Dalam pengantar karyanya itu, Suparjiman menyatakan ingin memberikan sumbangan lebih jauh tentang relevansi sistem kepercayaan dengan aktivitas perdagangan. Antropolog ini memilih ladang pe nelitian di daerah Yogyakarta dan sekitarnya.
Setelah keluar-masuk tempat-tempat keramat dan angker, setelah berdialog dengan para dukun dan pedagang besar kecil di pasar, Parjiman berkesimpulan ada kalangan tertentu cenderung menciptakan semacam individual, kebatinan gaib yang berorientasi pada kekuasaan.
Suparjiman melihat, ada pedagang yang pergi ke dukun atau tempat-tempat keramat mencari sarana pelarisan.
Soalnya, mereka percaya, keberhasilan seseorang tidak cuma ditentukan oleh keuletan atau keahlian saja.
Baca Juga : Kaca Pecah Jadi Tanda Datangnya Kesialan dan Beberapa Takhayul Paling Populer Lainnya
Melainkan hanis dibarengi dengan praktek-praktek gaib. Malah Parjiman juga mencatat rinci, bentuk-bentuk ritual gaibnya, berikut benda dan peralatan sesaji sampai pada mantera-manteranya sekaligus (Suparjiman, 1987:97).
Memang antropolog ini tidak khusus membicarakan tuyul, tapi kalau menyimak detil penelitiannya, pembaca akan dibuat terperangah.
Karena Parjiman sempat memberi tahu beberapa dukun tuyul yang konon sanggup menghubungkannya dengan manusia yang menginginkannya.
Malah jelas sekali, lewat peta yang dia buat, sarjana ini menunjuk tempat tuyul.
Apa syarat punya momongan?
Momongan adalah istilah halus pengganti tuyul. Tentu saja jika berniat mencari momongan, mau tak mau orang harus mengalami prosesi gaib dan laku yang cukup berat.
Apa syaratnya? Tidak gampang orang mencari tahu.
Source | : | intisari |
Penulis | : | K. Tatik Wardayati |
Editor | : | Moh. Habib Asyhad |
KOMENTAR