Intisari-Online.com - Perang Enam Hari (Juni 1967) yang dimenangkan Israel ternyata tidak membuat proses perdamaian Arab-Israel berjalan lancar.
Sebaliknya, hubungan keduanya justru semakin rumit.
Perang Enam Hari terus berlanjut yang diwarnai bentrokan bersenjata antara Mesir yang membangun pertahanan di sepanjang Terusan Suez melawan Israel yang ada di seberangnya.
Bentrok senjata antara keduanya bahkan kerap melibatkan meriam artileri berat dan pesawat tempur.
Korban dari kedua belah pihak yang bertikai pun terus berjatuhan.
Sejak Perang Enam Hari berakhir, yang ditandai dengan gencatan senjata atas prakarsa PBB, upaya perdamaian antara negara-negara Arab dan Israel memang terus dilakukan.
Baca Juga : Dijadikan 'Tameng' oleh F-16 Israel, Pesawat Rusia Jatuh Tertembak Rudal Suriah
Tapi hasilnya nihil. Negara-negara Arab pada prinsipnya tidak mau mengakui berdirinya negara Israel dan tetap mendukung kemerdekaan Palestina.
Negara-negara Arab, khususnya Mesir bahkan terus memperkuat alutsistanya untuk dipergunakan menggempur Isarel lagi, kelak di kemudian hari.
Upaya memperkuat persenjataan terutama tank-tank lapis saja, senjata antitank, rudal antipesawat yang makin canggih SAM, jet tempur, radar dan lainnya terus dilakukan Mesir.
Mereka membeli persenjataan itu dari Rusia dan dipasang merata di sepanjang Terusan Suez dan perbatasan Gurun Sinai.
Penguatan alutisisa Mesir itu terus diupayakan oleh Presiden Gamal Abdul Nasir, sebelum ia meninggal pada 28 September 1970.
Sebelum Nasir wafat dan digantikan Anwar Sadat, sejumlah pertempuran antara Mesir dan Israel terus berlangsung di Sinai.
Penulis | : | Intisari Online |
Editor | : | Moh. Habib Asyhad |
KOMENTAR