Intisari-Online.com – Bagi turis dari luar Jepang pulau tersebut mungkin tidak berarti apa-apa. Namun, bagi orang Jepang, Pulau Saipan merupakan tempat berziarah.
Seperti digambarkan oleh Lutz Bindernagel dalam artikel berjudul Ke Pulau Saipan untuk Mencari Tulang yang pernah dimuat di Majalah Intisari edisi Oktober 1986.
--
Puluhan ribu orang Jepang menceburkan diri ke laut, ketika tentara Sekutu menyerbu pada akhir Perang Dunia II. Bahkan ada yang khusus ke sana untuk mengumpulkan tulang belulang.
Baca Juga : Melihat Gua Jepang di Biak yang Sisa-sisa Tulang Tentara Jepang Masih Ada
Bukit itu terjal dan dipenuhi semak-semak yang rapat. Tiga puluh pria mendakinya dengan susah payah. Peluh bercucuran dan napas mereka terengah-engah. Kelompok yang berjalan di panas matahari tropis yang lembap itu rupanya sedang mencari tulang belulang manusia.
Pria-pria itu berasal dari Jepang dan sebagian besar dari mereka kehilangan ayah, paman, saudara laki-laki, atau teman dalam Perang Dunia II di situ, yakni di Pulau Saipan, salah satu pulau dari gugusan Kepulauan Mariana.
Pengumpulan tulang belulang itu dianggap sebagai semacam kewajiban suci. Soalnya, orang percaya, begitu mereka memperabukan tulang belulang itu, maka arwah dari mereka-mereka yang meninggal empat puluh tahun yang lalu itu akan memperoleh kedamaian.
Salah satu babak yang mengerikan dalam Perang Pasifik dimulai ketika tentara Amerika pada pagi hari tanggal 15 Juni 1944 mendarat di Pulau Saipan yang diduduki Jepang. Dua puluh ribu tentara Amerika menyerbu tentara pendudukan Jepang setelah menghujam mereka dengan serangan bom yang tak henti-hentinya.
Namun, Amerika membutuhkan waktu tiga minggu untuk merebut pulau itu. Soalnya, para prajurit Jepang telah ditempa untuk tidak menyerah dan terus berjuang sampai titik darah penghabisan.
Hanya enam ratus dari tiga puluh ribu orang Jepang yang ada di pulau itu yang menyerahkan diri hidup-hidup ke tangan Amerika. Orang-orang yang tidak gugur di medan pertempuran hanya melihat satu jalan keluar dari perasaan terhina akibat kekalahan.
Caranya: bunuh diri. Dari sebuah karang terjal setinggi 260 m yang menjorok ke laut, orang-orang yang kalah itu menerjunkan diri.
Source | : | intisari |
Penulis | : | K. Tatik Wardayati |
Editor | : | Ade Sulaeman |
KOMENTAR