Advertorial
Intisari-Online.com – Inilah kisah seorang wanita yang berjiwa besi. Tiga kali ia mengalami kecelakaan lalulintas dan menjadi cacat.
Karena kesalahan narkose ia kehilangan suaranya. Mungkin Anda akan mengira bahwa ia sekarang akan menjadi beban masyarakat
Kenyataannya sebaliknya: la malahan membantu. Mungkin cerita Rogier van Aerde ini bisa menjadi "pelita" bagi mereka yang merasa dunia ini gelap gulita, tanpa masa depan.
Pada suatu pagi Paskah 1962 seorang pemuda yang naik sepeda motor menabrak seorang wanita berusia 42 tahun yang sedang naik sepeda. Jalan masih sunyi senyap.
Mungkin karena itu pemuda tersebut mengira bisa ngebut sepuas hati. Buktinya setelah si korban melesat di atas kemudinya ia masih terseret beberapa puluh meter.
Baca Juga : Fidel Castro, Semangat Revolusinya Terus Membara, Meski Beberapa Kali Dikerjai CIA
Akibatnya mengerikan. Kata Ineke Quadekker: "Saya seorang wanita tegap. Beratnya75 kilo dan kuat sekali. Selain bekerja penuh sebagai guru, saya sejak kecil mengurus ibu dan mempunyai banyak hobby.
Di rumah sakit ternyata bahwa selain babak belur, ia mengalami shock dan tempurung lututnya patah, tulang paha dan pinggul patah. Selama operasi yang makan waktu berjam-jam ternyata ada kesalahan dalam narkose. Akibatnya pita suara terkena sehingga tidak bisa bersuara lagi.
Banyak kesulitan lagi yang menyusul. Ia sudah bertahun-tahun mengurus ibunya yang menderita rheuma hebat. Anak-anak lain tidak bisa merawatnya. Satu-satunya jalan keluar ialah ibu harus masuk rumah jompo. Tigapuluh hari kemudian ibu meninggal.
"Bayangkan, sial yang berturut-turut. Saya ingin memberontak dan berteriak. Tetapi saya tidak mempunyai suara lagi. Tidak ada orang yang bisa mendengar saya."
Baca Juga : 5 Motivasi Super untuk Semangati Atlet Indonesia di Asian Games 2018
Dua kali lagi
Masa pemulihan berjalan lama dan sulit. Belajar jalan lagi dengan tongkat, latihan nafas dengan perut supaya bisa mengutarakan sesuatu dengan berbisik-bisik. Ia tidak bisa bekerja lagi sebagai guru steno bahasa-bahasa modern.
Tetapi ia masih mempunyai diploma memegang buku. Dengan bekal kemauannya yang keras ia berhasil mengatasi semua kesulitan dan mendapat pekerjaan administratip.
Tahun 1964 ia menyebrang jalan dengan tongkat. Ada sebuah mobil yang mendekat dan mengurangi kecepatan. Ia mengira pengemudi melihat dia dan mau memberi jalan dulu, karena jelas cacat.
Ternyata malahan memberi gas. Ia ditabrak mobil dan tempurung lututnya hancur sama sekali. Wanita di belakang kemudi kemudian menerangkan bahwa ia tidak melihat dan tidak mengira ada orang yang berjalan kaki.
Baca Juga : Poster-poster Penyulut Semangat di Awal Kemerdekaan yang Kadang Diisi Ancaman Mengerikan
Sekali lagi ia harus lama menderita. Tahun 1966 ia sekali lagi ditabrak di atas jalur zebra ketika lampu hijau menyala bagi pejalan kaki. Untuk ketiga kalinya ia mengalami shock dan mendapat "jalan fobie".
Ia tidak berani berjalan diluar. Ia sudah tidak bisa mengatasinya lagi. Semua kecelakaan dan perawatannya telah makan ongkos 100 ribu gulden lebih. Ia mau menuntut.
Tetapi dari kecelakaan pertama tidak ada saksi. Dan untuk kedua kecelakaan berikutnya ia harus berhadapan dengan perusahaan asuransi, sehingga pasti digeserkan pada kecelakaan pertama. Sejak itu sebetulnya ia toh sudah cacat.
Percobaan untuk mencari haknya, makan ongkos 50 ribu gulden lagi. Dan ganti kerugian yang diperoleh setelah perkara yang siilit itu akhirnya hanya berjumlah 9 ribu gulden.
Main catur dengan surat
Perasaan tidak berdaya dan kemarahannya sudah melebihi batas yang bisa diterima. Ia harus nasuk rumah istirahat. Di situ ia melihat demikian banyak penderitaan orang lain, yang hidup dalam kesepian.
Ia sendiri juga tidak bisa berkomunikasi karena tidak mempunyai suara. Karena itulah ia tahu apa artinya isolemen.
Setelah 2½ tahun dirawat ia sudah cukup kuat untuk tinggal sendiri dalam flat. Karena selama 22 tahun bekerja menjadi guru ia belajar banyak tentang artikulasi kata-kata, dengan bantuan seorang logopediste ia melatih diri sehingga dengan menggerak-gerakkaa otot perutnya bisa berbisik.
Melalui tilpon yang diperlengkapi dengan mikropon yang sangat peka, ia kini bisa didengar di ujung lain. Sebetulnya makan banyak enersi, tetapi itu hanya ketahuan kalau ia berhenti mencari nafas setelah menjawab sebuah pertanyaan. Untuk melatih otot-otot perutnya ia setiap hari main melodica, sebuah alat musik tiup.
Selain itu ia mengadakan korespondensi dengan orang-orang dalam penjara, pasien-pasien di rumah sakit jiwa, orang cacat. Pokoknya orang-orang yang hidup terpencil seperti dia dan mengharapkan kontak sedikit dengan orang lain.
Baca Juga : Saat Mengalami Hari yang Buruk, Ingatlah 8 Hal Berikut dan Kita Akan Kembali Bersemangat!
Ia main catur dengan surat, membuat teka teki untuk mereka dan mencoba untuk memberi harapan atau adpis.
Tahun 1972 ia tiba-tiba jatuh sakit serius. Tubuhnya sakit semua. Karena berkali-kali mengalami kecelakaan tubuhnya tambah miring pinggul, tulang rusuk dan sendi. Karena tekanan tidak seimbang, "penyusutan" tambah hebat dan saraf yang terjepit menimbulkan rasa sakit yang tak keruan.
Untuk waktu singkat ia harus masuk rumah sakit dan mundur pesat. Akhirnya beratnya tinggal 40 kilo. Di rumah ia dirawat oleh seorang perawat selama beberapa bulan. Kemudian itupun tidak bisa berlangsung lebih lama lagi.
Soalnya ia tidak mempunyai keluarga. Dan ini bukan soal sementara, tetapi permanen. Karena itu lebih baik mencari pekerja, katanya. Sekali seminggu ia mendapat pekerja. Sekali seminggu ada orang yang belanja untuknya.
Tetapi setelah itu ia seorang diri. Ia tambah menginsafi bagaimana rasanya andaikata terjadi sesuatu selama itu. Betapa sering kita tidak mendengar atau membaca di koran, si anu terjatuh di gang dan tidak bisa meraih tilpon lagi atau memanggil orang, si anu sudah 10 bulan mati dalam flatnya.
Tetapi berita-berita itu bukan menjadi alasan bagi Ineke Quadekker untuk bermuram durja. Ia malahan mendapat ide. Semua orang itu sendirian. Tidak ada orang yang memperhatikan.
Ia tahu perasaan pedih kalau tidak ada orang yang muncul atau memperhatikannya. Banyak orang yang mengalami hal itu dalam kota besar. la ingin melakukan sesuatu bagi mereka. Tetapi bagaimana, karena ia sudah tidak bisa keluar. Tilpon. Namun bagaimana dengan ongkosnya dan dari mana mendapat orang-orang itu.
Tilpon menilpon
"Saya pikir: Ada orang yang misalnya tinggal di Groningen dan mempunyai ibu tua atau saudara cacat di Den Haag. Bisa saja dua atau tiga kali seminggu anak menilpon ibu, tetapi hati belum tenteram. Dengan harga 16 sen per pembicaraan, ini berarti 5 gulden sebulan. Saya bisa menilpon sepasang orang tua setiap pagi.
Baca Juga : 10 Foto Before-After Diet Ini Dijamin akan Membuat Anda Makin Semangat Menurunkan Berat Badan!
Ah, tanya saya, apakah mereka masih hidup dan bagaimana keadaannya. Kalau tidak ada jawaban artinya ada sesuatu yang tidak beres. Tilpon itu hanya memberi perasaan kepastian, tetapi juga mengurangi isolasi yang sangat ditakuti orang yang seorang diri.
"Saya menulis ke koran-koran apakah mau memuat seruan saya. Tetapi mereka menolak, karena dikira saya mau mencari duit. Tetapi saya tidak menyerah kalah. Beberapa majalah gereja mau memuatnya. Itulah permulaannya. Tidak usah ada orang yang mati tanpa diketahui.
"Dinas kontak saya mempunyai hampir duapuluh orang langganan. Kedengarannya memang sedikit, mengingat di Den Haag saja mungkin ada seribu orang yang sebatang kara. Dan ternyata mereka sangat mengharapkan tilpon saya, karena bagi banyak orang merupakan kontak satu-satunya dengan manusia pada hari itu.
(Seorang rekan bujangan di Eropah menceriterakan bahwa ia pernah dari hari Jumaat keluar kantor sampai Senin. tidak mengucapkan sepatahpun pada seseorang — Red. Int).
Baca Juga : Demi Tunjukkan Semangat Bushido, Jenderal Jepang Ini Nekat Lancarkan Kamikaze Meski Perang Telah Usai
"Andaikata saya karena satu dan lain hal terlambat menilpon, merekalah yang menilpon dan bertanya apakah saya tidak sakit. Dengan demikian saya mendapat banyak teman yang memperhatikan saya.
"Saya segera mendengar kalau ada sesuatu yang tidak beres. Suaranya lain. Saya tahu karena sudah lama mengurus ibu. Biasanya mereka tidak mau mengaku, karena takut dikira "manja" saja. Tetapi kalau saya mendesak, mereka mau mengaku juga.
Kalau di tanya apakah sudah memanggil dokter, mereka umumnya belum berbuat demikian. Entah karena takut atau dengan harapan akan sembuh sendiri. Lalu saya tilpon dokter, Saya harus mengatakan bahwa bantuan dari para dokter baik sekali.
Setelah itu saya menilpon "Bantuan tetangga" apakah bisa mengambilkan resepnya di apotik. Pada siang harinya saya akan menilpon lagi apakah keadaannya bertambah baik.
Baca Juga : Salut! Meski Harus 'Di-charge' Setiap Malam, Pemuda Ini Tetap Semangat Hidup
"Tentu ia tidak bisa membayar ongkos tambahan tilpon itu. Tentu tidak, tetapi saya harus minta bantuan juga, karena kalau tidak dari mana saya bisa membayar.
"Saya pernah minta bantuan dari CRM untuk subsidi orang-orang yang tidak mampu sama sekali. Tetapi ditolak, biarpun mereka menghargai pekerjaan saya. Kalau keadaan darurat ada dinas SOS, katanya. Tetapi tujuan saya ialah untuk menghindari keadaan darurat. Orang yang setiap hari bisa bercakap-cakap dengan seseorang, dan menunggu-nunggu saat itu tidak akan menelan 20 pil tidur."
Tentu pernah terjadi keadaan darurat. Seorang wanita lanjut usia, ditemukan di jalan dalam keadaan tak berdaya dan ia tidak mempunyai kartu identifikasi sama sekali, kecuali foto dan nomer tilpon Ineke Quadekker.
Atau seorang suami jahat, yang telah mengunci isterinya yang berusia 80 tahun dalam kamar dan menaruh gagang tilpon di sebelah pesawat. Dalam hal itu Ineke bisa menilpon polisi, atau lembaga bantuan lain.
Sejak pers dan radio memberi perhatian pada pekerjaannya, semua orang di Den Haag kenal Ineke Quadekker, dan apa pekerjaannya. Dan dari langganan-langganannya ia mempunyai nomer tilpon mereka sendiri maupun tetangga, dokter rumah dan relasi lain. Ada yang sampai duplikat kunci rumahnya.
Kedengarannya memang sepele. Tetapi orang yang pernah mengalami kesepian akan mengerti betapa pentingnya apa yang dikerjakannya ini. Ia bicara, mendengarkan dan memberi adpis atau membantu mereka dari kekalutan pikiran.
Dan kalau mereka merayakan hari ulang tahun ia memainkan lagu "Panjang Umur" di atas Melodicanya melalui tilpon. Atau ia mengirim kartu dengan sajak. "Itu saya buat pada malam hari. Saya toh tidak bisa tidur". Kedengarannya sentimentil, tetapi bagi seorang tua yang lemah dan tak berdaya, sesuatu yang besar.
Ia sendiri bergerak dalam flatnya yang kecil dengan tongkat. Ia harus menelan obat terus supaya jangan kesakitan. Ia tidak bisa duduk lagi, tetapi hampir selalu tiduran di atas ranjang lipat dengan tilpon di sebelahnya.
Tilpon itu terus sibuk, sehingga ia tidak mempunyai waktu untuk kesepian. (Pernah dimuat di Majalah Intisari September 1975)
Baca Juga : Kehilangan Kedua Kaki Saat Mabuk, Wanita Muda Ini Terus Berusaha Mengobarkan Semangat Hidupnya