Advertorial
Intisari-Online.com – Cerita-cerita tentang gua bekas persembunyian tentara Jepang di Biak, sudah lama saya dengar.
Kisah penghancuran tentara Jepang yang mempertahankan gua ini bahkan pernah ditulis secara dramatis oleh Kolonel Harold Riegelman, salah seorang pelaku sejarah yang bertempur di pihak Sekutu, lewat bukunya "The Cave of Biak".
Buku-buku tentang Perang Pasifik di masa Perang Dunia II seperti "The Two Ocean War" karangan Samuel E. Marison, juga menyebut-nyebut kedahsyatan perebutan Biak yang sebenamya merupakan pulau karang di teluk Cenderawasih.
Kini Biak merupakan Ibukota Kabupaten Teluk Cenderawasih dan di Biak pula markas Kowilhan berada.
Baca juga: Pembantaian Nanking: 'Neraka' Sementara Buatan Tentara Jepang di China
Pada bulan Mei 1978 yang lalu, saya berkesempatan mengunjungi gua bersejarah itu dengan diantar oleh Kepala Perwakilan PT Garuda Indonesian Airways Sdr. Djasman serta pengemudi PT Titawaka yang menjadi penunjuk jalan.
Letak gua itu tidak jauh dari kota Biak, tepat di sebelah utara pelabuhan udara Mokmer. Dari kota dapat ditempuh dengan kendaraan bermotor kurang-lebih 15 menit. Untuk menempuh jalan bukit, kami menggunakan jeep. Mobil dapat berhenti sekitar 30 meter dari mulut gua yang terbesar. .
Dipunggung bukit ini terdapat tiga buah gua. Tapi kami hanya mengunjungi salah-satu yang terbesar, karena dua gua lainnya harus ditempuh dengan jalan kaki dan cukup sulit. Hutan yang harus diterobos memang cukup lebat. Meskipun tidak terdapat binatang buas berkaki empat seperti di Sumatera, tapi cukup banyak ular yang berbahaya.
Gua yang umumnya dikunjungi orang, memang gua yang terbesar ini. Beberapa meter di atas bibir gua itu terpancang batu kenangan yang didirikan oleh Pemerintah Jepang.
Baca juga: Kisah Warga Negara Belanda yang Menjadi Jugun Ianfu Bagi Tentara Jepang di Indonesia
Pada lempengan beton tertulis selengkapnya: "Memorial erected in 1956 by the Japanese Government for the Japanese who fell in World War II". (Peringatan yang didirikan oleh Pemerintah Jepang untuk orang-orang Jepang yang gugur dalam Perang Dunia II).
Menurut keterangan penunjuk jalan, beberapa tahun yang lalu sejumlah turis Jepang yang berkunjung ke Biak juga mendirikan monumen lain berupa pilar batu gfanit setinggi 70 Cm. Tapi ketika saya berkunjung ke sana, pilar itu telah hilang.
Monumen tentara Sekutu yang berupa perisai dengan gambar panah dan pedang, telah hilang pula digerayangi tangan jahil.
Kalau kita telah sampai ke monumen, berarti beberapa langkah lagi akan sampai ke bibir gua. Di situ terdapat jalan setapak. Tapi harus hati-hati menempuhnya, karena salah salah langkah dapat kejeblos ke dalam gua yang puluhan meter dalamnya.
Gua itu sendiri, merupakan bangunan alam. Jepang telah berbuat cerdik dalam memanfaatkan bagi pertahanan. Mulut-mulut gua sangat tersembunyi oleh pepohonan lebat, hingga tak mudah dilihat dari udara.
Kedalaman gua dari permukaan tanah, kira-kira 40 meter. Untuk memasuki gua, hanya ada satu pintu yang dapat ditempuh. Lebih dulu harus ditempuh jalan ke timur, lewat tanah yang menjadi atap gua, kemudian belok ke kanan.
Pintu ini merupakan salah-satu dari tiga lubang yang menghubungkan dunia luar dengan dunia bawah tanah yang cukup seram itu.
Untuk memasuki gua, kita harus memiliki ketahanan fisik yang lumayan. Jalannya selain cukup curam, juga licin oleh tetesan air dari stalagtit yang bergayutan di atap gua.
Baca juga:Kisah 3 Tentara Jepang yang Ikut Berjuang Melawan Penjajah, Hingga Akhirnya Gugur di Tangan Belanda
Saya dengan berat badan 70 kilo ditambah beban dua kamera Nikon plus tele 200 mm, ternyata kelelahan menempuh jalan miring 45 derajat dengan kedalaman sekitar 40 meter dan berliku-liku itu.
Tapi anehnya sdr. Djasman yang memiliki berat badan 74 kilo itu dapat lebih dulu mencapai dasar gua meskipun dengan keringat bercucuran.
Bentuk gua ini memanjang dari barat ke timur. Bagian paling barat berbentuk oval dan menurut catatan literatur dapat menampung satu batalion tentara. Tepat di tengah dataran terbuka itu kini tumbuh sebatang pohon palma yang puncaknya ternyata tidak mampu menyamai ketinggian bibir gua.
Bagian barat dan timur yang juga terbuka dihubungkan oleh jalan berliku-liku yang di atasnya beratap tanah. Bagian timur juga luas, tapi tanahnya tidak rata.
Di seputar pohon palma tadi tumbuh perdu liar. Pada tanah yang terbuka, berserakan sisa magazijn peluru, jerrycan, tong bensin berkarat, dan kaleng-kaleng bekas makanan yang seluruhnya menghitam dimakan api dan dimakan waktu.
Sisa-sisa magazijn dan tong bensin terus menghampar ke timur, melalui "pintu" penghubung di bagian tengah yang benar-benar merupakan ruang bawah tanah. Susunan gua melandai kian turun, hingga terus ke timur ke "jendela" gua bagian timur yang tidak mungkin didaki manusia tanpa menggunakan peralatan.
Secara keseluruhan, panjang gua mencapai lebih 100 meter dengan lebar bervariasi antara 40 dan 10 meter, dengan lekuk liku di sana-sini.
Baca juga: Hiroo Onoda, Tentara Jepang yang Sampai Ajal Menjemput pun Tak Sudi Menyerah kepada Tentara Sekutu
Menurut penduduk setempat, sampai beberapa tahun yang lalu, jarang ada orang yang berani masuk ke perut gua ini, karena gua ini dianggap angker. Pada malam-malam tertentu, katanya, masih sering terdengar derap orang berbaris, teriakan-teriakan dalam bahasa Jepang, dan kadang-kadang juga tangis menyayat hati.
Tapi sejak Pemerintah Jepang mengangkut sisa-sisa tulang serdadu yang gugur di sana, suara-suara itu sudah jarang terdengar.
Tulang-tulang yang sempat diangkut ke Jepang meliputi setengah kapal. Tentu-saja di dasar gua itu belum seluruhnya bersih dari sisa tulang yang tertimbun tanah.
Buktinya, ketika ujung celana saya terasa tersangkut dan benda yang semula saya kira kayu kering, ternyata “kayu" itu adalah sisa tulang bagian lengan manusia. Ukurannya sedikit lebih pendek dari bagian lengan saya.
Baca juga: Mengunjungi Sungai Kaki Naue yang Dulu Pernah Jadi Tempat Mandi Tentara Jepang
Tentunya merupakan bekas milik orang yang lebih pendek dari saya yang mempunyai tinggi badan 1,70. Penunjuk jalan kami juga sempat menemukan serpihan tulang manusia yang telah menghitam.
Dengan melihat sisa-sisa yang terdapat di dalam gua ini, kita dapat membayangkan betapa dahsyatnya pertempuran di Biak pada Perang Dunia ke II.
Waktu itu, Biak dipertahankan oleh 12.000 tentara Jepang yang merupakan Divisi ke 37 Jepang di bawah pimpinan Kolonel Kuzume. Ke 12.000 tentara itulah yang terbantai di bumi Biak.
Jumlah itu sebenarnya terlalu kecil bila dibanding dengan seluruh perajurit yang tewas dalam ajang perang Pasifik. Menitrut penulis buku "Combat Pasxfic Theater"nya Don Congdon, ratusan ribu perajurit tewas dalam pertempuran "katak loncat" McArthur sejak Rabaul, Biak, Truk, Carolina, Yap, Guam, Saipan terus ke utara hingga Mariana dan Iwojima.
Baca juga: Presiden Jokowi Pindah ke Istana Bogor: Istana Bogor Pernah Dijarah Tentara Jepang (Bagian Ketiga)
Setelah Sekutu berhasil menduduki Wewak, pada 22 April 1944 Sentani juga dapat dikuasai. Korban dari fihak Jepang, 351 pesawat tempur hancur.
Namun Sentani terlalu pendek bagi pendaratan pembom Liberator B-24 yang bermesin empat, hingga Sekutu mengincar lapangan udara Mokmer di Biak yang mempunyai landasan 3.750 meter dan hanya berjarak 1.000 mil dari Filipina, sasaran selanjutnya dari gerakan penyerbuan ke utara.
Guna merebut Biak, dibentuk Komando Gabungan yang diberi nama Task Force Huricane di bawah pimpinan Jenderal Horace Fuller, Komandan Divisi-41. Komando gabungan terdiri dari Group Amphibi-7, Team Resimen Tempur 162 dan 163 serta Resimen Infanteri 181.
Perlawanan dari fihak Jepang, membuat pertempuran sangat alot. Setelah tiga minggu bertempur, pasukan yang mendarat hanya 10 mil dari lapangan terbang ternyata tak mendapat kemajuan yang berarti.
Pihak Jepang bertahan di bukit karang dan di dalam gua yang diceritakan di atas. Serangan Jepang dilakukan dengan penembakan mortir jarak jauh dan disusul dengan serbuan malam yang benar-benar merepotkan Sekutu.
Melihat keadaan itu, Komandan Tentara ke VI Sekutu Jenderal Krueger menugaskan Jenderal Eichelberger mengambil alih pimpinan Komando Gabungan.
Tanggal 16 Juni, Jenderal Eichelberger berangkat dari teluk Humboldt (sekarang Teluk Jos Sudarso) dengan membawa tambahan pasukan yang terdiri dari Resimen Tempur-34 dari Divisi Infanteri-24, menuju Biak lewat Wakde. Pasukan didaratkan di Mokmer, Borokoe dan Sorido.
Ternyata team Resimen Tempur-162 yang mendarat di Bosnik pada 27 Mei, tidak mendapat perlawanan berarti dari Jepang. Pasukan ini dapat maju ke barat, melintasi kaki bukit karang pertahanan Jepang.
Melihat keadaan ini, malamnya Jepang melakukan serangan gencar dengan penembakan mortir yang mengakibatkan ujung tombak pasukan Sekutu dapat disergap satuan tank Jepang hingga terpisah dari induknya.
Pertempuran ini sangat menentukan, karena lolosnya pasukan Sekutu berarti terancamnya lapangan terbang Mokmer. Jepang bertempur mati-matian, bahkan memaksakan pertempuran dengan jarak dekat.
Bukan saja senapan panjang ikut beraksi, tapi juga pestol, sangkur, pedang samurai bahkan dengan tangan kosong lewat teknik karate mereka.
Sebanyak 7 buah tank Jepang hancur dalam duel dengan tank Sherman milik Sekutu. Akhirnya Mokmer dapat dikuasai Sekutu. Tapi lapangan terbang itu belum lagi dapat digunakan, karena gangguan dari fihak Jepang masih terus berlangsung baik lewat tembakan mortir dari bukit di sebelah utara, maupun dengan serangan malam.
Berkali-kali Sekutu mencoba menyerbu pusat pertahanan Jepang di gua-gua itu, tapi selalu gagal.
Menemui jalan buntu, pimpinan pasukan Sekutu menunjuk Kolonel Harold Riegelmen seorang perwira menengah yang ahli dalam penggunaan bahan kimia untuk merencanakan serbuan ke pusat pertahanan Jepang.
Guna operasi ini, Riegelman merencanakan penggunaan alat penyembur api. Dalam pelaksanaan operasinya, anggota-anggota pasukan diharuskan membawa alat penyembur api seberat 60 pon, dan harus dapat mendekati mulut gua hingga jarak 7 meter.
Tindakan ini berhasil. Di bawah lindungan tembakan gencar, satuan penyembur api mengguyur gua dengan harapan tentara Jepang akan lari meninggalkan gua. Di sisi lain telah menunggu pasukan penyergap.
Tapi ternyata Jepang tetap bertahan di dalam gua yang berliku-liku itu. Bagian lain dari gua masih dapat digunakan untuk berlindung dari penyembur apinya Riegelman.
Akhimya ditempuh jalan terakhir dengan menuangkan bensin secara besar-besaran ke dalam gua. Setelah bensin tertuang, ke mulut gua dilemparkan bom phospor hingga bensin terbakar. Belum cukup sampai di situ, ke dalam gua diturunkan pula mortir 4.2 dengan tambang.
Mortir tersebut beramunisi sulphuric fume dan diledakkan dengan listrik. Sebagai kelanjutan, pada gua terbesar diledakkan TNT sebanyak 850 pon dan ke dalam gua ditembakkan roket serta bazooka.
Dengan gempuran yang begitu hebat, pasukan Kazume yang semula berjumlah 12.000 orang itu pada tanggal 21 Juni tinggal tersisa 235 tentara. Dengan semangat banzai. Kazume memilih 109 perwira dan bawahan guna melakukan serangan kamikaze sambil mundur ke utara dengan harapan mendapat bantuan.
Baca juga: Bung Karno Pejuang Kemerdekaan yang Justru Semakin 'Sakti' Setelah Dipenjara Oleh Belanda
Sisa pasukan Jepang dapat dihancurkan oleh Batalion-1 Resimen Infanteri-162 di bawah pimpinan Mayor Benson.
Pimpinan tertinggi balatentara Jepang menyadari pentingnya Biak. Guna menolong Kazume, Komandan Gabungan Armada Pasifik Laksamana Soemu Toyoda mengirim bantuan 2.500 tentara dari Mindanao di bawah pimpinan Laksamana Madya Sikunju.
Bantuan ini tak pernah sampai ke tujuan karena terpukul patroli Sekutu. Selanjutnya direncanakan mengirim bantuan lebih lanjut, dengan penjelajah berat Yamato berukuran 72.800 ton yang dilengkapi meriam 18.1 inci dan didampingi kapal Musashi yang sekelas dengan Yamato.
Bantuan inipun gagal karena Armada ke V Sekutu telah mendekati kepulauan Mariana yang dipertahankan Jenderal Saito dengan 22.700 tentara. Mariana berhasil direbut Sekutu yang mengerahkan 120.000 tentara yang berintikan marinir.
Demikianlah sebagian dari drama pertempuran yang pernah "mampir" di bagian timur bumi Indonesia.
Kini Biak tinggal menjadi monumen yang selalu akan mengingatkan kepada masa lalu dan kerasnya peperangan. Di bagian lain dari Biak, di bukit karang yang lebih ke timur juga terdapat bekas bangunan militer milik Belanda yang terlibat dalam percaturan masa Trikora dulu.
Di punggung bukit karang tersebut kini masih berdiri sisa instalasi radar bekas milik Belanda. Radar inilah dulu yang pertama kali mendeteksi iringan kapal R.I. Macan Tutul di Teluk Aru. Selanjutnya terjadilah pertempuran Teluk Aru yang mengakibatkan gugurnya Komodor Josaphat Sudarso.
Jalan ke bekas instalasi radar itu, ketika saya ke sana terhalang oleh pohon tumbang hingga mobil tak dapat meneruskan perjalanan. Untuk mencapai tujuan, hams dengan jalan kaki seratus meter, kemudian mendaki bukit yang dikelilingi semak liar.
Baca juga: Tak Hanya dari Zaman Penjajah, Banjir Bahkan Sudah Melanda Jakarta Sejak Zaman Raja Purnawarman
Menurut keterangan Sdr. Djasman, sampai kini masih banyak turis Jepang yang berkunjung ke gua bekas pertahanan Jepang itu. Ketika saya berkunjung ke sana, pada seputar monumen juga masih nampak karangan bunga yang diletakkan oleh turis dari Jepang.
Di antara turis itu, ternyata ada salah-seorang bekas serdadu Jepang yang berhasil lolos dari neraka di Biak tempo hari. Ia masih dapat mengingat dengan jelas nama-nama teman sepasukannya, dan posisi di mana "kamar" Suzume.
Ketika memasuki gua itu, sang turis bekas serdadu Jepang itu hanya dapat menangis tersedu-sedu. (Erick Arhadita)