Advertorial
Intisari-Online.com – Kalau di Asia Timur Jepang pernah mencita-citakan Asia Timur Raya, di Timur Tengah Gamal Abdul Nasser, presiden kedua Mesir, mencita-citakan Arab Raya.
la menasionalisasi Terusan Suez untuk lepas dari bayang-bayang Inggris dan Prancis, ia juga membangun Bendungan Aswan yang monumental namun kontroversial.
Meski ambisinya melenyapkan Israel gagal, ia sukses membangkitkan kebanggaan Mesir dan dunia Arab pada umumnya.
Berikut ini kisah salah satu Bapak Bangsa, Gamal Abdul Nasser: Kontroversi Bapak Pan-Arabisme yang pernah dimuat di Majalah Intisari edisi Januari 2009, seperti ditulis oleh Mayong S. Laksono.
Baca Juga : Sihir Heka: Ritual Magis Mesir Kuno nan Misterius dan Paling Memesona, Ini Tujuan Sihirnya!
Lapangan Manshia, Aleksandria (Iskandariah), Mesir, 26 Oktober 1954. Letusan tembakan tanpa aba-aba membubarkan kerumunan orang yang tengah mendengarkan pidato Menteri Dalam Negeri Letnan Kolonel Gamal Abdul Nasser.
Delapan kali pistol di genggaman Mahmoud Abd al-Latief menyalak. Semua diarahkan ke tubuh Nasser, tokoh utama perwira muda militer yang dua tahun sebelumnya (1952) memimpin penggulingan kekuasaan Raja Farouk I.
Orang-orang berhamburan menyelamatkan diri. Teriakan dan pekikan terdengar bersahutan. Suasana kacau-balau. Tapi petugas keamanan sigap melumpuhkan Mahmoud Abd al-Latief, anggota kelompok ekstrem Muslim Brotherhood.
Tapi kepanikan tak lama. Gamal Abdul Nasser, yang tadi jelas-jelas ditembak delapan kali oleh Mahmoud dari jarak dekat, bangkit berdiri. la merapikan jas dan rambut kelimisnya, lantas mendekati mikrofon.
"Tenang saudara-saudara! Saya tidak mati! Saya tetap hidup ... dan kalaupun saya mati, Anda semua adalah Gamal Abdul Nasser! Biarlah mereka membunuh satu Nasser karena ada banyak Nasser lain yang akan menggantikannya!" katanya lantang.
Peristiwa itu menjadi babak penting dalam karier Nasser di Mesir. Lolos dari upaya pembunuhan memberinya amunisi untuk menghabisi kelompok-kelompok ekstrem keagamaan. Ujung-ujungnya, ia pun melucuti kekuasaan Presiden Jenderal Muhammad Naguib yang dia anggap dekat dengan Muslim Brotherhood.
Memang, peristiwa 26 Oktober kemudian dinilai orang sekadar rekayasa Nasser untuk naik ke puncak kekuasaan. Bagaimana mungkin ia lolos dari tembakan jarak dekat, delapan kali pula, kalau tidak melalui skenario "seolah-olah"?
la menciptakan peristiwa seolah-olah dirinya korban, lantas memanfaatkan posisi sebagai survivor untuk menggalang kekuatan. Sebagai orang yang terzalimi, ia memupuk sentimen anti-ekstremis keagamaan untuk keuntungan dirinya.
Baca Juga : Skandal Gagal Israel di Mesir: Saat Operasi Lavon Berjalan Menyimpang
Duet yang retak
Awalnya Nasser dan Naguib berkawan baik. Naguib naik ke kekuasaan sebagai presiden karena hasil kerja keras kelompok perwira muda progresif "Free Officers" yang dimotori Nasser, Ali Maher, dan Anwar Sadat.
Setelah mengudeta Raja Farouk I pada 1952, mereka membentuk Dewan Komando Revolusioner dan mengangkat Jenderal Naguib, pahlawan perang Arab-Israel tahun 1948, sebagai presiden pertama Mesir.
Naguib melucuti kewenangan Raja, bahkan akhirnya menghapus sistem monarki pada 1953. Ia menjaga kudeta berlangsung tanpa darah, ia juga mengizinkan keluarga kerajaan meninggalkan Mesir dengan damai.
Baca Juga : 800 Makam Mesir Kuno Ini Ditemukan Arkeolog Di Antara Dua Piramida, Milik Siapa?
Tapi lama-kelamaan Naguib seperti jalan sendiri meninggalkan Dewan. Duet Nasser- Naguib retak, bahkan meruncing menjadi konflik. Kekuasaan akhirnya harus dibagi. Suatu saat Naguib didampingi Maher sebagai Perdana Menteri, dan saat lain dengan Mendagri Nasser.
Konflik juga menyebar di kalangan Dewan. Di masyarakat, banyak kelompok ikut mencari kepentingan, termasuk Muslim Brotherhood. Tapi Nasser cukup piawai memainkan kepentingan diri. Puncaknya ya peristiwa 26 Oktober itu.
Presiden ditahan, dan pemerintahan dijalankan oleh Dewan yang dipimpin Nasser. Tapi Nasser lupa melakukan pembersihan. Pendukung Naguib dalam Dewan masih banyak. Mereka kemudian menggalang demonstrasi rakyat menuntut pengembalian posisi Naguib sebagai presiden. Nasser terdesak. la tak bisa menolak.
Nasser diam-diam menyusun kekuatan. Dia hanya perlu dua tahun untuk muncul dengan kekuatan baru. Ia mengubah konstitusi untuk melapangkan jalan menjadi presiden. Presiden Nasser resmi memimpin Republik Mesir mulai 23 Juni 1956.
Baca Juga : Pasukan Israel yang Perkasa Ternyata Pernah Dibikin Babak Belur Tentara Suriah dan Mesir
la membangkitkan semangat bangsa Mesir, juga menggalang kekuatan dengan negara tetangga untuk membentuk persekutuan Pan-Arabisme.
Tak ada hambatan berarti sepanjang ia memerintah, kecuali kekalahan dalam Perang Enam Hari, Juni 1967. Sejak itu kebesarannya memudar, hingga jabatannya berakhir saat ia meninggal dunia pada 28 September 1970.
Tentara progresif
Gamal Abdul Nasser lahir di Aleksandria pada 15 Januari 1918. Ayahnya, Abdel Nasser Hussein, seorang pegawai kantor pos, berasal dari Beni Mur, kota kecil di dekat Asyut di Mesir bagian selatan. Ibunya, Fahima Hamad, meninggal pada 1926, saat Nasser umur delapan tahun. Ia tidak melayat ibunya karena tinggal terpisah, ikut pamannya, Khalil Hussein, di Kairo.
Baca Juga : Israel Ledakkan 5 Pesawat Mig-21 Soviet dalam 3 Menit, Mesir Terbitkan Larangan Tertawa, Ini Kisahnya
Tak terungkap sebab Nasser terpisah dari orangtuanya. Penulis biografi Said Aburish menduga, sejak Nasser kecil orangtuanya melihat ada "percikan api" di dalam dirinya. "Ia tak akan maju kalau hanya tumbuh di kota kecil," tulis Aburish.
Ayahnya kemudian menikah lagi dan memiliki tujuh anak. Sementara Nasser, setamat dari Sekolah Quran Ben Ami selama tiga tahun, meneruskan ke Ras-al-Tin di Nahaseen pada usia 11 tahun. Selulus dari sana ia pindah ke Aleksandria dan masuk ke SMP al-Nahda.
Di kota itu Nasser tak hanya melanjutkan pendidikan. Ia ikut kelompok progresif yang menghendaki perubahan politik di Mesir. Ia suka demo, bahkan sering menjangkau Kairo.
Belakangan namanya makin dikenal, dan ia terpilih menjadi Ketua Ikatan Pelajar Kairo untuk Reformasi Politik. Di salah satu demo anarkis di atas jembatan al-Nahda, Kairo, ia terluka. Ia juga sempat ditangkap dan ditahan selama dua hari.
Baca Juga : Dahsyatnya Perang Psikologis: Saat Mesir Ditaklukkan Persia Hanya Gara-gara 'Kucing'
Aktivitas sebagai demonstran surut. Pada Maret 1937 Nasser masuk ke akademi militer. Rupanya ia berminat menjadi tentara. Di sana ia bertemu dengan Abdel Hakim Amer dan Anwar Sadat, dua sahabat yang kemudian menjadi orang kepercayaannya.
Setamat dari akademi ia ditugaskan di Mankabad, dekat Beni Mur. Saat itulah mulai berlangsung kasak-kusuk di kalangan militer. Anwar Sadat menjelaskan situasi itu, "Tentara mulai tidak suka pada negara dan sistem monarki (dan Raja Farouk I)."
Penugasan berikut adalah Sudan yang waktu itu masih menjadi bagian Mesir. Tak lama tiba di sana (1939), meletuslah Perang Dunia II. Selama masa perang, Nasser, Sadat, dan beberapa mitra politik menjalin kontak dengan agen-agen Axis yang kebanyakan tentara Italia.
Mereka menyusun rencana untuk mengusir tentara Inggris dari tanah Mesir. Ini strategi untuk melemahkan pemerintahan Raja.
Baca Juga : Sudah Ada Sejak Zaman Mesir Kuno, Seperti Inilah Sejarah Make-up
Tapi rencana itu tak pernah terwujud. Selama masa perang Nasser malah lebih suka menggalang kekuatan perwira muda yang setuju dengan ide perubahan. Di dalam negeri, mereka juga menjalin kerja sama dengan kekuatan nasionalis untuk merencanakan revolusi.
Tapi secara resmi Mesir netral dalam PD II. Maka sesungguhnya Nasser dkk. tidak banyak mengalami peperangan. Perang yang sebenarnya baru dia alami di Palestina tahun 1948, yakni perang Arab-Israel. Saat itu tentara Mesir menguasai wilayah yang disebut Kantong Falluja.
Setelah perang, Nasser menjadi instruktur di Royal Military Academy di Kairo. Dengan posisi itu ia bisa menghimpun makin banyak perwira yang setuju dengan pemikirannya. Memasuki tahun 1950, kelompok ini makin kuat. Mereka menamakan diri "Free Officers", menyerukan kebebasan dan berambisi untuk "mengembalikan harga diri bangsa".
Revolusi mengubah monarki
Baca Juga : Keju Berusia 3.500 Tahun Ditemukan di Mesir, Bisakah Kita Memakannya?
Memasuki tahun 1952, situasi di Mesir makin kacau. Tentara terbelah, dan para "Free Officers" makin dominan. Gerakan mereka meletus pada 23 Juli 1952, saat militer pro Nasser menguasai kantor-kantor pemerintah, stasiun radio, kantor polisi, dan markas tentara di Kairo. Mereka mendudukkan Jenderal Mohammad Naguib sebagai presiden.
Tapi ternyata mereka tak berminat mengurusi pemerintahan sehari-hari. Mereka membentuk Dewan Komando Revolusioner Mesir dan menunjuk Ali Maher sebagai perdana menteri. Di dalam Dewan, kepemimpinan dipegang Naguib dan Nasser menjadi wakilnya.
Tapi ketika Maher tak setuju dengan ide reformasi agraria yang diusulkan Dewan, ia ditendang. Naguib memegang komando seluruh kekuatan Mesir dengan jabatan perdana menteri.
Setelah menjalankan reformasi agraria, Naguib membubarkan monarki dan menguasai tanah kerajaan. la mengangkat diri sebagai Presiden Mesir.
Duet Naguib-Nasser yang semula kompak, merenggang terutama setelah Nasser melihat Naguib cenderung jalan sendiri, lepas dari pertimbangan Dewan. Persaingan itu mewarnai pemerintahan Mesir di tahun-tahun awal pasca-monarki.
Masing-masing saling menggalang kekuatan, bergantian, sampai peristiwa Lapangan Manshia membawa kemenangan pada Nasser.
Baca Juga : Arkeolog Berhasil Temukan Sarkofagus Hitam di Kota Alexandria Mesir