Advertorial

Berdamai dengan Hidup Lewat 'Self Mastery' Agar Menjadi Individu yang Lebih Kuat dan Berarti

Moh. Habib Asyhad
K. Tatik Wardayati
,
Moh. Habib Asyhad

Tim Redaksi

Menyatukan antara pikiran, perasaan, perkataan, dan tindakan agar selaras memang tak mudah. Namun, bila berjalan bersama, hidup kita akan lebih baik.
Menyatukan antara pikiran, perasaan, perkataan, dan tindakan agar selaras memang tak mudah. Namun, bila berjalan bersama, hidup kita akan lebih baik.

Intisari-Online.com – Menyatukan antara pikiran, perasaan, perkataan, dan tindakan agar selaras memang tak mudah.

Namun, ketika keempatnya berjalan beriringan, jangan heran kalau hidup Anda akan jauh lebih baik.

Boleh dibilang kita bisa merespons dunia luar secara berbeda, lebih indah, dan bahagia. Demikian pendapat Fiona Wang, life coach sekaligus psychosomatic therapis kepada Intisari.

Kesemerawutan empat hal di atas ternyata bisa disebabkan oleh kejadian di hari ini dan kekhawatiran akna masa depan.

Namun, menurut Fiona kejadian masa lalu bisa menjadi pemicu yang dominan. Entah perasaan tidak enak, trauma, bahkan dendam.

Baca Juga : Suka Berbohong Terus-menerus? Hati-hati Penyakit Psikologis Mithomania!

Contohnya, seperit yagn terjadi pada salah seorang klien yang pernah ditangani Fiona.

Kisahnya, si klien pernah dipenjara ketika usianya 25 tahun. Ternyata peristiwa itu masih mengendap di pikiran bawah sadarnya sehingga ia berusia senja, 69 tahun.

Akibatnya, lantaran tak bisa mengatasi traumanya, terjadilah perubahan fisiologis pada tubuh klien. Salah satunya ia mengalami gangguan pencernaan.

Psychosomatic penyebabnya di emosi dan pikiran, karena tidak pernah diselesaikan jadi bermanifestasi ke tubuh fisik,” jelas Coach Fi, sapaan akrabnya.

Baca Juga : Dahsyatnya Perang Psikologis: Saat Mesir Ditaklukkan Persia Hanya Gara-gara 'Kucing'

Fiona menegaskan, penting untuk kita menyelesaikan dan membersihkan segala masalah di masa lalu yang belum tuntas. Apalagi kalau sudah membuat isi kepala runyam.

Nah, selain berdamai dengan masa lalu, agar hidup lebih berkualitas dan bahagia, masih ada cara lain.

“Misalnya dengan mengingat kembali tujuan hidup kita, kembali mengenal diri, dan menyadari modal yang telah Tuhan berikan pada kita,” kata Fiona.

Fiona menyebut proses itu sebagai self mastery. Sekilas terkesan mudah, tapi nyatanya tak demikian. Kebanyakan klien Fiona kebingungan ketika meminta mereka untuk bertanya kepada dirinya: “Siapakah saya?”

Baca Juga : Ini Alasan Kenapa Ada Orang yang Cenderung Merasa Diri Sendiri Paling Benar dan Paling Suci

“Sebagian orang hanya bisa menjawab diri mereka berdasarkan profesi dan peran, misalnya ayah, pegawai, dan lain-lain,” ungkap instruktur hipnoterapi dari The Indonesian Board of Hypnotherapy itu.

Dalam proses menjalani self mastery lewat metode coaching, ia selalu mengajak peserta di kelasnya dengan sesi relaksasi.

Tujuannya untuk menemukan ketenangan dalam hening sehingga bisa membuat tubuh dan pikiran lebih rileks.

“Ketika rileks gelombang otak kita turun ke level alpha, dengan begitu jauh lebih terhubung dengan diri kita dan jawaban-jawaban bisa keluar,” jelasnya.

Baca Juga : Apa Tanggapan Psikolog Soal Rencana Penerapan Tes Psikologi untuk Bikin SIM?

Fiona juga mengungkapkan, saat ini pola pikir seseorang cenderung bukan lagi menjadi human being (manusia), tapi terdistorsi ke human doing (melakukan aktivitas).

“Dari pagi hingga sore hari yang diingat itu kerja, melakukan apa, dan seterusnya, esensi dari being semakin luntur dan tak diperhatikan,” jelasnya.

Padahal, pertanyaan-pertanyaan di atas bisa membawa kita kembali ke pemahaman tentang human being, dan menemukan nilai-nilai penting, makna, dan tujuan hidup kita.

“Karena akan being kita akan tahu apa yang harus kita lakukan, ibaratnya kalau bisnis kita hanya lihat itu untung-rugi (doing), bukannya peran profesi dan misinya, kalau ada nilai-nilai yang lebih tinggi daripada uang (being),” ujarnya sambil tersenyum.

Baca Juga : Inilah 4 Hal tentang Diri Sendiri yang Tidak Anda Ketahui, Apa Saja Itu?

Yang perlu diingat, masalah atau musibah di masa lalu atau kekhawatiran akan masa depan bersifat objektif. Setiap orang tentu memiliki masalah dan rasa khawatir.

Sedangkan menderita karenanya lebih bersifat subjektif. Tingkat penderitaan pasti berbeda-beda pada tiap orang.

Namun, kita bisa mengubah cara pandang kita terhadap musibah yang sudah terjadi, yang justru membuat kita menjadi individu yang lebih kuat dan berarti. (Ilham Pradipta)

Baca Juga : Anda Tak Sepenuhnya Jujur, 4 Cara Ini Pasti Anda Gunakan untuk Membohongi Diri Sendiri

Artikel Terkait