Advertorial
Intisari-Online.com – Seratus lima puluh tahun (tulisan ini dimuat di Majalah Intisari edisi Oktober 1978), setelah kelahiran penulis dan filsuf Leo Tolstoy, pesannya masih hidup lewat puterinya.
Biarpun sering sakit-sakit dan sudah berusia 94 tahun Alexandra Tolstoy masih mengetuai Yayasan Tolstoy, sebuah organisasi yang memberi perlindungan dan bantuan kepada imigran Russia.
Yayasan itu dimulai oleh Alexandra Tolstoy pada tahun 1939, sepuluh tahun setelah ia melarikan diri dari Uni Sovyet, yaitu dari rejim totaliter Stalin.
Untuk merayakan hari lahir Leo Tolstoy tanggal 9 September 1828, diadakan peringatan di seluruh dunia. Dan keturunan satu-satunya, puterinya menyaksikannya.
Baca Juga : Kisah Tolstoy dan Pengemis Tua
Ayahnya akan "kecewa di dunia sekarang" kata Alexandra Alexandra Tolstoy yang biasa disebut "Sasha" oleh ayahnya. Dunia sekarang sudah berubah sama sekali. Manusia tidak hidup untuk sesama, tidak hidup demi kebaikan rakyat, tidak hidup untuk agama, mereka lupa Tuhan dan dia (Tolstoy) akan kecewa di dunia sekarang."
Nona Tolstoy diwawancarai dalam bahasa Inggeris oleh Steve North, news director dari WGRC, setasiun radio Nanuet, N.Y. Yang dimuat dalam tulisan ini ialah kutiban dari wawancara yang direkam itu.
Kehidupan bagi nona Tolstoy penuh kekecewaan. Sekarang ia sudah tidak bisa turun dari ranjang lagi dan menderita penyakit jantung.
Dulu ia menjadi sekretaris dan pelindung ayahnya. Soalnya ibunya suka mengamuk pada tahun-tahun terakhir kehidupan ayahnya. Ia membantu ayahnya melarikan diri dari rumah keluarga tetapi sepuluh hari kemudian meninggal karena radang paru-paru di sebuah setasiun kereta api kecil.
Baca Juga : Dibayangi Ancaman Sanksi AS, India Tetap Tandatangani Kesepakatan Militer dengan Rusia Senilai Rp75 Triliun
"Saya hadir di situ. Saya melihat kalau ibu sedang kumat paranoianya dan menyakiti ayah. Ia tidak tahu apa yang dilakukan".
Nona Tolstoy melarikan diri dari tanah airnya tahun 1929. Semua harta kekayaannya ditinggalkan. Ia pergi ke Timur Jauh, mendarat di San Francisco dan pergi ke Chicago di mana ia berteman dengan Jane Addams di Hull House.
Setelah beberapa tahun di daerah pertanian Pennsylvania dan Conecticut, Alexandra Tolstoy tiba di Rockland County, New York di mana ia menetap dan mendirikan yayasan dengan nama ayahnya.
Leo Tolstoy lahir dalam kemewahan dan keagungan. Waktu masih muda hidupnya tanpa arah, tetapi ia kemudian menjadi pejuang keadilan sosial dan seorang tokoh keagamaan yang berpengaruh.
Baca Juga : Mengintip Keindahan Gereja Berkubah Seperti Masjid di Rusia
"War and Peace", novelnya tentang usaha Napoleon untuk menaklukkan Russia, memberi pemandangan panoramic mengenai konflik bersenjata dalam dua keluarga Russia. "Anne Karenina" menceritakan kesulitan seorang wanita ambisius yang tidak setia.
Setelah masa depressi dan kematian anaknya yang ke 13 dan terakhir, Leo Tolstoy yang waktu itu berusia 58 tahun, mendengar suara Tuhan pada suatu pagi sunyi tahun 1875.
Sisa 35 tahun dari kehidupannya dimanfaatkan untuk mengembangkan doktrin anti kekerasan yang kemudian mempengaruhi pejuang perdamaian seperti Gandhi dan Dr. Martin Luther King Jr.
Pernah seorang pemuda datang untuk menjenguk ayah, cerita Nona Tolstoy. Dan ia memperkenalkan diri sebagai seorang atheis. Ia mengatakan hal-hal yang tidak enak mengenai kesalehan ayah.
Baca Juga : Bertahun-tahun Dicari dan Digali, Akhirnya Kota Penyimpan 'Harta Karun' Berusia 4.800 Tahun Ini Ditemukan
Tolstoy kemudian berkata kepadanya: "Anda sebaiknya pergi. Tidak ada yang ingin saya bicarakan dengan anda."
Kepercayaan Leo Tolstoy kepada Tuhan tercermin dari kata-kata puterinya.
Anak-anak muda sekarang nyeleweng. Sebagian, bukan semuanya. Mereka bisa kembali ke agama dan percaya kepada Tuhan dan mereka akan tahu bahwa Tuhan akan membantunya, kata Nona Tolstoy.
Satu di antara banyak contoh kepercayaan Leo Tolstoy terhadap Tuhan dan bahwa ia tidak suka kekerasan: Setelah Tsar Alexander II dibunuh 1881 oleh sebuah bom teroris di sebuah jalan di Moskou, Tolstoy menulis kepada Tsar baru, Alexander III, untuk minta keringanan hukuman bagi enam revolusioner yang dituduh melakukan pembunuhan itu.
Baca Juga : Jika Sampai Pesawat 'Siluman' F-35 Israel Bertemu Rudal S-300 Rusia di Suriah, Siapa yang akan Menang?
Tsar dan penasehatnya menolak permintaan itu.
Tolstoy tidak mempunyai hubungan baik dengan pemerintah Moskou maupun gereja Russia ortodoks.
Tahun 1851 Count Tolstoy mengenakan pakaian petani dan bekerja di daerah Russia Tengah yang kekeringan. Ia menuduh pemerintah menutup mata untuk para petani yang hampir mati terancam kelaparan.
Setelah "bangkit kembali" Tolstoy dikutuk oleh Pemerintah maupun gereja karena dituduh memanaskan massa yang menderita. Tolstoy diekskomunikasi oleh gereja dan diberi julukan "Tsar kedua" oleh rakyat banyak untuk siapa ia berjuang.
Baca Juga : China dan Rusia Pamer Senjata, AS Bersumpah Kalahkan Kedua Negara Itu dengan Senjata 'Terbarunya'
Pada tahun-tahun terakhir hubungan Tolstoy dengan isterinya Sonya tambah tegang. Isterinya tidak sependapat dengan jalan pikirannya dan menjadi tambah lama tambah tiranik.
"Ibu meninggal dalam pelukan saya" kata Nona Tolstoy. Saya katakan: Ibu, saya tahu ibu sakit. Jawaban ibu: Saya tahu saya menyakiti ayahmu, kau bisa memaafkan saya. Dan kami saling mencium dan menjadi teman sebelum ia meninggal. Saya gembira untuk hal itu.
Menjelang magrib tanggal 28 Oktober 1910, Tolstoy mengambil keputusan untuk meninggalkan isterinya karena ia merasa rumah tangganya sudah berantakan. Waktu itu umurnya 82 tahun. Ia meninggal 10 hari kemudian.
Dikawal oleh anak perempuan dan dokter keluarganya ia menuju ke setasiun kereta api kecil di Astapovo Russia. Di situ ia terpaksa tingga di ranjang, karena demam 40°C.
Selama anggota keluarga dan puluhan wartawan dari seluruh dunia berkumpul, kesehatannya tambah lama tambah mundur. Tubuh penulis itu sudah lemah sekali.
Apakah Nona Tolstoy insaf bahwa mereka diteropong pers dunia waktu ia mengurus ayahnya di setasiun kecil itu. "Saya tahu tetapi tidak memikirkannya, karena terlalu sibuk dengan ayah saya, sehingga dunia tidak ada artinya."
Dan waktu Tolstoy dalam sakratul maut, ia hanya mengucapkan dua kata (tiga dalam bahasa Indonesia) "Saya cinta kebenaran".
Kalimat yang tidak pernah selesai. Ia ingin menyelesaikan kalimat itu, tetapi inilah kata-katanya yang terakhir. Ia tidak mempunyai waktu. Ia meninggal pukul 6 pagi tanggal 7 Nopember.
Pemerintah dan gereja melarang demonstrasi atau upacara gereja untuknya. Tetapi kereta api yang membawa Tolstoy kembali ke tempat tinggalnya disambut meriah di setiap setasiun oleh orang-orang yang ingin memberi penghormatan terakhir.
Pada hari lahirnya ke 150 puterinya mengenang Tolstoy, sebagai orang besar. "Saya tidak melihat dia lain daripada sebagai ayah saya. Pikiran saya tidak pernah berubah. Ia seorang besar yang ingin berbuat baik untuk rakyat yang diajarinya kebaikan, cinta kasih, dan Tuhan.”
Namun, dalam pikiran Leo Tolstoy, seorang pria lain dari wanita.
Menurut Alexandra Tolstoy ayahnya tidak akan setuju dengan Women’s Lib. Ia akan menentangnya karena menurut dia tempat wanita adalah dalam keluarga dan anak-anak, bukan dalam politik. Ia tidak suka emansipasi wanita.
Alexandra Tolstoy seorang wanita gigih dan bebas. Seorang pekerja yagn tidak kenal lelah. Ia tidak pernah menikah dan banyak berkecimpung dalam politik. Apakah ayahnya akan setuju?
Saya tidak pernah melakukan sesuatu yang bertentangan dengan kemauan ayah, jawabnya. (International Herald Tribune)
Baca Juga : 'Sihir Mantra Cinta' Mesir berusia 1300 Tahun Dipecahkan, Apa Isinya?