke depan kapal museum yang mashur itu.
Baca Juga : John F. Kennedy, Pahlawan Perang yang Nyaris Tewas di Lautan Setelah Dihantam Kapal Perang Jepang
Sebentar ada rasa terkejut dalam hati saya menatap kapal tempur tua yang membujur di tepi teluk itu. Saya terlalu terbiasa melihat kapal tempur jaman Perang Dunia II. Alangkah kecilnya kapal tempur jaman sebelum Perang Dunia pertama, pikir saya.
Dalam angan-angan masa kecil saya, kapal itu tergambar sebagai kapal yang besar dan megah dengan bangun atas yang masif, ternyata nampak begitu rapuh dan kurus!
Namun bersamaan dengan itu ada suatu keharuan menyelinap ke dalam kalbu ketika pandangan saya menangkap patung LaksamanaTogo di pelataran di depan kapal. Dengan tegak dan memegang pedang dengan tangan kiri dan memegang teropong dengan tangan kanan, Laksamana Togo berdiri pada pedestal seolah-olah memandang kepada kapal-benderanya.
Dengan sikap demikianlah Laksamana Togo selalu saya gambarkan ketika saya masih menjadi pelajar SMP di bawah kekuasaan asing dan bercita-cita untuk sekali menjadi seorang laksamana Indonesia Merdeka yang mengawal tanah air di samudra!
Mungkin karena masa hidupnya lebih dekat ke jaman kita, saya lebih mudah menggambarkan kepribadian Laksamana Togo daripada pahlawan-pahlawan laut lain yang saya kagumi seperti Michiel Adriaanszoon de Ruyter dan Horatio Nelson yang berasal dari abad dan benua yang terlalu jauh.
Pertempuran Tsusyima
Kisah Pertempuran Tsusyima merupakan salah satu kisah sejarah perang yang paling saya ingat. Pertempuran yang di Jepang sendiri dikenal dengan sebutan Nihonkai Kaisen (Pertempuran Laut Jepang) itu berlangsung pada tanggal 27 Mei 1905 di sebelah timur gugus pulau Tsusyima yang terletak antara Jepang dan Korea.
Lawannya adalah Armada Baltik milik Kemaharajaan Rusia yang berlayar jauh-jauh dari Eropa mengarungi tiga samudra di bawah pimpinan Laksamana Rozhdestvensky hanya untuk mengalami kehancuran total di kawasan Asia. Hanya dua kapalnya yang selamat dari penenggelaman atau penawanan.
Kemenangan yang dicapai oleh Laksamana Togo di Selat Tsusyima itu disebutkan sebagai salah satu kemenangan di laut yang terbesar dalam sejarah, pertempuran laut yang paling menentukan sejak Pertempuran Trafalgar seratus tahun sebelumnya yang menghasilkan pahlawan Nelson.
Mendahului Pertempuran Tsusyima itu, pada bulan Agustus 1904, pada awal Perang Jepang- Rusia yang sama, Laksamana Togo di atas kapal termpur Mikasa telah berhasil mengalahkan sebuah armada Rusia yang lain di depan Port Arthur.
Armada lawan yang berusaha memutuskan garis komunikasi antara Jepang dan daratan Asia itu, berhasil dicerai-beraikan.
Kapal tempur MIKASA
Baca Juga : Kisah-kisah di Sekitar Peredaran Uang Rupiah Pengganti Uang Jepang
Setelah naik tangga kapal dan tiba di geladak, kami disambut oleh Laksamana Muda (pensiun) Nobuo Fukuchi, komandan kapal-museum Mikasa.
Kami dibawa ke kamar tamunya yang sempit (ukuran 3 x 4 meter) di bawah geladak dan di sana sambil minum teh panas dalam hawa yang panas, kami diberi briefing mengenai riwayat kapal Mikasa ketika masih berlayar, maupun setelah menjadi museum.
Amat menarik, bahwa Mikasa dibuat di negeri Inggris (oleh Vickers Sons & Maxim Co.) sebagai Steel Ship No.4 mulai bulan September 1899 dan diserahkan pada bulan Maret 1902 untuk menjadi kapal bendera Laksamana Muda Hidaka, pada waktu itu Panglima Armada Tetap.
Pada tahun berikutnya Mikasa menjadi kapal-bendera Laksamana Muda Togo, Panglima Armada Gabungan. Pada tahun 1904 Perang Jepang-Rusia pecah dan Mikasa dikirimkan untuk tugas di daerah Port Arthur.
Baca Juga : 'Karang Bunuh Diri', Tempat Ribuan Tentara Jepang Bunuh Diri karena Malu Setelah Kalah Perang
Pada bulan Agustus menyergap Armada Timur Jauh milik Rusia di Laut Kuning dan berhasil menimbulkan kerugian besar pada musuh. Mikasa sendiri bukannya tidak menderita kerusakan.
la terkena 20 tembakan meriam musuh yang menewaskan banyak awaknya termasuk komandannya. Dan akhirnya pada tanggal 27 Mei 1905 memenangkan Pertempuran Tsusyima.
Kapal yang keluar dengan selamat dan sebagai pemenang dari kedua pertempuran dahsyat itu, tenggelam pada bulan September 1905 di pelabuhan Angkatan Laut Sasebo karena kecelakaan, yakni karena meledaknya magasen.
Setelah berhasil diperbaiki, pada bulan April 1908 bertugas kembali sebagai kapal-bendera Armada Pertama. Pada bulan September 1923, di-"pensiun" dan tiga tahun kemudian dijadikan kapal-museum.
Baca Juga : Melihat Gua Jepang di Biak yang Sisa-sisa Tulang Tentara Jepang Masih Ada
Sehabis perang dilucuti meriam-meriamnya oleh Tentara Pendudukan Amerika Serikat dan kemudian terlantar; suasana Jepang sebagai negara yang kalah perang tidak subur bagi pemeliharaan kapal perang sebagai kenangan sejarah.
Baru pada tahun 1959 dilakukan usaha pemugaran yang selesai pada tahun 1961. Adapun ciri-ciri Mikasa ketika dibuat adalah: displacement 15.140 ton, panjang 131,67 meter, lebar 23,22 meter, persenjataan utama meriam 30 cm – 4, sekunder meriam 15 cm – 14, bantuan meriam 8 cm – 20, tabung torpedomeriam 45 cm – 4, kekuatan 15.000 HP, kecepatan 18 knot, panser sisi tebal 222cm, panser kubah tebal 345 cm, panser menara kemudi tebal 345 cm.
Isi Museum
Selesai briefing, kami diantarkan berkeliling kapal. Pertama kali kami dibawa ke kamar tidur Laksamana Togo. Nampak ranjangnya kecil dan sederhana; di sampingnya terdapat kamar mandi yang sempit.
Kemudian kami menuju ke ruang-kerja. Laksamana Togo yang agak luas (kira-kira 4 x 10 meter2). Di sanalah Laksamana menyampaikan perintah dan instruksinya kepada para komandan bawahannya, mengadakan rapat, menerima tamu-tamu resmi dari dalam dan luar' negeri dan tempat beliau bersantap bersama staf, komandan-bawahan maupun tamu-tamu resminya.
Masih ada pula kamar dudukLaksamana tempat beliau membaca. Dalam ruangan ini tergantung foto-kenangan mengenai upacara peresmian kapal Mikasa sebagai kapal museum yang dihadiri oleh Kaisar Hirohito (yang pada waktu itu masih putra mahkota) serta Laksamana Besar Togo pada tahun 1926.
Foto itu adalah hadiah dari Kaisar berkenaan dengan selesainya pemugaran Mikasa pada tahun 1961.
Pusat daripada museum adalah ruang pameran yang semula adalah lubang menuju ke mesin. Di dalam ruangan ini diperlihatkan lukisan Shotaro Tojo mengenai Pertempuran Tsusyima, bendera pertempuran dan bendera isyarat "Z" yang dipergunakan di dalam pertempuran itu serta pelbagai relik dari Laksamana Togo (rambutnya, curriculum vitae Laksamana dalam tulisan tangannya, buku harian dan buku catatan serta teropong), seragam yang dipergunakan oleh Pangeran Fushimi, salah seorang perwira pada waktu luka parah dalam pertempuran Laut Kuning tanggal 10 Agustus 1904.
Baca Juga : Pembantaian Nanking: 'Neraka' Sementara Buatan Tentara Jepang di China
Yang paling menarik adalah suatu maket Pertempuran Tsusyima yang menunjukkan gerakan kedua armada yang berlawanan itu. Kapal-kapalan kecil di permukaan maket (yang menggambarkan laut) digerakkan oleh rantai di bawahnya.
Kedua armada itu berjumpa dalam suatu konfigurasi yang dikenal dengan sebutan crossing theT yang berupa gerakan musuh yang secara kurang lebih tegak-lurus menuju kepada formasi bersaf pihak kawan, sehingga ia dapat ditembaki secara terpusat.
Dengan menekan knop, pengunjung dapat mengetahui kapal-kapal mana yang tenggelam, rusak atau ditawan, yang ditunjukkan oleh lampu-lampu kecil berwarna beraneka ragam.
Kami kemudian diajak ke atas. Dalam perjalanan itu saya tertarik oleh gambaran-gambaran dengan cat coklat-merah pada dinding-dinding kapal.
Baca Juga : Kisah Warga Negara Belanda yang Menjadi Jugun Ianfu Bagi Tentara Jepang di Indonesia
Gambaran-gambaran itu menunjukkan di mana pernah terdapat lubang kerusakan karena tembakan meriam musuh. Dari gambaran-gambaran itu dapat saya bayangkan luka-luka parah menganga yang pernah diderita oleh kapal itu, suatu cara yang impresif ,dan expresif untuk menunjukkan jasa-jasa dan kepahlawanan suatu kapal.
Jika ruang pameran merupakan pusat daripada museum, maka jantung daripada kapal museum itu adalah anjungan (bridge). Dari sanalah Laksamana ogo memimpin seluruh armadanya setelah mengibarkan bendera-isyaratnya (bendera "Z"):
"Tegak-jatuhnya Kemaharajaan tergantung kepada pertempuran ini. Setiap orang harus melaksanakan kewajiban sampai batas kemampuannya.”
Sebuah relief perunggu tergantung di tempat itu yang menggambarkan situasi pada sore hari tanggal 27 Mei 1905, ketika Laksamana Togo berdiri di anjungan dikelilingi oleh stafnya.
Pada saat itu seorang perwira staf mendesak kepada Laksamana Togo supaya beliau masuk ke menara-kemudi yang terlindung oleh panser tebal. Jawab Laksamana: “Saya sudah tua. Kamulah orang-orang muda yang harus masuk ke sana, masa depan Kemaharajaan terletak di pundakmu!"
Maka akhirnya Laksamana memimpin seluruh pertempuran dari anjungan, di mana beliau dapat memandang berkeliling secara lepas-bebas. Pemandangan dari atas anjungan itulah yang paling terkenang oleh saya sepulang dari sana.
Tatkala berdiri di sana tertiup oleh angin kencang Samudra ditimpa terik matahari, tepat pada waktu pertempuran yang mashur itu berkobar pada sore hari tujuh puluh tahun yang lalu tergambar oleh saya iring-iringan Kapal armada Laksamana Togo yang sekonyong-konyong berjumpa dengan armada Laksamana Rozhdestvehsky.
Maka bergelegarlah meriam-meriam di sekeliling saya menyebarkan maut dan kehancuran. Kami selama beberapa menit terdiam di atas anjungan, yang rasanya seperti berjam-jam.
Dengan susah-payah akhirnya saya merenggutkan diri dari sejarah.