Advertorial
Intisari-Online.com - Serangan bunuh diri kamikaze terakhir pada PD II terjadi pada 15 Agustus 1945, hari takluknya Jepang tanpa syarat.
Di pangkalan udara Kanoya di Kyusu bagian selatan Jepang, pagi-pagi itu para personel pangkalan sibuk menyiapkan sejumlah pesawat pengebom-tukik.
Panglima Udara Armada Kelima Laksamana Madya Matome Ugaki dilaporkan memerintahkan penyiapan tersebut.
Padahal Jepang sudah meletakan senjata dan tinggal menantikan pernyataan takluk dan berakhirnya perang, yang hari itu akan disampaikan Kaisar sendiri melalui radio.
(Baca juga: Bukan Daging, Inilah Menu Makan Siang Paling Enak dalam Pendidikan Komando Marinir yang Sangat Keras Itu)
Tapi hari itu staf senior Kapten Takashi Miyazaki menghadap Ugaki dan menanyakan soal penyiapan pesawat, karena hari itu tak ada yang boleh terbang .
“Saya akan ikut dalam serangan. Pergi dan teruskan perintah ini,” jawab Ugaki.
Stafnya berusaha mengingatkan serangan kamikaze seperti itu, saat ini sudah tidak mengena.
Tetapi laksamana itu tetap kukuh. “Ini perintah. Jalankanlah!” katanya.
Miyazaki kemudian menemui perwira tinggi yang dekat secara pribadi dengan Ugaki, seperti Laksda Takatsugu Jojima.
Dia pun juga tidak sreg dengan apa yang akan dilakukan rekannya. Dia berusaha membujuk dan menyadarkan Ugaki bahwa waktunya sudah tidak tepat.
“Ini adalah kesempatanku untuk mati sebagai pendekar dan ksatria,” jawab Ugaki penuh semangat.
Kaisar dalam pidato radionya selain menyatakan penyerahan Jepang kepada Sekutu, juga meminta agar peletakan senjata oleh pasukan Jepang segera dipatuhi.
(Baca juga: Polah 'Sadis' Raja-raja Mataram di Sela-sela Waktu Semadi Meminta Berkah dari Nyai Roro Kidul)
Namun, Matome Ugaki tidak peduli walau sikapnya dianggap aneh karena berani tidak mengindahkan perintah Kaisar.
Dia malah mengadakan acara perpisahan sederhana, dan kemudian menuju ke pesawat.
Sebelumnya, Ugaki mencopoti tanda pangkat dari seragamnya. Ia hanya membawa teropong dan pedang katana pemberian Laksamana Isoroku Yamamoto.
Terdapat 11 pesawat yang mesinnya telah dihidupkan, dengan ke-22 awaknya bersiap di dekat pesawat masing-masing.
“Apa kalian bersedia mati bersama saya?” tanya Ugaki kepada para awak tadi.
Semua tangan diangkat ke atas mengiringi teriakan “bersedia!”.
Ugaki lalu menuju pesawat komandan kelompok ini, Letnan Tatsuo Nakatsuru dan menaikinya, duduk di kursi belakang.
Tetapi awak Nakatsuru bernama Akiyoshi Endo menyusul dan berkata bahwa itu tempat duduknya.
Laksamana Ugaki tersenyum dan berkata, “Saya telah membebaskanmu, kamu tetap tinggal di sini.”
Namun semua yang melihat kaget karena Endo tetap menaiki pesawatnya, dan memaksa masuk untuk duduk di kursinya yang telah diambil Ugaki.
Laksamana pun tak bisa apa-apa melihat kemauan keras orang muda ini.
Seraya menggelengkan kepala, dia pun beringsut memberi tempat bagi Endo untuk duduk berhimpitan di sebelahnya.
Sesaat kemudian kesebelas pesawat bergerak ke landasan pacu dan mengudara, diiringi lambaian tangan perpisahan mereka yang di pangkalan.
Tetapi empat dari 11 pesawat itu turun kembali karena kerusakan mesin, sedangkan tujuh lainnya tetap terbang ke arah Okinawa.
Selama penerbangan, Endo beberapa kali dengan radio menghubungi pangkalan, melaporkan perkembangan situasi, termasuk pesan terakhir panglimanya.
Ugaki menyatakan harapan agar seluruh bawahannya dapat memahami motifnya untuk menghancurkan musuh dengan semangat Bushido.
Dia meminta mereka siap membangun kembali tanah air agar selamat dan bertahan untuk selamanya, serta menutupnya dengan ucapan hiduplah Kaisar!
Akhirnya pada saatnya, Endo dengan terputus-putus melaporkan pesawat tengah menukik ke sasarannya, begitu pula keenam pesawat lainnya juga melaporkan hal sama.
Namun anehnya pada hari itu, 15 Agustus 1945, tidak ada laporan dari pihak Amerika mengenai serangan kamikaze terakhir terhadap kapalnya.